Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH : PULANG
“Mau ke mana, Git?” tanya Ratih, ketika melihat sahabatnya sudah tampil rapi dengan pakaian sopan dan anggun.
Gita yang telah selesai berdandan, langsung menoleh. Dia mengangguk, diiringi senyum cukup lebar. “Mas Maman mengajakku keluar.”
“Ke mana?” tanya Ratih penasaran.
Gita terdiam. Matanya bergerak secara beraturan, memikirkan jawaban yang akan diberikan kepada Ratih. Namun, tak terbesit ide sedikit pun. Gadis itu menggeleng samar, diiringi embusan napas pelan. “Sejujurnya, aku tidak tahu Mas Maman akan mengajak ke mana.”
“Astaga. Kamu sudah berdandan secantik ini, tapi tidak tahu akan pergi ke mana. Apakah itu bukan konyol namanya? Kamu yakin Mas Maman hendak mengajak kencan atau semacamnya? Kalau bukan ….” Ratih seperti sengaja membiarkan kalimatnya menggantung dan membuat Gita jadi resah.
“Um … ya … tapi ….” Raut wajah Gita menunjukkan rasa waswas yang berusaha ditutupi. “Kemarin, Mas Maman terlihat sangat yakin mengajakku keluar. Dia ….”
“Dalam kondisi yang belum sembuh total? Bagaimana jika dia mengajakmu hanya untuk menemani kontrol ke rumah sakit?” ujar Ratih enteng.
Gita kembali terdiam. Apa yang Ratih katakan cukup masuk akal.
“Kenapa kamu tidak memastikan terlebih dulu? Jangan sampai salah kostum, Non.” Ratih tertawa pelan atas ucapannya.
“Aku sudah bertanya. Tapi, Mas Maman tidak menjelaskan secara detail dan hanya …. Kamu sudah tahu seperti apa pria itu.”
“Ya, ampun. Semoga aku dijauhkan dari pria seperti itu. Meskipun tampan dan gagah, tapi sikapnya akan membuatku tidak nyaman. Menurutku, Mas Maman bukan pria yang menyenangkan. Maaf jika aku terlalu jujur.”
“Tidak apa-apa, Rat. Lagi pula, ucapanmu memang benar.” Gita tersenyum kecil menanggapi kejujuran Ratih. “Ya, sudah. Aku tidak peduli diajak ke manapun oleh Mas Maman. Aku pergi dulu,” pamitnya.
“Hati-hati, Git.”
Gita yang sudah berada di ambang pintu, menoleh, lalu tersenyum.
Rupanya, Mandala sudah menunggu di depan bangunan dua lantai, yang merupakan tempat kontrakan Gita. Dia berpenampilan lebih rapi dari biasanya. Pakaian, rambut dan segala hal yang ada pada diri pria itu tampak sangat sempurna.
Mandala juga menjinjing paper bag berwarna hijau. Entah apa yang ada di dalam kantong kertas tersebut. Entah hadiah untuk Gita atau bukan.
“Sudah lama, Mas?” tanya Gita basa-basi.
“Sepuluh menit,” jawab Mandala singkat.
“Itu bukan waktu yang lama untuk menunggu wanita bersiap-siap.”
“Aku tidak menunggu wanita,” ujar Mandala, seraya memberi isyarat agar Gita berjalan bersamanya.
“Mas pikir aku bukan wanita?” Gita menoleh, menatap aneh sambil terus melangkah.
“Usiamu baru 23 tahun. Bukankah begitu?” ujar Mandala, seraya terus menatap ke depan.
“Jadi, kita juga akan mempermasalahkan perbedaan usia?” Gita kembali menoleh kepada pria di sebelahnya.
“Itu kerap jadi masalah.” Kali ini, Mandala membalas tatapan Gita, meski hanya sekilas.
“Banyak sekali pasangan beda usia, yang menjalani rumah tangga dalam keharmonisan. Lagi pula, perbedaan pasti akan selalu ada.”
“Terlalu banyak perbedaan bisa menjadi pemicu keretakan. Awalnya mungkin diabaikan. Namun, itu bisa jadi bom waktu yang tiba-tiba meledak dan menghancurkan segalanya. Bangunan dengan pondasi kokoh sekalipun porak-poranda tanpa sisa.”
“Ya, hanya jika dibiarkan dan memang sengaja dijadikan masalah. Ikan buntal yang beracun pun bahkan masih bisa dimakan. Meski berisiko, tapi tidak sedikit orang yang berani mencicipinya. Padahal, kesalahan sedikit saja bisa membuat nyawa melayang.” Gita tersenyum kecil, seraya kembali menoleh kepada Mandala.
“Aku tidak yakin orang seperti Mas Maman takut akan hal sepele,” ujar Gita lagi. Kali ini, tanpa senyuman sama sekali. Tatapan serta raut wajahnya tampak lain dan sulit untuk diartikan.
“Bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa luka kecil pun tetap terasa sakit?”
Gita langsung menghentikan langkah. Ditatapnya Mandala yang justru terus berjalan, seakan tak peduli dengan dirinya.
Setelah berjarak sekitar tiga atau empat langkah, Mandala ikut tertegun, kemudian menoleh. “Aku tidak akan meninggalkan wanita sendirian, kecuali dia sendiri yang memintaku pergi.”
“Karena itukah Mas Maman meninggalkanku? Karena aku bukan wanita?”
“Kamu akan jadi wanita. Sebentar lagi.”
“Yang benar saja. Aku sudah menjadi wanita sejak lahir,” gerutu Gita kesal, sambil terus berdiri di tempatnya.
Lain halnya dengan Mandala. Dia hanya tersenyum samar melihat Gita yang mulai terpancing. Sebagai pria dewasa, Mandala tahu apa yang harus dilakukan.
Mandala kembali ke sebelah Gita. Tanpa diduga, dia meraih tangan gadis itu. Menggenggam erat, lalu menuntunnya melanjutkan perjalanan yang entah akan berakhir di mana.
Gita yang awalnya kesal, tak kuasa menahan senyum. Gadis itu tersipu malu. Sebagai seseorang yang hidup dengan banyak pria, Gita merasa sangat lemah karena berhasil dikalahkan hanya dengan genggaman tangan. Namun, harus diakui bahwa hatinya menghangat. Nyaman dan begitu indah. Ini lebih berharga dibanding tarif kencan tertinggi sekalipun.
Tak ada perbincangan lagi. Tapi, itu justru lebih baik sehingga tidak ada perselisihan konyol yang memuakkan.
Setelah menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, Mandala menghentikan langkah di depan rumah mewah bergaya kolonial. Dia terpaku beberapa saat sehingga membuat Gita bingung sekaligus penasaran.
“Apakah ini tempat tujuan kita, Mas?” tanya Gita.
Mandala menoleh, lalu mengangguk samar. Dia mengembuskan napas pelan dan dalam, sebelum menuntun Gita memasuki halaman yang dihiasi pohon palem di sisi sebelah kiri sedangkan sebelah kanan ditanami rumput, bunga, serta kolam hias yang ditata sedemikian rupa.
“Rumah siapa ini?” tanya Gita penasaran. Dia menoleh sekilas kepada Mandala, sebelum kembali mengarahkan perhatian ke depan, pada bangunan bercat kuning gading itu.
Mandala tidak menjawab. Terlebih, mereka sudah tiba di depan pintu. Dia langsung mengetuknya.
Tak berselang lama, pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya terkejut bukan main. “Mas Mandala.”
“Apa kabar, Bi?” sapa Mandala.
“Baik, Mas. Ayo, masuk. Silakan.” Wanita paruh baya itu terlihat sangat gugup, tapi juga bahagia. “Bapak ada di dalam. Seperti biasa. Sedang membaca. Mau Bibi panggilkan?”
Mandala segera menggeleng. “Aku saja yang akan ke sana,” tolaknya. Tanpa banyak basa-basi, dia menuntun Gita berlalu dari hadapan wanita paruh baya itu.
Gita yang masih dilanda penasaran, tak banyak bertanya. Dia hanya mengikuti Mandala, hingga tiba di satu ruangan dengan suasana seperti zaman dahulu kala.
Mandala dan Gita terpaku di ambang pintu. Tatapan keduanya tertuju pada seorang pria tua, yang tengah duduk di kursi dekat jendela kaca sambil membaca.
Tenang dan sangat hati-hati. Mandala berjalan mendekat. Namun, baru beberapa langkah, pria itu kembali tertegun.
“Bapak sudah tua. Tapi, belum lupa dengan suara langkah kakimu, Mandala Buana.” Pria tua itu menoleh, menatap Mandala dari balik kacamatanya. “Bapak tahu kamu pasti pulang, Nak.”