Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengawasan Tulus dan Beban Kontrol
Setelah Mama Aidan memaksa Aidan untuk kembali ke kantor—meskipun Aidan mengklaim cuti—Mama dan Sela mengambil alih penuh kamar itu. Mama meminta Aidan keluar, meskipun Aidan hanya bergerak ke ruang kerjanya yang terbuka, tetap dalam jangkauan pendengaran.
Aidan duduk di meja kerjanya, tangannya memegang pena, tetapi matanya terus melirik ke arah pintu kamar Anita. Ia marah karena Mama berhasil merebut perannya. Ia marah karena harus berakting begitu keras di hadapan Mama, dan ia terutama marah karena Mama dan Sela kini menjadi saksi bisu atas penderitaan Anita, yang bisa saja—sewaktu-waktu—membongkar semua kebohongan Aidan.
Di dalam kamar, suasana jauh lebih lembut. Mama dengan telaten menyuapi Anita sup hangat yang mama Aidan masak bersama Sela.
"Kamu harus habiskan ini, Nak. Kamu harus cepat pulih," ujar Mama, kehangatannya terasa tulus.
Anita, yang merasa malu harus disuapi dan diawasi setelah klaimnya bahwa ia "sudah lebih baik," terpaksa menerima. Namun, ada kelegaan yang luar biasa. Perhatian Mama adalah pertolongan pertama yang jauh lebih ia butuhkan daripada obat-obatan.
Sela duduk di sisi ranjang, tidak banyak bicara, tetapi matanya mengamati segalanya. Ia melihat Mama yang lembut, dan ia ingat senyum kaku yang dipaksakan Aidan. Ia tahu ada kontradiksi besar antara apa yang kakak nya Aidan katakan ("hadiah toko") dan apa yang sebenarnya terjadi.
"Kak Nita," bisik Sela lembut saat Mama sibuk merapikan obat. "Kalau Kak Aidan menyakitimu, beritahu aku."
Anita menggeleng lemah, matanya dipenuhi peringatan. Ia tidak bisa bicara. Jika ia mengangguk, ia akan melibatkan Sela dan Mama dalam perang ini, dan ia tahu Aidan tidak akan ragu melukai mereka secara emosional atau finansial. Anita menatap Sela dengan ekspresi memohon agar adiknya diam.
Sela mengerti. Ia melihat ketakutan di mata Anita, bukan hanya kelelahan. Ini bukan ketakutan seorang istri yang sedang sakit; ini adalah ketakutan seorang tawanan. Sela memutuskan untuk tidak menekan lebih jauh, tetapi diam-diam bersumpah untuk mengawasi kakaknya sendiri.
Aidan di ruang kerjanya tidak bisa bekerja. Pikirannya dipenuhi kegelisahan.
"Kenapa Mama harus datang sekarang? Kenapa Nita harus menyebut tanggung jawab?."
Ia takut Mama dan Sela akan melihat obat-obatan yang ditinggalkan Sherly dan menyadari bahwa sakit ini jauh lebih parah daripada demam biasa. Ia takut Mama akan menelepon Sherly dan menanyakan diagnosis sebenarnya.
Rasa takut itu membuat Aidan tidak nyaman. Ia harus memastikan aktingnya sebagai suami yang baik tetap konsisten, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kelembutan lagi.
Aidan bangkit, membuat alasan untuk masuk kamar lagi. Ia masuk, wajahnya kembali kaku dan profesional.
"Ma, Sela," kata Aidan, suaranya dikontrol ketat. "Aku akan menyiapkan makanan untuk kalian. Dan Nita, aku sudah menghubungi Maya. Sementara Maya yang akan mengurus semua keperluan di toko. Fokusmu adalah tidur."
Perkataan Aidan terdengar seperti perhatian, tetapi bagi Anita dan Sela, itu terdengar seperti perintah. Perintah untuk tetap diam, dan perintah untuk tidak mengkhawatirkan utang yang ia sebut 'hadiah'.
Mama tersenyum lega. "Lihat, Nita? Aidan peduli. Dia hanya tidak tahu cara menunjukkannya."
Aidan tersenyum kaku pada Mama, merasa jijik pada dirinya sendiri karena harus berakting. Ia menghabiskan satu menit di dalam kamar, memastikan Anita tidak bicara aneh-aneh, lalu kembali ke mejanya, meninggalkan pintu kamar sedikit terbuka agar ia tetap bisa mendengar.
Sepanjang sore itu, Mama dan Sela bergantian menjaga Anita. Mereka berbicara tentang kenangan masa kecil Aidan dan Doni, dan tentang kebaikan Anita yang selalu membantu mereka.
"Kamu tahu, Nita," kata Mama, sambil memijat pelan kaki Anita. "Mama tahu kamu kuat. Mama tahu kamu masih terpukul karena orang tuamu. Mama akan bicara pada Aidan. Jangan khawatir soal toko."
Meskipun Mama hanya mengaitkan semua penderitaan Anita pada "grief" (duka), perhatian itu tetaplah tulus. Anita memejamkan mata, membiarkan kehangatan Mama menenangkan rasa sakitnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa memiliki tempat berlindung yang nyata.
Saat senja tiba, Mama dan Sela bersiap untuk pergi setelah Mama menjanjikan akan datang lagi besok.
"Jaga Kak Nita baik-baik, Kak Aidan," perintah Sela dengan nada serius saat melewati ruang kerja Aidan.
Aidan hanya mengangguk, tetapi ia tahu ancaman itu nyata. Ia tidak hanya takut pada Mama, tetapi ia juga kini takut pada tatapan tajam adiknya sendiri.
Aidan berhasil mempertahankan rahasianya, tetapi ia kehilangan kendali total atas rumah dan istrinya. Dan yang lebih mengganggunya, ia tidak bisa menghentikan perasaan lega yang ia rasakan saat tahu Anita dirawat oleh tangan yang benar-benar peduli.