Vanya sengaja menyamar menjadi sekretaris yang culun di perusahaan milik pria yang dijodohkan dengannya, Ethan. Dia berniat membuat Ethan tidak menyukainya karena dia tidak ingin menikah dan juga banyaknya rumor buruk yang beredar, termasuk bahwa Ethan Impoten. Tapi ....
"Wah, ternyata bisa berdiri."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Bagi Vanya, menerima pekerjaan sebagai sekretaris di Sigma Corp sama saja dengan mendeklarasikan perang terbuka pada takdir yang diatur oleh orang tuanya. Dia tidak mau dijodohkan. Titik. Daripada menolak mentah-mentah dan membuat semua fasilitasnya disita, lebih baik dia menerima tantangan itu, tetapi dengan satu misi rahasia yaitu membuat Ethan Mahardika menolaknya secara sukarela.
Maka pagi itu, Vanya menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin, bukan untuk merias diri agar terlihat memesona, melainkan untuk melakukan sabotase penampilan.
Vanya tertawa geli melihat bayangan dirinya. Rambutnya yang indah, biasanya dibiarkan tergerai menawan, kini diikat ketat ke belakang dengan gaya yang sangat kaku, hampir menyerupai ekor kuda yang kena air. Wajahnya yang biasanya berseri-seri glowing alami kini tampak lebih gelap dan pucat berkat bedak tabur murah yang dia oleskan secara tidak merata.
Puncaknya adalah aksesori andalan penyamaran, kacamata berbingkai tebal menutupi kedua mata indahnya. Untuk pakaian, dia hanya mengenakan kemeja kotak-kotak yang kebesaran, dipadukan dengan celana bahan hitam yang sudah memudar warnanya.
"Wow, ternyata aku jelek juga kalau kayak gini," gumam Vanya jujur, nyaris tak mengenali dirinya sendiri. "Ini jauh lebih buruk daripada adegan transformasi ugly duckling di drama Korea mana pun. Sempurna!"
Kemudian Vanya membawa map berisi surat lamarannya dan melangkah keluar dari kamar.
Di ruang tengah yang mewah, Bu Ella sedang menikmati jus jeruk pagi. Melihat penampakan putrinya, Bu Ella hampir menyemburkan minumannya.
"Astaga! Vanya! Kamu itu mau bekerja di perusahaan besar dan menjadi sekretaris, Nak! Bukan mau jadi relawan di daerah terpencil!"
Vanya menyambut teguran itu dengan santai. Dia meraih gelas jus yang dipegang mamanya dan meneguknya hingga tandas. "Tenang, Ma. Kalau seandainya aku tidak diterima bekerja, itu bukan salahku, dong. Artinya standar Ethan terlalu tinggi. Jadi aku bebas dong dari Ethan."
"Vanya, kamu sengaja, kan?" Bu Ella menatap tajam, mulai memahami siasat putrinya. "Mama dan Papa menyuruh kamu menjadi sekretaris di perusahaan Ethan agar kamu mandiri dan bisa dekat dengannya. Nilai kuliah kamu sangat bagus, dan kamu juga pandai bicara, sudah pasti lolos wawancara. Tapi kalau penampilanmu begini...."
"Mama tenang saja," potong Vanya, kembali memasang wajah polos. "Kalau si Ethan itu bisa menerima aku apa adanya dengan penampilan seperti ini, bagus dong. Artinya dia tidak melihat fisik. Bukannya itu yang Mama mau?"
"Iya, bagus. Tapi masalahnya kamu melamar sebagai sekretaris, Vanya!" desis Bu Ella lagi semakin frustrasi. "Sekretaris itu seharusnya representasi perusahaan!"
"Sekretaris tidak harus cantik ataupun seksi, Ma," Vanya mengedikkan bahu. "Karena aku datang bukan untuk menggoda si Ethan itu. Aku datang untuk bekerja."
Vanya mencium punggung tangan ibunya dengan cepat, lalu mengecup pipinya. "Aku berangkat ya, Ma! Doakan aku cepat dipecat!" Tanpa menunggu jawaban, dia segera keluar dari rumahnya.
Di garasi, Vanya dengan bangga menaiki motor matic sederhana yang baru dibelikan Papanya sesuai permintaannya. Motor matic second-hand adalah bagian penting dari penyamaran si gadis miskin ini.
"Sebenarnya sudah lama aku tidak pakai motor matic. Terakhir saat masih SMA. Sudah lima tahun yang lalu. Apa aku masih bisa?" Dia bergumam ragu. Setelah lima tahun dimanjakan dengan mobil-mobil mewah, motor matic ini terasa asing sekaligus mendebarkan baginya.
Vanya memakai helmnya, menghidupkan mesin motor, menarik napas perlahan, dan melajukan motornya menuju jalan raya. Dia mengendarai dengan sangat hati-hati, sesekali oleng karena terlalu gugup.
Perjalanan itu terasa panjang dan penuh ketegangan, tetapi akhirnya, gedung pencakar langit Sigma Corp yang megah mulai terlihat. Jantung Vanya berdebar, dia mulai membayangkan kegembiraannya saat wawancara nanti gagal total.
Namun, hanya beberapa meter sebelum gerbang utama, saat Vanya mencoba bermanuver pelan, tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam mengkilap, yang terlihat sangat mahal dan baru, melesat menyalipnya dari sisi kiri dengan kecepatan tinggi.
BRAK!
Karena kaget dan kurang ahli, Vanya gagal mengendalikan motornya. Stang motor matic-nya menabrak bagian belakang mobil mewah itu dengan bunyi keras yang memilukan.
Vanya berhasil menahan keseimbangan agar tidak jatuh, tetapi ia sudah kepalang marah. Dia segera membuka kaca helmnya dan berteriak keras.
"HEI! MENTANG-MENTANG PAKAI MOBIL BAGUS MENYALIP SEENAKNYA! EMANG INI PERUSAHAAN PUNYA KAMU, HAH!?"
Seorang petugas keamanan yang berjaga di gerbang segera berlari menghampiri Vanya dengan wajah panik. "Mbak, sepeda motor lewat sana!" Satpam itu menunjuk ke jalur parkir motor yang lebih kecil dan tertutup palang otomatis. "Dan, maaf Mbak, perusahaan ini memang milik beliau."
Vanya tercekat. Dia menoleh ke mobil sedan yang kini berhenti total. Oh, sial. Pasti si Ethan.
Pintu pengemudi mobil itu terbuka. Keluarlah sosok tinggi, berjas abu-abu gelap, dengan aura sedingin es dan wibawa yang sangat dominan. Pria itu berjalan tegak, wajahnya datar tanpa ekspresi, tetapi setiap langkahnya memancarkan otoritas tak terbantahkan. Ketampanannya tak bisa disangkal.
Vanya terperangah. Dia lupa dengan amarahnya. Semua rencananya untuk 'terlihat jelek' seolah sia-sia saat dia melihat langsung sosok itu.
"Wah, mirip tokoh di drama..." Vanya bergumam pelan, tanpa sadar.
Ethan berhenti tepat di depan motor matic Vanya yang kini menempel di bemper mobilnya. Tatapan matanya yang tajam dan dingin menyapu Vanya dari atas sampai bawah, rambut kaku, kacamata tebal, kemeja usang, dan motor matic butut, tak membuat Ethan iba padanya atas kesalahan yang dia perbuat.
"Kamu harus ganti rugi kalau tidak biar pihak yang berwajib mengurusnya. Eko, urus dia." Tanpa menunggu bantahan, Ethan berbalik dan berjalan menuju pintu masuk utama perusahaan.
Vanya merasa kesal. Dia justru menendang mobil itu. "Dasar orang kaya pelit! Cuma tergores sedikit saja suruh ganti rugi. Gak ada rasa kasihannya sama sekali sama orang miskin." Meskipun dalam hati Vanya tertawa karena ternyata dia terlalu menghayati perannya.
Mendengar hal itu, seketika Ethan menghentikan langkah kakinya. Dia berbalik dan menatap Vanya yang berdiri tak jauh darinya. Dia tahu, Vanya pasti akan melamar pekerjaan karena melihat map coklat yang dibawanya. "Kamu mau melamar di bagian apa?"
Vanya tak bisa menyangkal, suara Ethan terdengar seksi di telinganya. "Jadi sekretaris. Sepertinya Pak Ethan tidak akan menerima saya bekerja karena insiden ini. Kalau begitu terima kasih." Buru-buru Vanya berbalik namun Ethan memanggilnya lagi.
"Tunggu! Kamu bisa mulai bekerja hari ini juga jadi kamu tidak perlu ganti rugi."
Vanya menelan salivanya. Dia kira, dia bisa pergi dengan mudah dan tidak perlu bekerja tapi ternyata justru sebaliknya. "Apa? Aku diterima bekerja?"