Nuansa dan Angger adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Permusuhan mereka tersohor sampai pelosok sekolah, tiada yang luput untuk tahu bahwa mereka adalah dua kutub serupa yang saling menolak kehadiran satu sama lain.
Beranjak dewasa, keduanya berpisah. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Tanpa tahu apakah musuh bebuyutan yang hadir di setiap detak napas, masih hidup atau sudah jadi abu.
Suatu ketika, semesta ingin bercanda. Ia rencakanan pertemuan kembali dua rival sama kuat dalam sebuah garis takdir semrawut penuh lika-liku. Di malam saat mereka mati-matian berlaku layaknya dua orang asing, Nuansa dan Angger malah berakhir dalam satu skenario yang setan pun rasanya tak sudi menyusun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amy's Secret Mission
Mungkin bisa K nobatkan hari ini sebagai hari tersibuk sepanjang hidupnya. Rampung dari tempat Pak Lukman, di mana seluruh tenaganya dikerahkan untuk mengerjakan banyak hal, dirinya langsung bergegas kembali ke apartemen untuk menepati janjinya kepada Angger.
Itu pun jalannya tidak bisa langsung lurus. Dia harus mampir dulu ke toko bunga, membeli buket baby's breath kesukaan Nona Danaseta yang sudah abadi nyaman di surga. Sehabis itu, sambil menyetir, dia juga tetap harus memantau group chat untuk memastikan para agen bekerja pada jalur yang sudah ditentukan.
Membiarkan dirinya kecolongan, sampai para agen punya kesempatan membicarakan Nona Kertapati, cukup membuatnya was-was. K takut para agen jadi terlalu nyaman untuk bergosip, sehingga nanti ada masanya keceplosan di depan Angger. Sedikit yang tahu bagaimana protektifnya Angger terhadap orang yang dia sayang. Di permukaan memang pria itu tampak tenang, tapi ombak di dasar hatinya, siapa yang bisa memperkirakan?
"Mikirin apa sih dari tadi?"
"Ah..." K tertarik dari lamunan.
Iya, sedari tadi dia melamun, dengan keadaan sedang mengemudi. Membawa Angger sebagai passenger princess, duduk anteng memangku baby's breath untuk diantarkan kepada kakak perempuannya.
"Saya cuma lagi mikirin apa yang mau saya kerjakan besok, di tempat Pak Lukman," elaknya. Mustahil kan kalau dia bicara jujur pada Angger bahwa pikirannya terusik oleh para agen.
"Besok mah pikirin besok aja," komentar Angger. Matanya terarah ke luar jendela, menikmati rintik hujan yang mulai turun di tengah perjalanan.
"Nggak bisa," sahut K. Laju mobil dipelankan, melihat dari kejauhan lampu lalu lintas sudah berubah dari hijau ke kuning. "Chief selalu ajarin buat mikir beberapa langkah lebih jauh daripada musuh. Chief selalu bilang kita harus punya dua atau tiga rencana cadangan, sediakan jalan keluar darurat kalau jalan utamanya nggak bisa digunakan." Kalimatnya berakhir sejalan dengan mobil yang berhenti melaju. Mereka ada di baris paling depan, tertib berhenti di belakang garis putih demi menyediakan jalur untuk orang menyeberang.
"Chief nggak pernah ajarin buat leha-leha dan jadi lengah," lanjutnya.
Angger terkekeh pelan, sudut bibirnya terangkat sebelah. "Gue udah bentuk lo jadi manusia yang terlalu kaku, ya..." gumamnya, namun suaranya masih cukup keras untuk bisa didengar oleh K.
"Nggak juga," balas K, dengan suara jernih dan justru terkesan bangga. "Chief justru mengajarkan untuk nggak pasrah ditindas keadaan. Kalau bukan karena Chief, mana mungkin saya bisa duduk di sini sekarang, nyetir mobil bagus, pakai pakaian bermerek, bisa tinggal di tempat yang nyaman?"
K menyandarkan punggungnya, melonggarkan sedikit genggamannya pada kemudi. "Kalau nggak ketemu Chief dan menolak dididik, saya mungkin berakhir jadi gelandangan, nangis tiap malam mikirin kenapa hidup berjalan nggak adil."
"Tapi lo kebablasan," cetus Angger.
K tertawa kecil, menelengkan kepala.
"Nggak kok," balasnya, "saya masih fleksibel. Buktinya aja masih pintar menyamar."
Angger berdecak, bola matanya berotasi jengah saat kepalanya menoleh pada tangan kanannya itu. "Justru lo pandai menyamar karena terlalu kaku," tukasnya. "Karena lo cuma berpikir buat penuhin tugas dengan sempurna, biar nggak bikin gue kecewa."
K mengatupkan bibirnya, menyisakan lengkungan samar yang tidak cukup untuk disebut sebagai sebuah senyuman. "Itu satu-satunya cara saya bilang makasih ke Chief," ujarnya, tulus jujur dari relung hati. "Selain kerjain tugas dengan baik, dengan apa lagi saya bisa balas kebaikan Chief?"
Nah, kalau sudah muncul kalimat itu, maka kerja otak Angger otomatis melambat. Sel-sel cerdas di dalamnya seperti disandera, seolah dipaksa diam agar sang empunya tidak punya amunisi untuk melakukan perlawanan.
K jelas tahu soal itu, makanya kalimat keramat itu selalu digunakan setiap kali berdebat dengan Angger soal sisi manusiawi atau apalah itu-yang bagi K, sudah tidak penting lagi sebetulnya. Maka tidak heran saat kini bibir K kembali melengkung, usai mendapati Angger menarik pandangannya disertai helaan napas panjang.
Itu saja sudah menunjukkan bahwa K telah menang, dan Angger akan berhenti membahas soal ini, paling tidak untuk beberapa waktu ke depan.
Tidak ada lagi suara yang terdengar di dalam kabin setelahnya. K kembali mengemudikan mobil, menerobos hujan yang turun lebih deras.
...✨✨✨✨✨...
Taburan kelopak bunga mawar yang memenuhi makam sejenak menghentikan gerakan Angger. Dia berdiri di dekat pusara, kepala menunduk mengamati kelopak-kelopak bunga segar yang wangi semerbak ditimpa air hujan.
"Nyonya dan suaminya datang ke sini sekitar jam 11 siang," papar K, menjelaskan situasi terkait taburan kelopak bunga yang menginterupsi Angger.
"Mereka mampir ke makam Papa nggak?" tanya Angger. Sebelum K menjawab, dia sudah lebih dulu berjongkok, kemudian meletakkan buket baby's breath di atas pusara kakak perempuannya.
"Ya," jawab K.
Makam ayah Angger memang berada di blok lain, dan dia biasanya berkunjung ke sana di waktu yang berbeda. Untuk hari peringatan kematian kakak perempuannya, Angger benar-benar hanya ingin berkunjung ke sini, fokus mendoakan kakak yang disayanginya, mengharapkan kehidupannya damai di surga.
"Oke," sahut Angger singkat. Setelah itu, dia menautkan kedua tangan dan memejamkan mata, lalu mulai berdoa.
Doa-doanya hampir selalu sama. Diulang-ulang setiap kali berkunjung, dipanjatkan dengan ketulusan yang tidak pernah berubah. Yang berbeda mungkin hanya dari cara Angger menghadapi dukanya. Dulu dia akan menangis dan meledak, sekarang dia nikmati sakitnya sambil memikirkan cara untuk tidak mengalami yang serupa.
Sementara Angger berdoa, K berdiri di belakangnya, memegang payung untuk menaungi tubu mereka berdua. Biasanya juga begitu. K hanya akan berjaga di belakang Angger, tidak bicara sama sekali, baik ketika Angger berdoa maupun setelahnya.
K ingin kehadirannya tidak menjadi penghalang bagi Angger untuk berinteraksi dengan kakaknya, meski dengan cara komunikasi yang jauh berbeda. Dia ingin siap sedia di belakang bosnya itu, tanpa membuatnya terganggu. Jika Angger mengajaknya bicara lebih dulu, barulah bibirnya akan terbuka.
Beberapa menit berlalu, Angger selesai dengan doanya. Dia membuka mata, tangannya meraba permukaan makam yang dihias rumput Bermuda-terasa lembut menyapa permukaan kulitnya. Gerakannya halus, seolah-olah sedang mengusap kepala kakak perempuannya seperti yang selalu dilakukannya dulu. Umurnya tiga tahun lebih muda, tetapi Angger selalu ingin jadi pihak yang melindungi kakaknya sedari mereka kecil. Mungkin itu sudah jadi nalurinya sebagai laki-laki-mungkin pula firasat, bahwa sesuatu yang buruk akan merenggut perempuan itu.
"K," ujarnya, suara yang kecil hampir hilang ditelan bising suara hujan. Kendati begitu, K yang terbiasa siaga, tetap mendengar dengan baik dan menyahut.
"Gue mau tinggal di apartemen lo, nggak tahu sampai kapan. Boleh?"
K mengulum senyum, mengangguk meski Angger tidak akan melihatnya. "Tentu, Chief. Mau tinggal selamanya, pun, boleh." Karena baginya, selalu menyenangkan untuk ada di dekat Angger.
...✨✨✨✨✨...
Membawa pulang seonggok makhluk kecil ke rumah ini ternyata adalah keputusan yang benar. Hari-hari yang berlalu monoton, mulai sekarang akan jadi lebih berwarna. Nuansa akan punya sesuatu yang ditunggu saat pulang ke rumah. Setelah sekian lama, dia akan punya hasrat menggebu-gebu untuk melakukan sesuatu dengan si kecil menggemaskan ini.
Dari dalam kamarnya, suara hujan masih terdengar jelas. Percikan air menempel di kaca jendela, sempat mengalihkan perhatian Nuansa sebentar, sebelum fokusnya kembali dicuri oleh tingkah lucu si bayi mungil.
Bukan, si kecil berbulu itu tidak sedang beratraksi. Ia hanya sedang tidur, tubuhnya melingkar nyaman di atas kasur empuk berbentuk pisang. Lidah merah mudanya sesekali terjulur keluar, bergerak imut seperti bayi yang sedang mengenyot susu.
Kegemasan membuncah menguasai benak Nuansa, tidak lagi bisa ditahan apalagi dilawan. Telunjuknya jadi terdorong maju, menoel-noel tubuh si kecil yang belum dia beri nama itu. Karena sentuhannya, bayi kucing itu menggeliat pelan, lalu lanjut tidur seakan sentuhan Nuansa bukanlah sebuah ancaman.
"Lucu banget sih kamuuuuu...." serunya gemas. Tubuh kecil bayi kucing itu diraupnya, muat hanya dengan satu tangan. Menunjukkan betapa kecil dan rapuhnya ia, betapa bersyukurnya Nuansa menemukannya untuk dirawat sampai dewasa.
Nuansa memenuhi hatinya dengan perasaan senang, menutup kelabu yang akhir-akhir ini menyelimuti benaknya--membuatnya makan pun rasa tak enak.
Sementara di belakangnya, Amy berdiri mengamati. Matanya beralih bergantian dari Nuansa dan si kucing gemas. Lalu pada titik saat dirinya mulai jengah, dan didorong rasa gatal di lidah, dia akhirnya bersuara.
"Nuansay," panggilnya. Yang dipanggil hanya berdeham, terlalu malas menengok karena masih asyik dengan bayi kucingnya.
"Yey bawa anak kucing begini, udah pikirin matang-matang? Mas Je kan alergi kucing. Kalau deseu main ke sini, bagaimana?"
Masih tanpa menoleh, Nuansa menjawab enteng, "Ya tinggal nggak usah diketemuin, nggak perlu repot. Lagian Mas Je juga nggak akan masuk-masuk kamar gue, ngapain."
Amy manggut-manggut saja, tersenyum penuh arti. Ada bagusnya Nuansa tidak menoleh, jadi dia tetap bisa melanjutkan aksinya. Sedari tadi, dirinya diam-diam menyalakan ponsel, menekan tombol rekam. Diabadikannya momen gemas Nuansa bersama si kucing lucu, untuk nanti dia kirimkan kepada Angger. Semenjak direkrut jadi agen, dia jadi bersemangat membagikan kabar soal Nuansa kepada pria itu. Jujur saja sih, Amy akan katakan yes seperti Mas Anang. Menurutnya, sampai sejauh ini, tidak ada kandidat yang lebih cocok untuk mendapatkan hati Nuansa selain Angger.
"Uuuu gemasnya," komentar Amy. Ditujukan bukan untuk Nuansa, apalagi bayi kucing yang dirawatnya. Komentar itu Amy berikan untuk skenario yang berputar di kepalanya. Skenario yang menunjukkan keserasian Nuansa bersama Angger, yang nggak tahu juga deh kapan akan terlaksana. Berdasarkan moto hidup Amy, fake it 'till you make it, alias halukan saja dulu, urusan jadi kenyataan itu nanti, tinggal pandai-pandai merayu Tuhan.
Bersambung....