Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Malam itu, tubuh Dara terasa begitu lelah. Setelah seharian bekerja di kafe, menghidangkan pesanan pelanggan tanpa henti, ia pulang dengan tubuh letih tapi hati sedikit ringan. Ia sempat menatap wajah Rafa yang sudah terlelap di kamarnya, lalu masuk ke kamar sendiri. Arkan sudah lebih dulu tidur, wajahnya tenang di bawah cahaya lampu tidur yang redup.
Udara masih terasa dingin saat Dara tiba-tiba terbangun dengan rasa mual yang menusuk. Ia merasakan sensasi perih di perutnya, diikuti dorongan kuat yang tak bisa ia tahan.
Dara buru-buru melompat dari ranjang, kakinya tersandung karpet, dan ia berlari ke kamar mandi. "Huekk... Huekk..." Suara muntah keras memecah keheningan.
Arkan, yang tidur pulas di sebelahnya, langsung tersentak bangun. Ia mengerjap, bingung dengan suara ribut yang berasal dari kamar mandi.
"Ra? Dara, kamu kenapa?" Arkan bangkit cepat, dan langsung menghampiri pintu kamar mandi.
"Aku... aku nggak apa-apa, Mas! Jangan masuk!" suara Dara terdengar serak di sela-sela muntahannya.
Arkan mengabaikan larangan itu. Ia membuka pintu dan melihat Dara berlutut di depan kloset, wajahnya pucat pasi, rambutnya jatuh menutupi wajah. Dengan sigap, Arkan menahan rambut Dara dan mengusap punggung istrinya dengan lembut.
"Astaga, kamu kenapa?" tanya Arkan khawatir, nadanya penuh kekhawatiran.
Setelah sesi mual itu berakhir, Dara menyandar lemah ke dinding kamar mandi. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan perutnya yang bergejolak.
"Cuma mual biasa, Mas," jawab Dara, berusaha terdengar meyakinkan. Ia membasuh mulutnya dengan air dan menoleh ke Arkan. "Mungkin cuma masuk angin, semalam aku lupa pakai selimut."
Arkan mengerutkan kening. Ia meraih handuk kecil dan mengelap sisa keringat di pelipis Dara. "Mual begini bukan 'masuk angin biasa', Ra. Wajah kamu pucat banget. Kamu yakin nggak mau ke dokter?"
Dara menggeleng. "Nanti juga hilang kok. Aku nggak usah kerja hari ini deh, mau tidur aja."
"Bagus," kata Arkan cepat. "Kamu harus istirahat total. Aku telepon kantor dan kafe kamu sekarang, bilang kamu sakit."
Dara panik. "Jangan, Mas! Aku bisa sendiri kok. Aku cuma mau tidur bentar."
Saat Arkan hendak menyentuh keningnya, Dara merasakan lagi gelombang mual itu. Dengan cepat, ia menepis tangan Arkan dan kembali menunduk ke kloset. "Hoek! Huekkk!" Kali ini lebih parah, perutnya benar-benar kosong.
Ia menunggu dengan sabar sampai Dara selesai. Ketika Dara kembali menyandarkan tubuhnya, Arkan berjongkok di hadapannya, menggenggam kedua tangan Dara yang dingin. Sesekali memijat tenguk nya agar meredakan rasa sakit mualnya.
"beneran kamu masuk angin, tapi aku ngga yakin. Nanti aku panggilin dokter ke sini aja. Wajah kamu pucat banget"
Dara terdiam sejenak, mencoba berpikir " mungkin aku morning sickness deh, awal kehamilan biasanya ada mual-mual"
Arkan terdiam sejenak mencoba mencerna ucapan Dara barusan "Mulai hari ini, kamu istirahat total. Aku yang akan telepon bos kamu, kamu nggak usah memikirkan kafe lagi."
Dara hendak memprotes, namun Arkan menahan bahunya dengan tatapan mata yang tidak bisa dibantah.
"Nggak ada bantahan, Dara. Kamu baru saja muntah hebat. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, atau..." Arkan menghentikan kalimatnya, lalu memandang perut Dara dengan mata berbinar. "Atau anak kita kenapa-kenapa."
"Jangan bergerak dari sini. Aku ke dapur sebentar, ambilkan air hangat untuk menetralkan perut kamu,"
Tanpa menunggu jawaban Dara, Arkan bergegas keluar. Ia berjalan cepat menembus ruang temaram menuju dapur mewah mereka. Diambilnya gelas kaca, lalu diisinya dengan air hangat dari dispenser. Sambil menunggu air, Arkan berdiri di sana sejenak, kedua tangannya bersandar di meja dapur, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Baru kali ini dia dibuat panik oleh dara karena kehamilannya.
"Minum pelan-pelan," katanya, membantu Dara duduk.
"Mas, Rafa..." Dara bergumam khawatir. "Dia harus sarapan dan siap-siap sekolah. Aku... aku nggak bisa bangun. Tolong kamu yang bangunkan dia, ya? Dan bilang dia nggak usah tunggu sarapan yang aku buat."
Arkan tersenyum, mengusap rambut Dara yang sedikit berantakan. "Tentu, Sayang. Aku yang akan urus Rafa. Kamu tenang saja, jangan pikirkan apa-apa."
"Tapi... sarapan?" tanya Dara, merasa tidak enak. Biasanya ia sudah menyiapkan segala sesuatu di meja makan.
"Aku bisa siapkan sereal untuk Rafa, dan aku bisa beli sarapan di luar untukku. Itu bukan masalah besar, Ra," jawab Arkan meyakinkan. "Fokus kamu sekarang adalah istirahat"
Mendengar kata-kata itu, hati Dara menghangat. Ia mengangguk lemah. "Makasih, Mas."
Arkan mengecup kening Dara lama. "Aku pergi bangunkan Rafa dulu. Kamu tidur lagi, oke?"
Arkan berjalan menuju kamar Rafa, Ia membuka pintu perlahan dan menemukan Rafa masih tidur pulas di bawah selimut, memeluk boneka dinosaurus kesayangannya.
Arkan duduk di tepi tempat tidur Rafa, mengusap lembut punggung putranya.
"Jagoan Papa, ayo bangun," kata Arkan pelan. "Sudah pagi. Kita harus siap-siap ke sekolah."
Rafa menggeliat, membuka mata besarnya yang masih mengantuk. "Papa?" tanyanya dengan suara khas anak bangun tidur. "Mana Bunda?"
"Bunda lagi kurang enak badan, Sayang," jawab Arkan sambil membantu Rafa duduk. "Bunda harus istirahat hari ini. Jadi, Rafa nggak usah sarapan yang Bunda buat, ya. Papa akan siapkan sereal aja."
Rafa cemberut sedikit. "Bunda sakit? Sakit apa, Pa?"
"Cuma sakit perut sebentar, karena kecapekan. Makanya sekarang Bunda harus tidur yang banyak," jelas Arkan, berhati-hati agar tidak membuat Rafa khawatir. "Nah, karena Bunda harus istirahat, hari ini Rafa siap-siap sama Papa, ya?"
Rafa mengangguk pelan, seolah mengerti kondisi ibunya. "Oke, Pa. Rafa mandi sekarang."
Arkan tersenyum puas melihat Rafa yang penurut. "Anak pintar. Ayo, biar Papa bantu kamu pilih baju, habis itu kita sarapan cepat dan berangkat."
Sambil Rafa menuju kamar mandi, Arkan kembali tersenyum. Ia menatap ke arah kamar Dara. Kehidupan mereka memang baru, namun rasa kekeluargaan ini terasa semakin utuh.
Arkan selesai menyiapkan Rafa. Setelah putranya rapi dengan seragam sekolah, mereka berdua menuju dapur. Benar saja, Arkan hanya menyiapkan sereal gandum dan susu dingin untuk Rafa—sarapan paling praktis yang ada.
"Hari ini sereal dulu ya, Sayang," ujar Arkan sambil menuang susu. "Nanti pulangnya Papa janji belikan jajanan kesukaan kamu."
"beneran pa nanti Rafa mau gelato yaa" seru Rafa bersemangat.
Oke, apa pun itu, nanti kita beli," kata Arkan, tertawa kecil melihat tingkah laku Rafa yang sudah ceria.
Sambil menemani Rafa sarapan, pikiran Arkan kembali tertuju pada Dara. Ia tidak mungkin membiarkan istrinya yang sedang mual hanya tidur tanpa asupan. Mual bisa diperparah oleh perut kosong.
Arkan mengambil beberapa potong roti tawar dan sebuah pisang dari keranjang buah. Ia memanaskan sedikit air, membuat teh tawar hangat, dan menatanya di atas nampan kecil. Ia tahu, saat morning sickness menyerang, makanan yang hambar dan mudah dicerna adalah pilihan terbaik.
"Papa ke kamar Bunda sebentar ya, sayang. Rafa habiskan sarapannya," pinta Arkan.
Rafa mengangguk patuh sambil menyendok sereal terakhirnya.
Arkan membawa nampan berisi roti, pisang, dan teh hangat itu dengan hati-hati kembali ke kamar utama. Dara masih setengah terlelap, tetapi ia langsung tersadar saat mencium aroma teh hangat.
"Mas... kamu nggak usah repot-repot," kata Dara, berusaha bangkit.
"Sstt... jangan bangun dulu. Duduk saja di ranjang," Arkan meletakkan nampan di atas meja kecil di samping ranjang. "Kamu harus makan. Kalau perut kosong, mualnya makin parah. Aku buatkan teh tawar dan roti tawar. Ini saja dulu, yang ringan."
Arkan membantu Dara menyandar pada bantal. Ia menyodorkan pisang yang sudah dikupas.
"Makan pelan-pelan. Sedikit saja sudah cukup," desak Arkan, matanya penuh perhatian.
Dara mengambil pisang itu dan mulai menggigitnya perlahan. Ia merasa terharu dengan perhatian Arkan yang begitu detail dan telaten.
"Rafa sudah bangun, Mas?" tanya Dara sambil mengunyah.
"Sudah. Dia sedang sarapan sereal. Aku bilang Bunda sakit perut dan harus istirahat, jadi nggak bisa buat sarapan," jelas Arkan. "Dia nggak rewel kok. Sudah siap dengan seragamnya."
Dara menghela napas lega. "Syukurlah. Maaf ya, Mas, jadi merepotkan kamu."
"Nggak ada kata 'merepotkan' di sini, Dara," kata Arkan, menyentuh lembut pipi Dara. "Ini tugasku. Sekarang, kamu habiskan dulu rotinya. Biar ada tenaga untuk nanti ke dokter."
Setelah memastikan Dara berhasil menghabiskan sedikit roti dan meneguk teh hangat, Arkan beranjak.
"Aku harus antar Rafa sekarang. Setelah mengantar dia, aku akan telepon kantor kamu dan mengambil cuti untuk hari ini, lalu kita ke dokter," kata Arkan. "Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku."
Dara mengangguk, hatinya terasa lebih tenang dan damai. "Hati-hati, Mas."
Arkan tersenyum, mengecup kening Dara, lalu bergegas keluar untuk menjemput Rafa yang sudah menunggu di ruang tamu.