Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 10
Dua Tahun Kemudian
Eropa menyambut musim dingin dengan gigitan udara yang tajam. Langit tampak pucat, salju turun perlahan seperti serpihan kenangan yang enggan benar-benar hilang. Namun, bagi Lara, dingin itu bukan halangan, ia justru membutuhkannya. Sesuatu yang lebih dingin dari luka di hatinya, agar segalanya terasa seimbang.
Sudah dua tahun ia tinggal di kota kecil bernama Annecy, di perbatasan Prancis dan Swiss. Kota yang tenang, dikelilingi danau biru dan pegunungan bersalju. Setiap pagi, kabut turun di antara rumah-rumah tua dengan jendela berbingkai kayu, membuatnya serasa hidup di dalam lukisan. Annecy menjadi tempat pelariannya. Tempat di mana ia mencoba melupakan siapa dirinya dulu, dan siapa yang telah menghancurkannya.
Pagi itu, seperti biasa, Lara mengenakan mantel wol abu-abu dan syal tebal yang membungkus lehernya. Napasnya membentuk asap tipis di udara. Ia melangkah menyusuri jalanan berbatu menuju Café de Lune, kafe kecil bergaya vintage di tepi danau, tempatnya bekerja sebagai barista. Kafe itu sederhana, namun hangat, dengan jendela besar, lampu kuning temaram, dan aroma kopi yang memeluk siapa pun yang datang.
Lara menyalakan mesin espresso, membuka tirai, dan menyambut pagi dengan kesunyian yang sama seperti dua tahun terakhir. Kadang ia membantu Bella, teman kerjanya, menata roti hangat di etalase. Tak ada yang mengenal Lara di kota ini. Tak ada Arga. Tak ada Dila. Tak ada masa lalu. Hanya dirinya, secangkir kopi, dan lagu-lagu Prancis yang sayup terdengar dari speaker tua di sudut ruangan.
Salju turun makin rapat, menutupi atap-atap rumah seperti lembaran putih baru. Di kota kecil itu, waktu berjalan lambat, dan Lara suka begitu. Ia bisa bernapas tanpa harus menatap wajah siapa pun yang mengingatkannya pada pengkhianatan. Tak ada yang menanyakan kenapa matanya sembap di pagi hari, atau kenapa ia sering memandangi hujan salju terlalu lama.
Namun, malam tetap sunyi. Kadang ia terbangun dengan dada sesak, teringat pada hari terakhir di rumah itu, pada Arga, pada Dila, dan pada kata-kata yang menampar lebih keras dari tangan ibunya.
Wajah Arga masih muncul di antara mimpi-mimpinya. Senyumnya, suaranya, caranya memanggil “Sayang,” seolah-olah semua itu nyata. Tapi setiap kali ingatan itu muncul, Lara hanya menutup mata lebih erat. Ia tidak ingin membenci. Tapi ia juga tak mampu melupakan.
Dia dulu berpikir waktu akan menyembuhkan. Tapi ternyata, waktu hanya mengajari luka untuk bersembunyi lebih dalam.
Dan yang paling menyakitkan adalah, ia masih mencintai lelaki itu. Dalam diam. Dalam luka.
Sore itu, Café de Lune mulai sepi. Hanya beberapa pengunjung duduk di dekat jendela, membaca buku atau memandangi salju yang menari di luar. Lara berdiri di balik meja bar, menatap keluar dengan tatapan kosong. Suara musik klasik mengalun lembut dari gramofon tua, mengisi ruang dengan nostalgia samar.
“Eh, duduk dulu, Lara. Kakimu bisa copot kalau terus berdiri begitu,” suara Bella memecah lamunannya. Gadis berdarah Prancis-Indonesia itu datang membawa dua cangkir teh panas.
Lara tersenyum kecil, menerima salah satu cangkir. “Merci,” ucapnya pelan.
“Teh melati campur madu,” kata Bella sambil duduk di bangku bar. “Resep dari nenekku di Bandung. Cocok buat hari dingin begini.”
Lara menyeruput sedikit. Hangat. Wangi melati bercampur madu menenangkan tenggorokannya. “Kamu selalu tahu cara menenangkan orang,” ujarnya pelan.
Bella tertawa kecil. “Itu bukan aku, itu efek madu,” jawabnya ringan, lalu menatap sahabatnya itu beberapa detik lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu di mata Lara, sesuatu yang selalu tampak jauh.
“Kadang aku lupa kalau kamu bukan orang sini,” kata Bella pelan. “Tapi wajahmu selalu... entah kenapa, terlihat seperti orang yang menyimpan badai.”
Lara menunduk. Ia tahu apa maksud Bella, tapi ia tak ingin menjawab. Ia hanya mengangkat cangkirnya sedikit dan tersenyum samar. “Je suis fatiguée, Bella. Capek, tapi bukan karena kerja.”
Bella mengangguk pelan, lalu menjawab dengan bahasa yang sama lembutnya.
“Tu as le droit d’être fatiguée. Kamu berhak untuk lelah.”
Kalimat itu menembus dingin sore itu. Lara menatap uap teh yang naik pelan, seperti melihat kepulan kenangan yang tak bisa diusir.
“Bella,” ujarnya tiba-tiba, suaranya pelan tapi getir. “Kamu pernah merasa, terjebak di masa lalu?”
Bella menghela napas dalam. “Pernah,” katanya jujur. “Tapi ibuku selalu bilang, waktu memang tidak bisa menyembuhkan semua luka. Tapi waktu bisa memberimu tempat baru untuk bernapas.”
Lara terdiam lama. Di luar, salju turun semakin deras, menempel di kaca jendela seperti bintik-bintik kecil yang memburamkan dunia. Ia menatapnya, lalu tersenyum lemah.
“Dulu aku pikir, jika aku cukup jauh, semuanya akan hilang. Tapi ternyata, kenangan ikut menyeberangi benua,” ucapnya nyaris berbisik.
Bella meletakkan tangannya di atas tangan Lara. “Kau tak harus melupakan, Lara. Kadang bertahan hidup saja sudah cukup.”
Kata-kata itu membuat Lara menunduk. Ia merasa seolah seseorang baru saja menyentuh bagian paling rapuh dari dirinya, bagian yang selama ini ia sembunyikan di balik tawa kecil dan rutinitas yang tenang.
Di dinding kafe, jam tua berdetak pelan. Sore beranjak menjadi malam. Lampu-lampu jalan di luar menyala, memantulkan cahaya kekuningan di permukaan salju. Lara menatap pantulan dirinya di kaca, perempuan berwajah lelah, dengan mata yang dulu penuh cinta kini hanya menyisakan hening.
“Aku suka kafe ini,” ujar Lara tiba-tiba. “Dan aku senang kamu di sini.”
Bella tersenyum hangat. “Annecy memang kecil, tapi cukup luas untuk menampung dua jiwa yang tersesat.”
Lara tertawa kecil. Suaranya lirih, tapi jujur. Ia menatap keluar jendela sekali lagi. Salju terus turun, lembut dan tenang. Di dalam dadanya, sesuatu perlahan meleleh, bukan seluruhnya, tapi cukup untuk membuatnya merasa hidup lagi.
Malam itu, sebelum menutup kafe, Lara menulis sesuatu di halaman belakang buku catatan menunya.
“Di antara bahasa yang belum kukenal, dan aroma kayu manis yang asing, aku mulai menemukan potongan diriku yang dulu hilang.
Mungkin, Annecy tidak sedingin yang kukira,
jika ada hati yang mau tinggal di dalamnya.”
Ia menutup buku itu, meniup lilin kecil di meja bar, lalu melangkah keluar. Hujan salju menyambutnya. Ia mendongak, membiarkan serpihan dingin menyentuh wajahnya.
Mungkin luka tak pernah benar-benar sembuh. Tapi malam itu, di bawah langit Annecy yang putih, Lara tahu satu hal: ia sudah mulai pulih.
Catatan:
> Je suis fatiguée \= Aku lelah
Tu as le droit d’être fatiguée \= Kamu berhak untuk merasa lelah
******
Untuk readers selamat datang di karya baru author, untuk yang sudah membaca. Terima kasih banyak, jangan lupa support author dengan like, komen dan vote cerita ini ya biar author semangat up-nya. Terima kasih😘😘😘
Aku udh mmpir.....
Dr awl udh nysek,kbyang bgt skitnya jd lara....d khianati orng2 trdkatnya,apa lg dia tau kl dia cm ank angkat.....btw,hkum krma udh mlai dtang kya'nya....mnimal tau rsanya khilangn dn smga mrsakn pnyesaln s'umr hdp.....
sekarang nikmati saja karma kalian