NovelToon NovelToon
Terjebak Takdir Keluarga

Terjebak Takdir Keluarga

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:44
Nilai: 5
Nama Author: Siti Gemini 75

Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan di Taman Kampus

Siang itu, sesuai permintaan Mamanya nya, Eri menunggu Eliana di taman kampusnya, tempat yang biasanya menjadi saksi bisu kebahagiaan mereka. Namun, hari ini, suasana terasa berbeda. Ada ketegangan yang menguar di udara, seolah awan gelap menggantung di atas mereka. Ketika Eliana datang, Eri bisa melihat jelas perubahan pada dirinya. Matanya sayu, senyumnya dipaksakan, dan ada jarak yang jelas di antara mereka.

"Eliana, kita perlu bicara," kata Eri, dengan nada suara yang serius.

Eliana menghela napas dan duduk di bangku taman, tanpa menatap Eri. "Aku tahu," jawabnya singkat.

"Maaf kalau aku mengganggumu, tapi Mama sangat khawatir dengan sikapmu belakangan ini. Kamu jadi lebih dingin dan menjauh. Apa ada sesuatu yang salah? Apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu tidak nyaman?" tanya Eri, dengan nada suara yang lembut dan penuh perhatian.

Eliana terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak ada apa-apa, Kak Eri. Aku hanya sedang sibuk dengan kuliah," jawabnya, berusaha meyakinkan Eri.

"Eliana, aku tahu kamu berbohong. Aku bisa melihatnya dari matamu. Aku tunanganmu, aku seharusnya tahu apa yang kamu rasakan. Tolong, jujur padaku. Apa yang sebenarnya terjadi?" desak Eri, menggenggam tangan Eliana dengan erat.

Eliana menarik tangannya dan menatap Eri dengan tatapan dingin. "Kenapa kamu memaksa? Aku bilang tidak ada apa-apa, ya tidak ada apa-apa!" bentaknya, dengan nada suara yang meninggi.

Eri terkejut dengan reaksi Eliana. Ia tidak pernah melihatnya semarah ini sebelumnya. "Eliana, kenapa kamu jadi seperti ini? Apa aku tidak pantas mendapatkan kejujuran darimu?" tanya Eri, dengan nada suara yang terluka.

Eliana terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Baiklah, kalau kamu memaksa, aku akan jujur. Aku... aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini," kata Eliana, dengan nada suara yang datar.

Eri terkejut mendengar kata-kata Eliana. Ia merasa seperti disambar petir di siang bolong. "Apa? Apa maksudmu? Kenapa kamu mengatakan ini sekarang? Kita akan segera menikah!" serunya, dengan nada suara yang tidak percaya.

"Aku tahu, tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa menikah denganmu," jawab Eliana, dengan nada suara yang dingin.

"Kenapa? Apa alasannya? Apa ada orang lain?" tanya Eri, dengan nada suara yang penuh kecemasan.

Eliana menggelengkan kepalanya. "Bukan karena orang lain. Ini karena kamu," jawabnya, menatap Eri dengan tatapan jijik.

Eri mengerutkan keningnya. "Aku? Apa maksudmu? Apa yang salah denganku?" tanyanya, merasa bingung dan terluka.

"Kamu... kamu menjijikkan," kata Eliana, dengan nada suara yang penuh jijik.

Eri terkejut mendengar kata-kata Eliana. Ia tidak percaya bahwa tunangannya sendiri bisa mengatakan hal seperti itu padanya. "Menjijikkan? Kenapa kamu mengatakan itu? Apa yang aku lakukan?" tanyanya, dengan nada suara yang terluka.

"Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu pikir aku tidak tahu tentang masa lalumu dengan Dea? Kamu pikir aku tidak tahu bahwa kamu menghamilinya dan membuatnya bunuh diri?" kata Eliana, dengan nada suara yang penuh amarah.

Eri terkejut mendengar kata-kata Eliana. Ia merasa seperti ditelanjangi di depan umum. Masa lalu yang selama ini ia kubur rapat-rapat, kini terbongkar di depan matanya. "Dari mana kamu tahu tentang itu?" tanyanya, dengan nada suara yang gemetar.

"Itu tidak penting. Yang penting, aku tahu semuanya. Aku tahu bahwa kamu adalah seorang pembunuh. Aku tidak bisa menikah dengan seorang pembunuh," jawab Eliana, dengan nada suara yang penuh kebencian.

"Itu tidak benar! Aku tidak membunuh Dea. Dia bunuh diri karena depresi. Aku tidak bersalah," bantah Eri, dengan nada suara yang putus asa.

"Aku tidak peduli. Aku tidak percaya padamu. Aku tahu bahwa kamu bersalah. Aku tidak bisa menikah denganmu. Aku jijik padamu," kata Eliana, dengan nada suara yang dingin dan tegas.

"Eliana, kumohon, jangan seperti ini. Aku mencintaimu. Aku ingin menikah denganmu. Aku ingin membangun keluarga bersamamu," kata Eri, berlutut di depan Eliana, memohon dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Eliana menatap Eri dengan tatapan jijik. "Cinta? Keluarga? Jangan membuatku tertawa. Kamu tidak pantas mendapatkan cinta atau keluarga. Kamu hanya pantas mendapatkan penderitaan dan penyesalan," kata Eliana, berbalik dan pergi meninggalkan Eri yang berlutut di taman.

Eri terisak di taman, merasa hancur dan putus asa. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia kehilangan Eliana, ia kehilangan kebahagiaannya, dan ia kehilangan harga dirinya. Masa lalunya telah menghantuinya dan menghancurkan masa depannya.

Setelah beberapa saat, Eri bangkit dan menghapus air matanya. Ia memutuskan untuk mencari tahu siapa yang telah menceritakan masa lalunya kepada Eliana. Ia yakin, ada seseorang yang sengaja ingin menghancurkan hubungannya dengan Eliana.

Namun, ketika ia bertanya kepada Eliana dari mana dia tahu semua ini, Eliana menolak untuk menjawab. Dia hanya mengatakan bahwa itu tidak penting dan yang terpenting adalah dia tahu kebenaran tentang Eri. Eri merasa semakin frustrasi dan putus asa. Ia tidak tahu bagaimana cara membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Ia tidak tahu bagaimana cara meyakinkan Eliana bahwa ia mencintainya. Ia merasa seperti terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar.

Dengan langkah gontai, Eri meninggalkan taman kampus. Pikirannya berkecamuk, dipenuhi dengan pertanyaan dan keraguan. Ia merasa seperti kehilangan arah, tidak tahu ke mana harus melangkah.

Saat berjalan menuju parkiran, Eri melihat seorang wanita yang tidak asing baginya. Wanita itu berdiri di dekat mobilnya, menatapnya dengan tatapan sinis. Eri mengenal wanita itu. Dia adalah Lia, teman dekat Dea semasa SMA.

Eri mendekati Lia dengan hati-hati. "Lia? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Eri, dengan nada suara yang bingung.

Lia tersenyum sinis. "Aku hanya ingin melihat bagaimana rasanya menjadi orang yang kehilangan segalanya," jawab Lia, dengan nada suara yang dingin.

Eri mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?" tanyanya, semakin bingung.

"Kamu tahu apa maksudku, Eri. Kamu telah menghancurkan hidup Dea. Kamu telah membuatnya bunuh diri. Sekarang, giliranmu merasakan penderitaan yang sama," kata Lia, dengan nada suara yang penuh kebencian.

Eri terkejut mendengar kata-kata Lia. Ia tidak percaya bahwa Lia masih menyalahkannya atas kematian Dea. "Aku tidak membunuh Dea, Lia. Dia bunuh diri karena depresi. Aku tidak bersalah," bantah Eri, dengan nada suara yang putus asa.

"Jangan berbohong, Eri. Aku tahu yang sebenarnya. Kamu telah menghamilinya dan menolak untuk bertanggung jawab. Kamu telah membuatnya merasa malu dan putus asa. Kamu adalah penyebab kematiannya," kata Lia, dengan nada suara yang semakin meninggi.

"Itu tidak benar! Aku tidak pernah menolak untuk bertanggung jawab. Aku ingin menikahinya, tapi aku tidak bisa," kata Eri, berusaha membela diri.

"Kenapa tidak bisa? Karena kamu tidak mencintainya? Karena kamu lebih memilih wanita lain?" tanya Lia, dengan nada suara yang sinis.

Eri menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu, Lia. Ada alasan lain yang membuatku tidak bisa bertanggung jawab," kata Eri, dengan nada suara yang lirih.

"Alasan apa? Apa yang bisa membuatmu tidak bertanggung jawab atas anak yang di kandung Dea?" tanya Lia, dengan nada suara yang menantang.

Eri terdiam sejenak, ragu untuk mengungkapkan kebenaran yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Namun, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain. Ia harus menceritakan semuanya kepada Lia, agar ia tahu bahwa ia tidak bersalah.

"Dea... Dea adalah adik tiriku," kata Eri, dengan nada suara yang gemetar.

Lia terkejut mendengar kata-kata Eri. Ia tidak percaya bahwa Dea adalah adik tiri Eri. "Apa? Bagaimana bisa?" tanyanya, dengan nada suara yang tidak percaya.

"Papaku, Pak Prasetyo, berselingkuh dengan ibu Dea, Bu Dinda. Dea adalah anak hasil perselingkuhan mereka. Karena itulah, aku tidak bisa bertanggung jawab atas Dea. Aku tidak bisa menikah dengan adik tiriku sendiri," jelas Eri, dengan nada suara yang putus asa.

Lia terdiam sejenak, mencerna informasi yang baru saja ia dengar. Ia tidak menyangka bahwa Eri dan Dea memiliki hubungan sedarah. Ia merasa kasihan pada Eri dan Dea, karena mereka harus mengalami nasib yang tragis.

"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa," kata Lia, dengan nada suara yang lirih.

"Aku tahu, Lia. Ini memang sulit untuk dipercaya. Tapi inilah kenyataannya. Aku tidak bersalah atas kematian Dea. Aku tidak bisa bertanggung jawab atasnya karena kami adalah saudara," kata Eri, dengan nada suara yang putus asa.

Lia menatap Eri dengan tatapan iba. Ia bisa melihat bahwa Eri benar-benar menderita karena kejadian ini. Ia memutuskan untuk mempercayai Eri dan membantunya untuk membersihkan namanya.

"Aku percaya padamu, Eri. Aku akan membantumu untuk membuktikan bahwa kamu tidak bersalah," kata Lia, dengan nada suara yang tulus.

Eri merasa lega mendengar kata-kata Lia. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam menghadapi masalah ini. Ia memiliki Lia yang akan selalu mendukungnya.

"Terima kasih, Lia. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpamu," kata Eri, dengan nada suara yang penuh haru.

Lia tersenyum pada Eri. "Kita adalah teman, Eri. Kita harus saling membantu dalam kesulitan," kata Lia, dengan nada suara yang lembut.

Lia kemudian mengajak Eri untuk pergi dari taman kampus dan mencari tempat yang tenang untuk berbicara lebih lanjut. Mereka berdua pergi meninggalkan taman kampus, meninggalkan kenangan pahit dan harapan baru. Eri berharap, dengan bantuan Lia, ia bisa membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan bisa mendapatkan kembali kebahagiaannya.

\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!