Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Malam itu terasa sunyi dan berat. Setelah sesi muntah hebat siang tadi yang dipicu oleh kunjungan Nadine, Dara menghabiskan sisa hari dalam diam, hanya berbicara seperlunya dengan Arkan. Arkan mencoba sekuat tenaga untuk bersikap normal, membawakan Dara makanan hambar dan menemaninya, tetapi ia merasakan dinding tebal yang didirikan Dara di antara mereka.
Rafa baru saja terlelap, setelah meminta Dara mengusap rambutnya dan membacakan cerita pendek. Dara keluar perlahan dari kamar anak itu, menutup pintu dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara.
Ia berjalan menuju kamar utama dengan langkah pelan bukan hanya karena tubuhnya lelah, tapi juga karena hatinya terasa berat. Sesampainya di kamar, Dara mendapati Arkan sudah duduk di tepi ranjang, lengan bersedekap, wajah serius menunggu.
“Rafa udah tidur?” tanya Arkan ketika Dara masuk.
Dara hanya mengangguk singkat. “Udah.”
Ia tidak bicara lebih banyak dan langsung mengambil selimut tipisnya, naik ke ranjang, lalu memunggungi Arkan. Tidak biasanya ia seperti itu sunyi, menjauh, tanpa satu kalimat pun.
Arkan merenggangkan bahunya, mengembuskan napas keras. “Dara.”
Dara tidak menjawab.
Arkan mencoba lagi, kali ini lebih tenang. “Mas mau ngomong sesuatu.”
Hening sesaat.
Dara tetap diam, tapi ia tidak pergi, tanda ia masih mau mendengar.
“Aku kepikiran untuk cari pembantu,” ujar Arkan. “Biar kamu nggak capek. Apalagi kondisi kamu sekarang… kamu butuh banyak istirahat.”
“Oh,” hanya itu tanggapan Dara. Datar. Hambar. Tidak ada penolakan, tapi tidak ada minat juga.
Arkan menatap punggung istrinya itu, bingung. “Menurut kamu gimana?”
“Ya… terserah Mas,” jawab Dara akhirnya. Pelan. Seperti tanpa jiwa.
Arkan mengerutkan kening. “Dara, kamu kenapa? Dari tadi diam terus.”
Keheningan kembali mengisi ruang.
Dara menggenggam selimutnya, menahan napas sebelum akhirnya berkata lirih, seolah kalimat itu keluar dari tempat paling dalam di hatinya.
“Mas…”
“Setelah bayi ini lahir… kita buat perjanjian pernikahan.”
Arkan langsung menegakkan tubuh. “Perjanjian apa?” nadanya menegang.
Dara menutup mata rapat-rapat. “Kita cerai setelah bayi ini lahir.”
Seketika kamar itu membeku.
Arkan berdiri. “Apa?”
Arkan mendekat, tatapannya marah sekaligus kebingungan. “Dara, apa yang terjadi dengan kamu?”
Dara tetap diam. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha keras agar air matanya tidak jatuh. Ia tidak ingin Arkan tahu bahwa hatinya terluka oleh kedatangan Nadine. Tidak ingin terlihat seperti istri cemburuan yang tidak punya hak.
“Dara.” Arkan duduk di sampingnya, kini menahan bahunya agar ia menatap. “Jawab aku.”
Dara tetap memalingkan wajah. Ia menggenggam perutnya, mencoba tetap kuat. “Nggak ada.”
“Jangan bohong,” Arkan mulai kehilangan kesabaran.
Tak ada jawaban.
Arkan mengetukkan lidah, frustrasi. “Apa yang sebenarnya terjadi hari ini? Ada yang datang? Ada yang ngomong sesuatu ke kamu?”
Dara memejamkan mata lebih kuat. Dadanya sesak. Ia ingin jujur, ingin memberitahu semuanya, ingin mengatakan bahwa Nadine datang dan menghancurkan rasa amannya. Tapi bibirnya tidak mampu mengucapkannya.
"Nggak ada," jawab Dara, suaranya parau. Ia menarik napas dalam. "Aku cuma... lelah. Aku butuh kejelasan, Mas. Aku nggak mau jadi penghalang untuk rencana besar kamu dan keluarga kamu. Kita cerai setelah anak ini lahir."
Arkan menatap Dara dengan tatapan tidak percaya. Amarahnya memuncak.
Pandangannya kosong. Wajahnya pucat karena seharian mual dan stres. Ia takut. Ia terluka. Dan ia bingung apakah harus memberitahu Arkan soal Nadine atau tidak.
Arkan mengembuskan napas panjang, jelas berusaha menahan emosi. “Dara… tolong lihat aku.”
Ia perlahan menyentuh dagu Dara dan mengangkatnya agar Dara menatap. Yang dilihatnya membuat dadanya seperti diremas: mata Dara kosong, padam, seolah sedang menahan sesuatu yang besar sendirian.
“Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu?” tanya Arkan, suaranya kini jauh lebih lembut. “Ada sesuatu yang kamu sembunyikan? Kamu takut? Kamu marah? Kamu merasa tidak aman? Apa pun itu, kamu bisa bilang sama aku.”
Arkan mendekat, menurunkan tangannya lalu menggenggam jemari Dara yang dingin. “Dengar aku,” katanya pelan namun mantap, “kalau ada sesuatu terjadi antara kita, satu hal yang paling penting adalah… kita harus saling percaya.”
Dara menahan napas.
“Aku nggak mau kamu simpan apa pun sendirian,” lanjut Arkan. “Kalau kamu ada yang nyakitin bilang. Kalau kamu takut, bilang. Kalau kamu ragu tentang aku tentang kita bilang.”
Ia menatap mata Dara dalam-dalam. “Jangan dipendam sendiri Ra nanti kamu stres, ada aku disini…”
Kata-kata itu membuat air mata Dara akhirnya menetes tanpa suara.
Arkan terkejut melihatnya menangis begitu diam. Ia tidak bertanya lagi. Tidak menuntut jawaban. Tidak memaksa Dara berbicara.
Ia hanya menarik tubuh Dara perlahan ke dalam pelukannya.
Dara sempat kaku, tapi kemudian tubuhnya melemah dalam dekap hangat itu. Kepalanya bersandar di dada Arkan, mendengar detak jantung pria yang selama ini selalu berusaha keras membuat segalanya terkendali.
“Apapun masalahnya,” bisik Arkan sambil mengusap punggungnya lembut, “aku ada di sini. Untuk kamu. Untuk bayi kita. Kita lewati bareng-bareng.”
"Aku memang pernah menikah dan aku kehilangannya, dan aku ngga mau kejadian itu terulang lagi Ra. Aku ngga mau kehilangan kamu. Biarpun kita menikah karena terpaksa, aku ngga akan pernah ninggalin kamu."
Dara menggenggam pakaian Arkan, menahan isaknya. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya. Tentang Nadine. Tentang ancaman. Tentang rasa takutnya kehilangan semuanya.
Tapi suaranya patah.
“Maaf…” itu saja yang bisa ia ucapkan.
Arkan memeluknya lebih erat. “Kamu nggak perlu minta maaf, Ra. Kamu cuma perlu percaya sama aku.”
Dara menutup mata lagi, membiarkan dirinya dikuatkan oleh seseorang yang bahkan tidak tahu ancaman besar apa yang sedang mengelilingi rumah tangga mereka.
Arkan masih memeluk Dara cukup lama sampai napas Dara mulai teratur. Kelelahan fisik dan emosional membuat kelopak matanya terasa berat. Arkan membimbingnya kembali ke tempat tidur, menyelimuti tubuhnya dengan hati-hati seolah takut menyakiti.
“Tidurlah,” ujar Arkan lembut sambil mengusap rambutnya. “Aku ada di sini.”
Dara hanya mengangguk kecil, tidak punya tenaga lagi untuk berbicara. Pelukan dan kata-kata Arkan tadi sedikit banyak membuat dadanya lebih lapang.
Arkan duduk di sisi tempat tidur setelah Dara benar-benar tertidur. Ia menghela napas panjang, memegangi dahinya. Lampu kamar sengaja diredupkan, namun bayangan resah di wajahnya jelas terlihat.
Ia mengusap lembut rambut Dara. Dara sempat mengernyit kecil dalam tidurnya, seolah dibayangi sesuatu.
Arkan menatap itu dengan dada menegang.
Dia bahkan tidur pun gelisah… sesuatu pasti terjadi.
Ia menyandarkan punggung pada headboard, memejamkan mata sejenak tapi pikirannya tetap berputar.
Apa ada orang yang bilang sesuatu?
Arkan menghela napas keras, frustasi karena ia tidak bisa menebak.
“Aku cuma mau kamu aman…” gumamnya pelan sambil menyentuh perut Dara tanpa membangunkannya.
Namun semakin ia menatap wajah wanita itu, semakin kuat firasat buruk yang menggerogoti hatinya.
Ada sesuatu yang Dara sembunyikan dariku.
Dan aku harus tahu itu… sebelum semuanya terlambat.