Semua orang mengira Zayan adalah anak tunggal. Namun nyatanya dia punya saudara kembar bernama Zidan. Saudara yang sengaja disembunyikan dari dunia karena dirinya berbeda.
Sampai suatu hari Zidan mendadak disuruh menjadi pewaris dan menggantikan posisi Zayan!
Perang antar saudara lantas dimulai. Hingga kesepakatan antar Zidan dan Zayan muncul ketika sebuah kejadian tak terduga menimpa mereka. Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23 - Ide Zidan
Zidan menatap layar besar di depannya yang penuh angka, grafik, dan istilah asing seperti “return on investment” dan “net margin.” Semua tampak berputar di kepalanya. Ia mencoba mengikuti penjelasan Nova, tapi dalam waktu sepuluh menit, pikirannya sudah kabur ke mana-mana.
“Jadi, kalau aset properti A memiliki ROI—”
“Stop.” Zidan mengangkat tangan. “Aku menyerah.”
Nova menghentikan kalimatnya, menatap pria itu dengan heran. “Menyerah?”
Zidan menjatuhkan tubuh ke sofa dengan ekspresi pasrah. “Aku nggak bisa langsung duduk di kursi direktur kayak ini. Aku bahkan belum tahu bedanya gross profit sama gross margin. Aku bukan Zayan, Nova.”
Nova diam sejenak. Ia menatap Zidan yang kini terlihat lebih jujur daripada sebelumnya. Tidak ada kesombongan, tidak ada ambisi kosong. Hanya kebingungan seorang anak yang berusaha memahami dunia yang tiba-tiba dilemparkan ke pundaknya.
“Aku cuma… pengen belajar dari bawah,” lanjut Zidan lirih. “Kalau aku langsung duduk di kursi direktur, semua orang bakal lihat aku cuma numpang nama ayah. Aku nggak mau begitu. Aku mau ngerti cara kerja semuanya. Dari nol.”
Nova menatapnya lama, kemudian mengangguk pelan. “Itu niat yang bagus, Tuan. Tapi, bagaimana caranya?”
"Sebelum aku menjawab, aku mohon berhenti memanggilku tuan. Kupingku sakit saat mendengarnya. Tolong panggil saja Zidan!" tanggap Zidan.
"Tapi--"
"Tidak ada tapi-tapian! Ini perintah!" potong Zidan.
"Baiklah kalau kau memaksa, Zidan..." Nova tersenyum tipis. Entah kenapa jantungnya sedikit berdebar.
Zidan duduk tegak. “Jadi aku punya ide. Aku mau nyamar jadi karyawan biasa. Mungkin di divisi proyek lapangan, atau administrasi. Nggak perlu pakai nama keluarga Nugroho. Aku mau lihat bagaimana sistem ini dari dalam.”
Nova sempat membeku mendengar ide itu. “Menyamar? Itu berisiko. Bagaimana kalau ada yang mengenali wajahmu? Banyak orang di perusahaan pernah melihat Tuan Zayan, dan kalian mirip.”
“Ya, aku tahu,” jawab Zidan cepat. “Makanya aku butuh bantuanmu.”
Nova tersenyum samar. “Kau ingin aku yang bantu penyamarannya?”
“Siapa lagi? Kau sekretarisku sekarang, kan?” jawab Zidan, setengah bercanda, setengah serius.
Beberapa jam kemudian, Jefri datang kembali ke apartemen. Nova dan Zidan sudah menunggunya dengan raut wajah penuh rencana. Zidan langsung menjelaskan idenya dengan semangat.
Jefri mendengarkan dalam diam. Tatapan matanya tajam, tapi bukan marah, lebih seperti sedang menilai. Ketika Zidan selesai, pria paruh baya itu tersenyum tipis.
“Jadi kau ingin mulai dari bawah?” tanyanya perlahan.
Zidan mengangguk tegas. “Ya. Aku ingin tahu bagaimana rasanya bekerja di bawah perintah orang lain, menghadapi tekanan, belajar sistem perusahaan dengan caraku sendiri.”
Hening sesaat. Lalu Jefri menepuk bahunya. “Aku bangga padamu, Nak. Itu keputusan yang berani. Kau akan belajar banyak dari sana.”
Nova menatap Jefri, sedikit terkejut dengan reaksinya. “Tuan Jefri… Anda mengizinkan ide ini?”
“Tentu. Aku bahkan mendukungnya,” ujar Jefri mantap. “Kau, Nova, akan mengatur semuanya. Buatkan identitas baru untuk Zidan, atur posisi di divisi yang cocok. Tapi jangan ada yang tahu siapa dia sebenarnya. Aku beri waktu dua bulan. Setelah itu, kita lihat hasilnya.”
Nova mengangguk. “Baik, Tuan.”
Keesokan harinya, Nova mulai membantu Zidan mempersiapkan penyamarannya. Ia membawakan pakaian yang benar-benar berbeda dari gaya Zidan biasanya.
“Kalau kau mau jadi karyawan biasa, penampilanmu harus meyakinkan,” kata Nova sambil menyerahkan setelan baru, kemeja flanel usang, celana jeans pudar, dan sepatu sneakers yang agak kusam.
Zidan menatap baju itu dengan ekspresi antara bingung dan geli. “Serius, aku harus pakai ini?”
Nova menahan tawa. “Kau mau terlihat seperti direktur muda atau pegawai lapangan?”
Zidan mendesah. “Ya sudah, aku nurut.”
Setelah berganti pakaian dan mengenakan kacamata bulat besar, Nova hampir tidak bisa menahan senyum. “Sempurna. Kau terlihat… culun sekali.”
“Terima kasih, ya, Nova,” balas Zidan datar.
Nova tertawa kecil. “Tenang saja. Lebih baik terlihat culun daripada ketahuan mirip Zayan.”
Mereka lalu duduk bersama, membahas hal-hal dasar tentang pekerjaan kantor, cara mengisi laporan harian, bagaimana berkomunikasi dengan atasan, sampai etika rapat sederhana. Nova sabar mengajari satu per satu, bahkan menulis catatan kecil agar Zidan mudah mengingat.
“Kalau bosmu memarahimu, jangan membantah,” jelas Nova pelan. “Cukup dengarkan, catat, dan perbaiki. Jangan lupa, kau sedang belajar, bukan membuktikan diri.”
Zidan mendengarkan sungguh-sungguh. Tatapannya fokus, tak sekalipun ia terlihat malas. Setiap kali Nova menjelaskan sesuatu, ia menulis ulang dengan tulis tangan, agar lebih mudah diingat.
Sikap itu membuat Nova diam-diam kagum. Dalam dua tahun bekerja dengan Jefri, ia sudah sering melihat Zayan, angkuh, ambisius, dan sering meremehkan staf. Tapi Zidan berbeda. Ia rendah hati, jujur, dan benar-benar ingin belajar.
Sore menjelang, setelah berjam-jam latihan dan simulasi kerja, Nova menatap Zidan yang sedang mencoba mengetik laporan di laptopnya. Ia tampak serius tapi sesekali salah pencet tombol, lalu tertawa kecil sendiri.
Tanpa sadar, Nova ikut tersenyum. Ada sesuatu yang hangat muncul di dadanya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan saat bekerja dengan siapa pun sebelumnya.
“Zidan,” panggilnya pelan.
“Hm?”
“Kau tahu,” ucap Nova sambil tersenyum lembut, “kalau semua pewaris sejujur dan sekeras kerja kau, dunia bisnis ini mungkin akan jauh lebih manusiawi.”
Zidan menoleh, menatap Nova sejenak. “Aku cuma ingin pantas di mata Ayah. Dan mungkin… di mata orang yang percaya padaku.”
Nova menunduk cepat, menyembunyikan rona merah di pipinya. Ia berdeham kecil. “Baiklah, Tuan karyawan baru, mulai besok kita latihan lagi jam delapan pagi. Jangan terlambat.”
Zidan tersenyum lebar. “Siap, Mbak Sekretaris.”
Dan untuk pertama kalinya sejak kembali, Zidan benar-benar merasa bersemangat menghadapi hari esok.
Orang yang menggunakan atau melakukan sesuatu yg direncanakan untuk berbuat keburukan/mencelakai namun mengena kepada dirinya sendiri.
Tidak perlu malu untuk mengakui sebuah kebenaran yg selama ini disembunyikan.
Menyampaikan kebenaran tidak hanya mencakup teguh pada kebenaran anda, tetapi juga membantu orang lain mendengar inti dari apa yang anda katakan.
Menyampaikan kebenaran adalah cara ampuh untuk mengomunikasikan kebutuhan dan nilai-nilai anda kepada orang lain, sekaligus menjaga keterbukaan dan keanggunan.
Mempublikasikan kebenaran penting untuk membendung berkembangnya informasi palsu yang menyesatkan lalu dianggap benar.
Amarah ibarat api, jika terkendali ia bisa menghangatkan dan menerangi. Tapi jika dibiarkan, ia bisa membakar habis segalanya termasuk hubungan, kepercayaan, bahkan masa depan kita sendiri...😡🤬🔥
Kita semua pernah marah. Itu wajar, karena marah adalah bagian dari sifat manusia.
Tapi yang membedakan manusia biasa dengan manusia hebat bukanlah apakah ia pernah marah, melainkan bagaimana ia mengendalikan amarah itu.
Alam semesta memiliki caranya sendiri untuk menyeimbangkan segala hal.
Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai.
Prinsip ini mengajarkan kita bahwa tindakan buruk atau ketidakadilan akan mendapatkan balasannya sendiri, tanpa perlu kita campur tangan dengan rasa dendam..☺️
Meluluhkan hati seseorang yang keras atau sulit diajak berdamai adalah tantangan yang sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Baik dalam hubungan keluarga, pertemanan, maupun pekerjaan.
Meluluhkan hati seseorang adalah usaha yang harus diiringi dengan kesabaran, doa, dan perbuatan baik. Serahkan segala urusan kepada Allah SWT karena hanya Dia yang mampu membolak-balikkan hati manusia.
Jangan lupa untuk selalu bersikap ikhlas dan terus berbuat baik kepada orang yang bersangkutan.
Karena kebaikan adalah kunci untuk meluluhkan hati manusia.