Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.
Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.
Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.
Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:
“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”
Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.
Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 — Hujan Arwah
Rendra berjalan menjauh dari Desa Waringin, meninggalkan penyembahan yang memuakkan dan tubuh dingin Nyai Melati. Ia berjalan menembus hutan, mencari tempat di mana tidak ada air, tidak ada penduduk, dan tidak ada gema Laras. Tetapi ia segera menyadari bahwa upayanya sia-sia.
Ia adalah air itu sendiri.
Meskipun ia berada jauh di dalam hutan, tubuh Rendra terus meneteskan air jernih. Matanya yang hitam pekat memancarkan dingin yang konstan, dan suara Laras tidak pernah meninggalkannya.
“Kau haus, Pembawaku. Kau butuh pengakuan. Kau butuh darah. Jangan melawan kami. Kami adalah kebenaran yang jujur.”
Rendra berjalan ke sebuah gua kering di lereng bukit. Ia berharap tempat yang kering dan tertutup akan memutus koneksinya dengan elemen air.
Namun, saat ia memasuki gua itu, air di tubuhnya semakin deras menetes, menciptakan genangan kecil yang segera membesar di lantai gua yang berdebu.
Rendra duduk, mencoba mengendalikan gejolak di dalam dirinya. Ia merasakan ratusan arwah, korban-korban pengorbanan yang disembunyikan, berteriak kegirangan karena mereka memiliki Pembawa Tenang yang hidup dan kuat. Mereka haus akan penebusan fisik.
Rendra harus memberi mereka makan, atau mereka akan merobek desa itu dari dalam.
Rendra mengambil keputusan yang menyakitkan. Ia harus mengalihkan fokus arwah-arwah itu dari manusia.
Ia menusuk telapak tangannya sendiri dengan ujung dahan kering yang tajam. Darah Rendra menetes ke air yang menggenang di lantai gua.
Saat darahnya menyentuh air, air itu bergolak hebat.
Ratusan bayangan samar muncul di permukaan air genangan, menari dan menjerit dalam kegembiraan yang mengerikan. Rendra telah memberi mereka makan.
Rendra menyadari bahwa Darah adalah satu-satunya mata uang di dunia spiritual ini.
Malam itu, Rendra keluar dari gua. Langit di atas hutan terasa aneh. Tidak ada bulan, dan bintang-bintang tersembunyi.
Tiba-tiba, ia merasakan perubahan atmosfer yang drastis. Ia merasakan energi spiritual yang luar biasa tertarik ke permukaan.
Laras sedang berkomunikasi.
Hujan turun lagi.
Tetapi ini bukan hujan darah, dan bukan hujan murni.
Dari langit hitam, jatuh serpihan putih seperti abu atau salju.
Rendra mengangkat tangannya, menangkap serpihan putih itu. Ketika serpihan itu menyentuh kulitnya yang pucat, ia berubah.
Serpihan itu berubah menjadi wajah-wajah samar orang mati.
Wajah-wajah yang memohon, wajah-wajah yang tersenyum lega, dan wajah-wajah yang marah. Itu adalah wajah-wajah dari semua korban yang terperangkap di Kuburan Air.
Hujan Arwah.
Desa Waringin, yang kini diselimuti hujan serpihan putih ini, telah berubah menjadi tempat berkumpulnya arwah. Arwah-arwah itu, yang kini dilepaskan dari Kuburan Air, berkeliaran, berinteraksi dengan dunia fisik melalui Rendra.
Rendra berjalan kembali ke Desa Waringin.
Penduduk desa tidak lari. Mereka berdiri di tengah hujan arwah, berlutut, menyambut serpihan putih itu dengan gembira. Mereka percaya bahwa Pembawa Tenang sedang memberkati mereka dengan kehadiran arwah suci.
Mereka mengira ini adalah keajaiban. Mereka mengira Rendra sedang memanggil arwah leluhur untuk melindungi mereka.
Rendra berdiri di tengah desa yang kini dipenuhi bayangan spiritual. Ia merasakan kedamaian yang mendalam, karena arwah-arwah itu kini berada di bawah kendalinya. Mereka tidak lagi haus, karena mereka telah disajikan kebenaran dan darah penebusan.
Rani dan Dimas mendekatinya. Wajah mereka penuh kengerian.
“Mas Rendra! Apa yang kau lakukan? Ini bukan hujan! Ini semua yang telah mati!” seru Rani.
Rendra menatap adiknya, matanya hitam dan dingin.
“Mereka ingin damai, Rani. Dan ini adalah damai mereka. Mereka tidak lagi terperangkap di bawah tanah. Mereka bebas di sini.”
Dimas, dengan ketenangan yang aneh, menyentuh serpihan putih yang jatuh ke lengannya. Wajah samar seorang anak kecil muncul dan tersenyum padanya.
“Mereka tenang, Kak,” bisik Dimas. “Mereka hanya butuh seseorang untuk mengakui keberadaan mereka.”
Rendra melihat sekeliling. Ia melihat arwah-arwah itu berinteraksi dengan penduduk desa. Seorang ibu menangis sambil memeluk bayangan samar anaknya. Seorang pria tua berlutut di hadapan bayangan istrinya.
Desa itu damai, tetapi damai itu tercipta dari kepatuhan total pada kekuatan spiritual.
Rendra tahu, ia telah berhasil menenangkan arwah-arwah itu. Tetapi ia telah membayar harga yang lebih mahal: ia telah kehilangan kemanusiaannya dan menciptakan siklus penyembahan baru.
Malam itu, Rendra duduk di Balai Desa yang kini penuh dengan bayangan arwah yang tenang. Ia merasa damai, tetapi ia juga merasa haus.
Kehausan yang ia rasakan bukan lagi untuk darah, tetapi kehausan untuk pengorbanan yang lebih besar. Pengorbanan yang akan memuaskan semua arwah ini selamanya, mengakhiri siklus ini sepenuhnya.
Rendra tahu, pengorbanan itu harus melibatkan air, darah, dan memori.
Ia melihat ke Sumur Tua, dan ia mendengar bisikan Laras yang menuntunnya.
“Kau harus mengabadikan damai ini, Pembawaku. Abadikan mereka di dalam air selamanya. Jadikan desa ini kuburan yang damai.”
Rendra mengangguk. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.