Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Efisiensi Roti Kari
Ruang OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) terasa seperti dunia lain.
Tidak seperti ruang kelas 2-B yang berantakan dan berisik, ruangan ini sunyi, rapi, dan berbau samar kertas dan teh hijau. Semua perabotan tertata dengan presisi geometris. Berkas-berkas di rak di-label dengan rapi. Papan tulis putih di dinding bersih mengilap, tanpa coretan konyol.
Ini adalah wilayah kekuasaan Tsukishima Marika. Dan Renjiro Sato, yang tiba tepat satu menit sebelum waktu yang dijanjikan, merasa seperti seorang barbar yang baru saja masuk ke kuil suci.
Marika sudah ada di sana, tentu saja. Dia duduk di meja utama, dikelilingi oleh tumpukan map berkode warna. Dia mendongak saat Ren masuk, ekspresinya netral.
"Sato-kun. Tepat waktu," katanya, nadanya datar. "Keajaiban."
"A-Aku selalu berusaha tepat waktu," balas Ren, sebuah kebohongan yang langsung ia sesali.
Marika mengabaikan pembelaannya yang lemah. Dia menunjuk kursi di seberang mejanya. "Duduk. Kita tidak punya banyak waktu."
Ren duduk dengan kaku. Suasananya jauh lebih menegangkan daripada di gudang olahraga. Di sana, Ren memiliki keunggulan psikologis karena menemukan rahasia Marika. Di sini, di markasnya, Marika-lah yang memegang kendali penuh.
"Baik," Marika memulai, menarik selembar kertas besar yang penuh dengan bagan dan tabel. Itu adalah cetak biru untuk seluruh festival. "Ini adalah masalah kita."
Dia mendorong kertas itu ke arah Ren. "Seksi Perlengkapan, seperti yang kamu tahu, adalah yang terburuk. Dana kita terbatas, Yamada-kun tidak bisa diandalkan, dan daftar permintaan dari klub lain... tidak masuk akal."
Dia menunjuk sebuah baris yang ditandai dengan stabilo merah. "Klub Drama. Mereka meminta sepuluh mic wireless dan panggung hidrolik."
Ren mengerjap. "Panggung... apa?"
"Hidrolik. Yang bisa naik-turun," kata Marika, wajahnya lurus. "Untuk adegan final 'Romeo dan Juliet' mereka, katanya. Padahal kita bahkan tidak punya panggung permanen."
Ren menahan tawa. "Mereka serius?"
"Mereka selalu serius," desah Marika. "Dan ini," dia menunjuk baris lain. "Klub Musik. Mereka meminta sound system standar konser dan dua puluh lampu sorot warna-warni."
Ren mengamati daftar itu. Di antara permintaan-permintaan gila, ada juga kebutuhan logistik yang nyata: matras untuk Kendo, jaring untuk Voli, papan pajangan untuk Klub Fotografi. Itu adalah kekacauan logistik yang luar biasa.
"Jadi... apa rencananya?" tanya Ren, merasa sedikit kewalahan.
"Rencana 'A' adalah menyetujui semua permintaan dan melihat festival ini bangkrut bahkan sebelum dimulai," kata Marika sinis. "Rencana 'B' adalah aku yang mendatangi setiap ketua klub dan menghancurkan mimpi mereka satu per satu, yang akan membuatku dibenci oleh separuh sekolah."
Ren menatap Marika. Di balik nada sarkastiknya, Ren bisa mendengar sesuatu yang lain. Kelelahan. Dia memikul semua ini sendirian.
"Atau," kata Ren pelan, "ada Rencana 'C'."
Marika mengangkat alisnya. "Oh ya? Dan apa itu, Sato-kun?"
"Ini... ini cuma daftar permintaan," kata Ren, menunjuk kertas itu. "Ini bukan daftar perintah. Kita tidak tahu kenapa mereka membutuhkannya."
"Maksudmu?"
"Maksudku," kata Ren, tiba-tiba merasa sedikit lebih percaya diri. Dia adalah seorang gamer; dia mengerti soal alokasi sumber daya. "Klub Drama minta sepuluh mic. Tapi berapa banyak aktor yang bicara di panggung dalam satu waktu? Mungkin cuma dua. Romeo dan Juliet. Sisanya mungkin bisa pakai mic biasa yang ditempel."
Marika terdiam, matanya terpaku pada Ren.
"Dan Klub Musik," lanjut Ren, kini menunjuk daftar itu dengan jarinya. "Mereka minta sound system konser. Tapi aula kita kan kecil. Kalau speaker-nya terlalu besar, suaranya malah pecah dan menyakiti telinga. Mungkin kita bisa pinjam speaker berkualitas bagus dari studio musik di kota, bukan yang paling besar."
Ren berhenti, tiba-tiba sadar dia sudah berbicara terlalu banyak. Dia mungkin baru saja terdengar seperti orang sok tahu di depan sang ketua OSIS. "Maaf... itu... itu cuma ide bodoh."
Marika tidak mengatakan apa-apa selama beberapa detik. Dia hanya menatap Ren. Tatapannya intens, seolah sedang memecahkan teka-teki yang rumit. Ren mulai berkeringat lagi.
"Tidak," kata Marika akhirnya, suaranya pelan. "Itu... bukan ide yang bodoh."
Dia mengambil spidol papan tulis. "Kamu benar. Kita selama ini hanya menerima pesanan. Kita tidak pernah melakukan negosiasi."
Wajahnya berubah, semburat semangat muncul di matanya. Ini adalah Marika yang berbeda lagi. Bukan Marika yang dingin, bukan Marika yang panik, tapi Marika sang ahli strategi.
"Baiklah, Sato-kun," katanya, menatap Ren dengan intensitas baru. "Kamu punya ide bagus. Sekarang, bantu aku melaksanakannya."
Dua jam berikutnya adalah dua jam paling aneh dan paling produktif dalam kehidupan SMA Renjiro.
Mereka tidak lagi duduk berhadapan seperti interogator dan tersangka. Mereka berdiri berdampingan di depan papan tulis putih yang besar.
"Oke, jadi kita wawancara Klub Drama dulu besok pagi," kata Marika sambil menulis. "Aku yang bicara, kamu..."
"Aku yang catat kebutuhan teknisnya," potong Ren. "Kamu terlalu sopan, Tsukishima-san. Biar aku yang tanya 'kalian yakin butuh mic sebanyak ini?'"
Marika meliriknya. "Kamu berani?"
"Aku tidak punya citra 'ketua kelas sempurna' untuk dijaga," balas Ren sambil tersenyum miring.
Marika mendengus, tapi Ren bersumpah dia melihat ujung bibirnya berkedut sedikit.
Mereka berdebat. Bukan bertengkar seperti musuh, tapi berdebat seperti rekan kerja. "Tidak bisa, Sato-kun. Klub Kendo harus dapat matras di hari Selasa." "Tapi Klub Tari butuh panggung di hari yang sama! Gudang kita di ujung dunia. Kita tidak punya cukup orang untuk memindahkan keduanya bolak-balik!" "Kalau begitu... kita ubah jadwal latihan mereka. Kita paksa mereka berbagi area gimnasium." "Nah, itu ide!"
Mereka bekerja. Ren, yang biasanya akan kabur dari pekerjaan apa pun yang melibatkan kata "panitia", menemukan dirinya... menikmati ini. Dia menikmati memecahkan masalah. Dia menikmati melihat ekspresi Marika saat dia mengusulkan solusi yang efisien. Dan dia sangat menikmati momen langka ketika Marika berkata, "Itu... masuk akal."
Akhirnya, papan tulis itu penuh dengan rencana baru. Sebuah rencana yang rumit, tapi solid. Rencana yang mereka buat bersama.
Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Sekolah sudah lama sepi. Satu-satunya suara adalah deru samar pemanas ruangan dan goresan spidol Marika yang baru saja selesai menulis poin terakhir.
"Selesai," kata Marika, meletakkan spidolnya. "Untuk... hari ini."
Dia bersandar di meja di belakangnya dan menghela napas. Itu bukan helaan napas kesal. Itu adalah helaan napas panjang seorang pejuang yang baru saja menyelesaikan pertempuran berat. Dia memijat pelipisnya pelan.
"Itu... tadi... banyak sekali," kata Ren sambil meregangkan punggungnya yang kaku.
GRUUU-GUUUK.
Suara itu terdengar sangat keras di keheningan ruang OSIS. Itu adalah suara perut Renjiro yang berkhianat.
Ren membeku. Wajahnya langsung memanas. Dia yakin warnanya sekarang semerah tomat.
Marika menoleh padanya, satu alisnya terangkat.
"...Maaf," bisik Ren, ingin sekali mati di tempat. "Aku... aku belum makan dari... tadi siang."
Marika menatapnya sejenak. Lalu dia melihat jam di dinding. "Sudah jam 7 malam. Pantas saja."
Keheningan canggung memenuhi ruangan. Ren mulai panik. Dia buru-buru meraih tasnya. "Kalau begitu... rencananya sudah beres... aku permisi dulu. Sampai besok, Tsukishima-san!"
Dia bergegas menuju pintu, ingin segera kabur dari rasa malunya.
"Tunggu."
Suara Marika menghentikannya tepat saat tangannya menyentuh gagang pintu.
Ren berbalik perlahan. Marika sedang mengemasi tasnya dengan gerakan tenang dan metodis.
"Aku juga... lapar," katanya, tidak menatap Ren. Dia fokus memasukkan buku catatannya ke dalam tas. "Dan... tidak efisien jika pulang dalam keadaan lapar."
Ren bingung. "Hah?"
Marika akhirnya selesai mengemasi tasnya dan menyampirkannya di bahu. Dia berjalan melewati Ren ke pintu, masih menghindari kontak mata.
"Toko roti di dekat stasiun," katanya, seolah sedang membacakan laporan cuaca. "Mereka memberikan diskon 50% untuk roti kari dan melon pan setelah jam 7 malam."
Dia berhenti di pintu dan akhirnya menatap Ren.
"Itu... efisien secara ekonomi. Membeli makanan enak dengan setengah harga." Dia berdeham pelan. "Dan... kita masih harus membahas siapa yang akan bicara dengan Klub Kendo besok. Rinciannya."
Otak Ren perlu beberapa detik untuk memproses informasi itu.
Dia... Marika... Tsukishima si Robot... baru saja mengajaknya mampir makan? Menggunakan "efisiensi" sebagai alasan?
Sebuah senyuman—senyuman tulus pertama Ren hari itu—perlahan merekah di wajahnya.
"Itu... ide yang brilian, Tsukishima-san," kata Ren, berusaha keras agar suaranya tetap datar. "Sangat efisien."
Marika menyipitkan matanya. "Jangan besar kepala, Sato-kun. Aku hanya tidak suka membuang-buang makanan."
Tapi saat dia berbalik dan berjalan menyusuri koridor sekolah yang gelap, Ren bersumpah—demi MP3 player-nya—dia melihat ujung bibir Marika sedikit terangkat.
Ren buru-buru menyambar tasnya dan berlari kecil untuk menyusulnya, berjalan berdampingan di koridor yang sepi.