NovelToon NovelToon
Sayap Patah Angkasa

Sayap Patah Angkasa

Status: tamat
Genre:Angst / Tamat
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kepo saja

Angkasa tidak bergerak. Ia hanya terus menekan telapak tangannya ke dada, merasakan detak jantungnya sendiri yang bergemuruh seperti janji. Suara panik Lila yang memanggil namanya terdengar seperti datang dari seberang lautan, teredam oleh debur ombak dan kepastian yang baru saja ia temukan di dalam sangkar rusuknya.

“Mas Angkasa!” panggil Lila lagi, kali ini suaranya lebih tajam, sarat akan ketakutan yang merobek ketenangan senja itu.

“Tolong! Kita harus bawa Gilang kembali ke mobil, sekarang!”

Panggilan itu akhirnya menembus selubung perenungannya. Angkasa tersentak, kembali ke kenyataan yang dingin dan brutal. Ia melihat Lila yang berjuang menopang tubuh Gilang yang terkulai lemas di kursi rodanya. Wajah adiknya pucat pasi, bibirnya membiru, dan setiap tarikan napasnya adalah sebuah perjuangan yang menyakitkan.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Angkasa segera bertindak. Ia melepas genggamannya dari dadanya, melupakan sejenak mesin presisi yang berdetak di sana, dan bergegas membantu Lila. Dengan satu gerakan cepat, ia memutar kursi roda Gilang, sementara Lila berlari kecil di sampingnya, memegangi tabung oksigen portabel seolah itu adalah tali penyelamat terakhir. Pasir yang tadi terasa lembut kini menjadi medan pertempuran, memperlambat laju mereka menuju parkiran.

“Tahan, Lang, tahan sebentar lagi,” bisik Lila berulang kali, lebih seperti mantra untuk dirinya sendiri.

Angkasa tetap diam, tenaganya ia fokuskan untuk mendorong kursi roda secepat yang ia bisa. Tiang infusnya berderit di belakangnya, ditarik paksa, menjadi saksi bisu dari ironi yang kejam: seorang pria yang tubuhnya gagal memproduksi kehidupan, kini sedang mati-matian menyelamatkan sebuah jantung yang gagal memompa kehidupan.

.

.

.

.

.

Keesokan paginya, suasana di kamar 702 terasa tegang. Gilang sudah stabil setelah penanganan darurat semalam, tetapi insiden di pantai meninggalkan bekas luka yang tak terlihat. Ia lebih banyak diam, sementara Lila tampak lelah luar biasa, lingkaran hitam di bawah matanya menceritakan kisah malam tanpa tidur.

Angkasa menunggu momen yang tepat. Saat seorang perawat datang untuk membawa Gilang menjalani pemeriksaan EKG rutin, ia tahu inilah kesempatannya.

“La, aku mau jalan-jalan sebentar, ya. Cari udara,” katanya pada Lila yang sedang merapikan selimut.

Lila menoleh, tatapannya penuh selidik.

“Kamu yakin? Kondisimu juga nggak bagus, Mas. Jangan jauh-jauh.”

“Cuma di koridor depan, kok. Sumpah,” jawab Angkasa sambil tersenyum meyakinkan.

“Biar nggak kaku badan ku”

Lila akhirnya mengangguk, terlalu lelah untuk berdebat. Setelah memastikan Lila kembali fokus pada ponselnya, mungkin mencari informasi tentang transplantasi jantun.

Angkasa menyelinap keluar kamar. Tujuannya bukan koridor depan, melainkan lantai lima, tempat poli jantung berada.

Ia sudah mencari tahu nama dokter yang menangani Gilang. Dokter Ardi, seorang kardiolog senior yang terkenal tegas namun brilian. Menemukan ruangannya tidak sulit. Dengan napas yang sedikit terengah, ia mengetuk pintu kayu bertuliskan “Dr. Ardi, Sp.JP”.

“Masuk.”

Angkasa membuka pintu. Dokter Ardi, pria berusia akhir lima puluhan dengan kacamata tebal, mengangkat wajahnya dari tumpukan berkas. Alisnya sedikit terangkat melihat seorang pasien dengan tiang infus berdiri di ambang pintunya.

“Ya? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya, nadanya profesional dan sedikit tidak sabar.

“Maaf mengganggu, Dokter,” ucap Angkasa pelan.

“Saya… saya Angkasa. Teman sekamar Gilang.”

Dokter Ardi sedikit melunak.

“Oh, ya. Saya ingat. Silakan duduk. Ada apa? Apa ada keluhan terkait Gilang?”

“Bukan, Dok. Ini… ini tentang saya. Dan Gilang,” kata Angkasa sambil menarik kursi di hadapan sang dokter.

Dokter Ardi meletakkan pulpennya.

“Baik. Saya dengarkan.”

Angkasa menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan semua keberanian yang tersisa.

“Dok, saya mau tanya sesuatu yang mungkin aneh. Ini murni pertanyaan orang kepo saja.”

“Kepo,seperti apa?”

“Secara medis,” mulai Angkasa, memilih kata-katanya dengan hati-hati.

“Apakah memungkinkan… organ dari penderita Anemia Aplastik stadium akhir didonorkan kepada pasien gagal jantung?”

Keheningan yang jatuh setelah pertanyaan itu terasa begitu pekat. Dokter Ardi menatap Angkasa dari balik kacamatanya, ekspresinya berubah dari penasaran menjadi sangat serius, nyaris waspada.

“Saya ulangi, ya. Maksud Anda, misalnya, jika seorang pasien Anemia Aplastik mengalami kematian batang otak, bisakah jantungnya yang sehat didonorkan?”

“Tepat, Dok. Bisakah?” desak Angkasa.

Dokter Ardi bersandar di kursinya, kedua tangannya bertaut di atas meja.

“Ini bukan pertanyaan kepo biasa, Mas Angkasa. Ini pertanyaan yang sangat spesifik. Kenapa Anda bertanya?”

“Saya hanya ingin tahu kemungkinannya, Dok.”

“Kemungkinannya ada, tapi sangat rumit,” jawab Dokter Ardi, suaranya kini lebih pelan dan penuh pertimbangan.

“Anemia Aplastik menyerang sumsum tulang, bukan organ vital seperti jantung secara langsung. Selama fungsi jantung pendonor prima dan tidak ada komplikasi infeksi sistemik yang parah sebelum kematian, secara teknis jantung itu bisa digunakan.”

Secercah harapan menyala di dada Angkasa.

“Tapi,” lanjut sang dokter, nadanya menjadi peringatan.

“Prosedur seperti ini memasuki wilayah abu-abu, baik secara etis maupun medis. Komite etik akan meninjaunya dengan sangat ketat. Apalagi jika ada indikasi donasi terarah, di mana pendonor sudah menentukan siapa penerimanya sebelum ia meninggal. Itu bisa dianggap sebagai bentuk bunuh diri terencana, dan kami tidak bisa memfasilitasinya.”

Setiap kata dokter adalah tembok baru yang harus Angkasa runtuhkan.

“Ini bukan bunuh diri, Dok,” sanggah Angkasa dengan tenang, tatapannya lurus dan tak bergetar.

“Saya tidak berniat mengakhiri hidup saya. Hidup saya sudah akan berakhir. Dokter Hendrawan sendiri yang bilang waktu saya tinggal hitungan bulan. Transplantasi sumsum sudah bukan pilihan.”

Dokter Ardi tertegun. Ia tidak tahu kondisi Angkasa separah itu.

“Saya hanya tidak mau kematian saya sia-sia,” lanjut Angkasa, suaranya kini bergetar oleh emosi yang tertahan.

“Tubuh saya ini rusak, Dok. Pabrik darah saya sudah bangkrut. Tapi ada satu hal di dalam tubuh ini yang masih bekerja dengan sempurna. Jantung saya. Kuat, sehat, tidak pernah ada masalah. Di sisi lain, ada Gilang. Remaja yang seluruh masa depannya dihancurkan oleh jantungnya yang lemah.”

“Mas Angkasa…”

“Ini bukan keputusan impulsif karena melihat dia kesakitan kemarin di pantai, Dok. Saya sudah memikirkan ini matang-matang. Ini adalah satu-satunya hal logis yang tersisa untuk saya lakukan. Sebuah transaksi kosmik yang adil. Saya memberikan mesin yang tidak lagi saya butuhkan, untuk anak laki-laki yang sangat membutuhkannya. Saya tidak meminta Dokter melakukan sesuatu yang ilegal. Saya hanya meminta Dokter mempelajari kemungkinannya. Jika… jika nanti waktu saya tiba, dan semua syarat medisnya terpenuhi, tolong jangan biarkan jantung ini ikut terkubur sia-sia.”

Dokter Ardi menatap pemuda di hadapannya. Ia telah melihat banyak keputusasaan di rumah sakit ini, tetapi yang ia lihat di mata Angkasa bukanlah keputusasaan. Itu adalah sebuah tujuan. Sebuah kedamaian yang mengerikan.

“Ini permintaan yang sangat tidak biasa,” kata Dokter Ardi akhirnya, menghela napas berat. “Saya tidak bisa janji apa-apa. Prosedurnya berlapis dan butuh persetujuan banyak pihak.”

“Saya tidak minta janji, Dok. Saya hanya minta kesempatan,” balas Angkasa.

“Tolong pertimbangkan. Demi Gilang.”

.

.

.

.

Sementara itu, di kamar 702, Lila merasa gelisah. Angkasa sudah pergi lebih dari tiga puluh menit. Katanya hanya ke koridor, tetapi ia tak kunjung kembali. Sambil menunggu, Lila memutuskan untuk merapikan nakas di samping ranjang Angkasa yang sedikit berantakan. Ada beberapa buku, botol air mineral kosong, dan sebuah buku catatan kecil bersampul hitam.

Saat Lila mengangkat buku-buku untuk mengelap debu di bawahnya, buku catatan kecil itu terjatuh dan terbuka di lantai. Selembar kertas yang terlipat menyembul keluar dari tengahnya. Karena penasaran, Lila memungutnya. Itu bukan kertas sobekan biasa, melainkan kertas stiker kuning yang biasa dipakai untuk memo.

Ia membukanya. Tulisan tangan Angkasa yang rapi tergores di sana, seolah ditulis dengan penuh perenungan. Hanya ada beberapa kata, tetapi kata-kata itu membuat darah Lila seakan berhenti mengalir.

Satu jantung untuk dua kehidupan.

Angkasa -> Gilang.

Sayap terakhir untuk Lila.

Lila membacanya sekali. Lalu sekali lagi. Otaknya menolak untuk memproses makna di baliknya. Jantung? Gilang? Sayap? Apa maksud semua ini? Rasanya seperti membaca sebuah teka-teki gila. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, sebuah pemahaman yang mengerikan mulai merayap naik, mencengkeram tenggorokannya hingga ia sulit bernapas.

Tepat pada saat itu, pintu kamar terbuka. Angkasa masuk dengan ekspresi wajah yang aneh, campuran antara kelelahan dan kelegaan. Matanya bertemu dengan mata Lila yang terbelalak ngeri, lalu turun ke serpihan kertas kuning yang gemetar di tangan wanita itu.

1
Puput Assyfa
Laras kah yg datang
Puput Assyfa
walaupun hanya seminggu waktu yg tersisa setidaknya Angkasa merasakan kebahagiaan disisa hidupnya bersama orang yg dicintainya yaitu Lila
Puput Assyfa
semakin kesini makin menyesakan da2 😭 angkasa yg malang
Puput Assyfa
apa keinginan terakhir mu kasa? apa km ingin menikah dgn Lila
Realrf
berasa nggak 😩
Puput Assyfa
hingga Angkasa sekar4tpun Laras tidak muncul untuk menemuinya, hanya Gilang dan Lila yg setia menemaninya disaat2 terakhir Angkasa
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭
Puput Assyfa
keinginan Angkasa sungguh mulia tp aq jg GK rela km pergi untuk selamanya dgn takdir yg seperti ini Angkasa 🤧
Puput Assyfa
suatu saat kalian aq bersama dgn keadaan yg berbeda karena Gilang akan hidup dengan jantung Angkasa menjadi bagian dr Gilang
Puput Assyfa
kematian Angkasa sudah di depan mata tinggal menunggu hitungan bulan sedangkan laran km salah menolong orang ankmu sendiri km abaikan apa km akan diam saja sampa angkasa meninggal Laras
Puput Assyfa
aduh Laras bukan Gilang yg harus km tolong tp Angkasa, makin menyesakan saja🤧
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭,
setelah ini apa yg akan km lakukan pada Angkasa, Laras
Puput Assyfa
ya Allah Angkasa km masih memikirkan kesembuhan Gilang disaat km juga berjuang, km ingin melakukan kebaikan sebelum menutup mata untuk selamanya Angkasa 😭😭
Puput Assyfa
gak kebayang gimn hancvrnya Lila klo hilangan Gilang dan Angkasa yg sama2 berjuang melawan sakit keras yg blm ada obatnya
cici cici
bagus thor🥳🥳🥳
Realrf: Terima kasih kak 😍😍
total 1 replies
Puput Assyfa
angkasa aq padamu 😭
Puput Assyfa
ketika dikasih harapan tp belum juga melakukannya udah dij4tuhkan kedasar jur4ng oleh harapan itu sendiri, sungguh miris nasib yg dialami angkasa
Puput Assyfa
setidaknya disisa hidup angkasa Dy tidak sendirian tp ada seseorang yg mencintainya dgn tulus
Puput Assyfa
Laras, mentang2 km udah kaya bisa seenaknya sama angkasa anakmu sendiri, ibu macam apa km ngomong seperti itu,tidak Taukah kamu angkasa sedang berjuang antara hidup dan m*ti dan tidak semua sesuatu bisa diselesaikan dgn uang.
Puput Assyfa
Lila, berkatmu angkasa semangat menjalani hidupnya dari bayang2 masalalu yg menyakitkan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!