Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pola yang Tak Terpahami
...Chapter 5...
Fuuuuh!
'Dan paling menyakitkan, dalam skenario gamenya sendiri, Ilux membunuhku tanpa belas kasihan.
Tamat.
Tetapi lihat keadaan ini? Dunia terkutuk ini malah menghidupkan kembali Eshura, atau lebih tepatnya menempatkanku, Theo Vkytor, dalam tubuh Eshura yang setengah mati.
Mereka tak mengizinkanku mati, hanya ingin terus tersiksa hidup sebagai karakter yang paling kutolak!'
Tsuuuuf!
'Dan yang membuatku semakin kalut, Erietta Bathee selalu datang tiba-tiba, menawarkan taruhan.
"Mari bertaruh dengan nyawamu, Eshura," ujarnya. Atau, "Taruhan kehormatanmu."
Aku ini penulis, bukan pemain judi! Tapi wanita itu seperti tak kenal lelah—setiap kali bertemu, selalu ingin mempermainkan nyawa orang!'
Wusssssh!
'Apakah dia mengira ini semua hanya hiburan, hanya lapangan taruhan untuk kesenangan?
Tentunya aku sudah mencapai batas kesabaran!
Dunia ini sudah mengambil identitas, nama, bahkan kenyataanku—dan sekarang aku harus berhadapan dengan wanita tak waras yang gemar membuat jantungku berdebar tak terkendali?!!
Jika dia berani muncul lagi, aku sungguh akan ... ahh!!'
Sejujurnya, pertemuan antara Theo Vkytor dan Erietta Bathee bukanlah sesuatu yang bisa didefinisikan sebagai takdir indah, melainkan semacam kutukan nan diukir oleh pena dan logika digital yang kehilangan arah.
Bagi Theo, gadis berambut hijau rindang itu adalah simbol dari keterpaksaan—pengingat bahwa dunia yang dulu hanya hidup di layar dan imajinasi kini telah menelan seluruh kenyataannya.
Ia membenci setiap kedipan mata Erietta, setiap langkah nan memecah keheningan dunia yang sudah berganti wujud menjadi skenario hidupnya sendiri.
Tidak ada yang lebih menakutkan daripada menyaksikan ciptaan fiksi menatap balik, hidup, dan bernapas dalam dunia yang sama dengannya.
Semua yang dulu sekadar plot kini menjadi nafas, dan Theo terjebak di tengah, menanggung absurditas antara menjadi penulis dan menjadi karakter yang terperangkap oleh algoritma orang lain.
Namun kebencian itu tidak lahir dari kehampaan belaka.
Sebab di balik wajah dingin Erietta nan nyaris tidak mengenal konsep emosi, tersembunyi dorongan agresif yang membuat Theo muak sekaligus takut.
Gadis itu bukan sekadar pengikut takdir yang dibentuk oleh ketetapan dunia Flo Viva Mythology.
Dia adalah penjudi nasib. Setiap tindakannya selalu diiringi dengan taruhan, dengan keyakinan kaku bahwa sesuatu yang besar hanya bisa diperoleh lewat kehilangan besar pula.
Ia bukan karakter yang tunduk pada skenario, melainkan pengguncang naskah itu sendiri.
Dan bagi Theo, hal itu menjadikan keberadaannya lebih berbahaya dari apa pun di dunia yang kini 99 persen telah berubah menjadi panggung game nan terkutuk.
Theo, atau kini lebih tepatnya Eshura Birtash, tak bisa lagi mengelak dari kenyataan bahwa dirinya telah direnggut dari posisi sebagai pengamat dan penulis.
Tubuhnya kini ditempati oleh karakter yang pernah dideskripsikan sebagai bajingan yang tamak, haus wanita, dan akan menjual siapa pun demi sekeping koin.
Eshura adalah simbol kebusukan moral, tokoh yang hanya muncul sejenak untuk membuktikan bahwa tidak semua orang yang membantu pahlawan layak diingat.
Ironinya, kini Theo mengenakan wajah itu.
Ia menjadi bagian dari kebusukan yang dulu orang lain tulis sebagai pelajaran moral dalam narasi.
Dan meski tahu betapa menyedihkannya nasib karakter itu, Theo tidak bisa menghapus atau menulis ulang apa pun.
Dunia telah mengambil alih perannya sebagai penulis.
Ia hanya bisa hidup di dalam naskah yang menelannya.
Keterasingan itu menjelma menjadi keputusasaan tak bersuara.
Setiap kali Erietta menatapnya dengan sorot mata hampa, Theo seolah melihat bayangannya sendiri—seorang manusia yang terjerembap di antara realitas dan imajinasi.
Tidak ada jalan keluar, tiada pilihan untuk kembali menulis dari luar layar.
Kini, setiap langkah yang diambil adalah tinta nan mengalir tanpa pena, cerita yang terus berkembang tanpa persetujuan.
Dunia yang dulu ia kagumi telah berubah menjadi cermin besar nan menertawakan pencipta lain.
Dan Erietta, dalam ketenangan paling abadi, adalah saksi dingin dari kehancuran seorang penulis bernama Theo Vkytor.
'Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa—diriku sendiri nan terbawa sifat Eshura Birtash, atau dunia game ini yang memaksakan karakternya masuk ke dalam pikiran.
Sialnya, sejak pertama kali terjun ke dunia Flo Viva Mythology, aku benar-benar bertingkah persis seperti Eshura.
Menggoda wanita, menyeringai licik pada setiap orang yang lewat, dan paling memalukan—aku bahkan menargetkan Erietta Bathee.
Ya, wanita berambut hijau itu, makhluk dingin yang matanya bagai dua bilah pedang menancap di dada.'
Shuuuush!
'Awalnya hanya ingin main-main. Hanya penasaran melihat ekspresinya bila berhasil merebut pedang kesayangannya.
Pedangnyan konon dikutuk laparnya kegelapan, yang hanya patuh pada pemilik dengan niat paling busuk.
Namun tentu saja Erietta tidak bodoh.
Alih-alih menyerahkan pedangnya, dia malah langsung menantangku berduel.
"Kalahkan aku dulu, baru pedang ini bisa jadi milikmu," katanya—dengan wajah datar, tanpa emosi, namun menusuk sampai ke tulang sumsum.'
Fuuuuuh!
'Tentu saja kutolak waktu itu.
Aku tidak gila mau bertarung melawan wanita yang bisa membelah batu hanya dengan kibasan rambut.
Namun mulai hari itu, setiap kali dia melihatku, baik di pasar, di menara, bahkan saat aku sedang duduk makan roti, dia selalu muncul dan mengucapkan kalimat yang sama.
"Eshura, mari bertanding." Atau kadang, "Sudah siap menebus ucapanmu dulu?"'
Wuuffh!
'Semakin lama dipikir semakin muak.
Kutahu Erietta sangat menjunjung tinggi adab dan tekad.
Baginya, duel bukan soal kemarahan, tetapi bukti kelayakan seseorang.
Tetapi tetap saja, apakah setiap pertemuan harus diakhiri dengan tantangan berduel?
Apakah hidupku di dunia baru ini belum cukup menyedihkan sampai aku harus menjadi partner latihan abadi bagi seorang maniak kehormatan?'
Wusssh - wusssh!
'Karena itulah aku membencinya.'
Dan sesuai dugaan, awal mula kejatuhan Theo di dunia game megah ini bukan hanya tentang kehilangan realitas, melainkan juga tentang kehilangan martabatnya sendiri.
Ketika pertama kali terseret ke dalam tubuh Eshura Birtash, insting lama man tertulis dalam karakter itu bangkit dengan sendirinya, menuntun Theo untuk melakukan hal yang bahkan dirinya sendiri anggap memalukan.
Ia sempat menggoda Erietta Bathee, mencoba merayu dengan alasan yang dibalut kepura-puraan agar gadis itu menyerahkan pedang kesayangannya—pedang yang dikenal sebagai lambang kesucian sekaligus tekad tak tergoyahkan dari sang pendukung utama Ilux Rediona.
Namun, seperti yang sudah bisa ditebak, tindakan itu hanya berakhir dalam ejekan nasib.
Erietta langsung menanggapinya dengan tantangan bertarung yang bahkan tak sempat Theo pikirkan untuk diterima.
Tantangan nan dingin, tanpa emosi, dan tanpa rasa dendam—namun cukup untuk membuat Theo sadar bahwa tubuh dan identitasnya kini bukan lagi miliknya sepenuhnya.
Sejak saat itu, setiap kali pertemuan mereka terjadi—entah di tengah reruntuhan akademi, di antara bayang-bayang rerumputan suci, atau di tempat yang tak lagi bisa disebut dunia manusia—Erietta selalu muncul dengan ritme begitu serupa.
Pandangan datar, napas stabil, dan nada tak pernah berubah.
Ia tidak membenci Theo, tidak pula membenci Eshura.
Ia hanya bertindak sesuai pola yang tak bisa dipahami oleh logika manusia.
Namun di balik setiap tatapan kosong, ada semacam amarah sunyi nan menolak padam.
Theo bisa merasakannya, seperti bara kecil di bawah salju nan dinginnya menipu.
Ia tahu, bagi gadis seperti Erietta, kehormatan bukanlah hal yang bisa ditawar.
Dan Theo, dengan dosa masa lalunya sebagai Eshura, telah menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya disentuh.
Ironisnya, bagi Erietta, setiap pertemuan dengan Theo selalu berakhir dengan satu hal yang sama.
‘Tawaran untuk bertarung.’
Bukan dalam bentuk ajakan nan menggebu atau dendam pribadi, melainkan tantangan yang diucapkan dengan cara paling dingin, seolah itu adalah ritual rutin dalam eksistensinya.
Bersambung….