Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Dante Dengan Pembunuh Yang Menculik Nadia
"Bagian yang ini aku cuma bisa mengira-ngira, tapi waktuku cukup banyak buat menggali informasi. Sekalian belajar beberapa keahlian. Aku jadi sangat ahli menemukan apa saja lewat komputer. Bahkan memperoleh berkas lama Kepolisian. Menurut berkas itu, ibu kita tersayang konon bergaul dengan geng kriminal. Di bisnis impor, sama seperti diriku. Tapi hasil produksi mereka jauh lebih 'sensitif.' Dugaanku, mereka mencoba melakukan bisnis independen kecil-kecilan dengan produk sebenarnya bukan milik sendiri. Ini membuat murka rekan bisnis sampai akhirnya diputuskan untuk memberi hukuman." Brian menjelaskan.
Kurasakan tatapannya, tapi badanku masih kaku. Tidak mampu menoleh. Setelah beberapa saat, Brian melengos.
"Mereka menemukan kita di sini, persis di sini. Dua setengah hari kemudian. Selama itu pula kita duduk di lantai berisi genangan darah kering sedalam tiga sentimeter." Tangannya menyentuh lantai, di lokasi Dante kecil duduk bertahun-tahun lalu di kontainer yang satu lagi.
"Menurut laporan polisi, ada beberapa korban lelaki juga di kontainer itu. Mungkin tiga atau empat orang. Potongan gergaji mesin mempersulit proses identifikasi, tapi mereka cukup yakin hanya ada satu wanita di antara korban, yaitu ibu kita tercinta. Umurmu tiga tahun waktu itu, Dante. Aku, empat tahun."
"Tapi," Aku memotong, tapi tidak sanggup melanjutkan.
"Benar. Kamu juga sangat sulit ditemui sejak itu. Orang dari catatan adopsi sangat cerewet di negara bagian ini. Tapi akhirnya kutemukan juga kamu, Adikku. Iya kan?" Sekali lagi dia menepuk tanganku.
Sikap yang tidak pernah aku temui dari siapa pun selama ini.
Mungkin karena aku juga belum pernah bertemu saudaraku seperti sekarang. Mungkin menepuk tangan adalah keharusan yang wajib aku pelajari bersama kakakku atau bersama Nadine---Astaga! Aku baru sadar bahwa aku lupa sama sekali soal Nadia.
Aku menatap Nadia, sekitar dua meter di depan sana, masih dalam keadaan terbungkus rapi.
"Dia baik-baik saja. Tidak akan aku mulai tanpa dirimu." Ujar Brian.
Pertanyaan pertama yang terlantar dari mulutku terasa agak aneh, "Bagaimana kamu tau aku ingin ikut bermain?"
Membuat seolah-olah aku memang ingin ikut bermain. Tentu saja aku tidak sungguhan ingin mengeksplorasi Nadia hidup-hidup. Tidak sama sekali. Tapi di pihak lain, kakakku ingin bermain.
"Kamu tidak mungkin tau aku ingin bermain atau tidak," lagi aku membantah lemah.
"Tadinya, memang tidak. Tapi aku pikir peluang ke arah itu cukup besar. Kita berdua mengalami hal yang sama. Peristiwa traumatis bertahun-tahun lalu... kamu tau istilah itu, Dante? Pernah baca ulasan tentang monster seperti kita di buku-buku?" Senyumnya melebar.
"Pernah. Juga dari Victor... ayah angkatku... tapi dia tidak pernah benar-benar cerita apa yang sebenarnya terjadi "
Brian mengibas sebelah tangannya ke sekeliling ruangan. "Hal seperti ini memang terjadi, Adik kecil. Tidak sering barangkali, tapi tetap saja kita alami. Gergaji listrik, potongan tubuh beterbangan saat dicincang, dan... darah... Dua setengah hari kita duduk di genangan itu. Suatu keajaiban kita bisa bertahan, bukan? Nyaris membuat kita percaya Tuhan," matanya berkilat basah.
Nadia menggeliat, melenguh tertahan di balik bebatan. Brian tidak ambil pusing.
"Mereka pikir usiamu masih membuka peluang untuk sembuh, sementara aku sedikit di ambang batas. Tapi kita sama-sama mengalami Peristiwa Traumatis klasik. Peristiwa yang pada akhirnya menciptakan aku jadi monster yang sekarang... Dan kupikir efeknya kurang-lebih sama terhadapmu. Benar?"
"Memang, persis sama."
"Manis sekali bisa begitu, selayaknya hubungan darah." Ujar Brian.
Kutatap dia. Seorang kakak lelaki. Sungguh kata asing di kamus hidupku. Sangat sulit dicerna, apalagi aku terima begitu saja---tapi jauh lebih mustahil jika aku sangkal. Dia begitu mirip aku. Menyukai hal yang sama.
"Aku..." Hanya sanggup menggeleng.
"Iya, butuh waktu semenit menerima kenyataan bahwa kita ada dua orang, kan? Apalagi bersaudara."
"Mungkin jauh lebih lama dari itu. Entah apakah aku..." jawabku.
"Astaga, kamu mau berlagak muntah sekarang, Dan? Setelah tau apa yang terjadi dan kita alami bersama? Dua setengah hari kita duduk di sini, Dik. Dua bocah kecil, duduk selama dua setengah hari di genangan darah. "
Aku jadi mual. Gamang. Jantung berdebar tidak karuan.
"Tidak. Tidak jijik." Gagapku. Kurasakan sentuhan Brian di pundakku.
"Yang sudah lalu tidak bisa kita apa-apakan lagi. Yang penting adalah apa yang terjadi sekarang." Kata Brian.
"Apa... yang terjadi?" Aku berkata gugup.
"Ya. Sekarang," Terdengar kumur-kumur aneh dari mulutnya, yang aku yakin dimaksudkan sebagai tawa. Kiranya dia juga tidak pandai menstimulasi ekspresi manusia seperti aku.
"Atau mestinya kunyatakan begini : Seluruh hidupku diarahkan untuk momen ini!" Sekali lagi dia tertawa aneh.
"Masalahnya, tidak seorang pun dari kita mampu membungkusnya dengan emosi atau perasaan asli. Karena kita memang tidak mampu merasakan apa-apa, iya kan? Berpura-pura jadi manusia seumur hidup. Menjalani keseharian dengan mengucap dialog, berakting manusia, di dunia yang hanya diperuntukkan buat manusia. Sementara kita sendiri tidak pernah benar-benar jadi manusia. Dan selalu, selamanya, mencari cara agar bisa merasakan sesuatu! Bayangkan itu, Dik. Menggapai untuk tiba pada momen ini! Saat di mana kita bisa merasakan bagaimana rasanya punya perasaan. Asli! Tidak palsu! Menggugah kalbu. Benar, bukan?" Ujar Brian lagi.
Memang. Sangat benar dan persis begitu yang kurasakan selama ini.
Kepalaku berputar, tapi aku tidak berani memejamkan mata. Takut melihat lebih jauh. Apalagi sekarang kakak kandungku berdiri persis di sisi. Mengawasi dan menuntut agar aku jadi diri sendiri. Menjadi seperti dirinya. Menjadi adiknya. Menjadi apa adanya aku.
Oh, aku harus apa? Mataku berkeliling, refleks menatap Nadia.
"Benar, sudah aku duga kamu pasti mengerti maksudku. Kali ini kita lakukan bersama-sama."
Aku menggeleng. "Tidak. Tidak bisa."
"Harus, Dik." Dia bersikeras. Kami berdua benar. Sentuhannya tiba di bahuku lagi.
Hampir seperti dorongan yang biasa diberikan Victor bahwa dia tidak akan pernah benar-benar memahami aku namun sama kuatnya dengan dorongan Brian.
Seolah mampu mengangkat kakiku, mendorong maju selangkah, dua langkah---mata bulat Nadia terkunci padaku. Tapi kehadiran Brian di belakangku membuat sulit memastikan apakah aku memang ingin me...
"Bersama-sama, Dik. Sekali lagi. Buang masa lalu kita. Mulai dengan lembaran baru. Maju! Terbang! Melesat!" Ujar Brian.
Selangkah lagi. Mata Nadia menjerit padaku, tapi...
Brian berdiri di sisiku sekarang. Sesuatu berkilatan di tangannya. Dua buah benda.
"Satu untuk semua, semua untuk satu..." Ujarnya sambil mengibas sebilah pisau ke udara.
Benda itu bergerak menjulang ke atas, masuk ke genggaman tangan kiri dan diacungkan ke wajahku. Remang cahaya lampu memberkas di permukaan pisau itu, sama kelamnya dengan bola mata Brian.
"Ayolah, Dante. Adik kecilku. Ambil pisau ini. Saatnya beraksi."
Nadia, dalam kondisi terikat, menggelepar panik. Kutatap dirinya. Kegeraman dan ketakutan tersirat jelas.
Bangun, Dante! Mungkin dia berkata seandainya bisa lepas dari bebatan mulut.
"Dante, dengar, bukan maksudku memengaruhi keputusanmu. Tapi sejak tau bahwa aku punya saudara yang sama seperti diriku, hanya ini yang aku pikirkan. Kamu juga begitu, kan? Bisa kulihat di wajahmu." Ujar Brian.
"Ya. Tapi apakah korbannya harus dia?" Jawabku, tidak lekang menatap Nadia yang makin panik.
"Kenapa tidak? Memangnya dia itu apamu?"
Benar juga. Nadia memang bukan saudara kandung. Sama sekali tidak ada hubungan darah antara kami. Aku memang sayang padanya, tapi...
Tapi apa? Kenapa aku meragu? Bagaimana tidak, bodoh! Tantangan yang kuhadapi sekarang sungguh sulit. Aku sangat sadar betapa hinanya membunuh Nadia, bahkan dalam angan-angan sekalipun.
Bukan hanya karena faktor Nad sebagai adik angkat yang sudah begitu lama kukenal dan aku sayang. Masalah utama keraguanku timbul dari dilema yang mendadak muncul di kepala : Apa kata Victor dalam situasi ini?
Jadilah aku berdiri tidak pasti seperti orang dungu, karena betapa pun aku ingin mengikuti sugesti Brian untuk bermain bersama, aku tau persis apa yang dikatakan Victor seandainya beliau masih hidup dan hadir bersama kita saat ini : Cincang orang jahatnya, Dante. Jangan cincang adikmu!
Tapi Victor tidak pernah menduga situasi begini, iya kan? Tidak mungkin dia sempat membayangkan skenario rumit ini pada saat memberlakukan Kode Etik Victor. Bahwa kelak aku akan dihadapkan pada pilihan untuk membela adik yang notabene bukan saudara kandung atau bergabung dengan Brian, kakak yang seratus persen saudara kandung, dalam sebuah permainan yang amat ingin aku mainkan.
Victor tidak mungkin menduga sampai sejauh ini saat mulai mendidikku. Tidak mungkin tau bahwa aku punya saudara yang...
Eh, tunggu dulu. Tahan dulu, Dan. Victor sudah tau! Victor hadir di kontainer itu saat memungut aku, kan? Dan selama ini dia menyimpan rahasia bahwa aku punya seorang kakak lelaki.
Bertahun-tahun kesepian aku pikir aku hanya seorang diri---dan Victor tau sebenarnya aku tidak sendirian. Tau dan dirahasiakan. Fakta terpenting dalam sejarah hidupku---bahwa aku tidak sendirian---dirahasiakan dariku. Ini pengkhianatan!
Dan terutama sekali : punya utang apa aku pada gumpalan daging yang kini menggeliat panik di atas meja---makhluk yang menyamar dan mengaku-ngaku sebagai saudara? Apakah sebanding dengan hubungan batinku terhadap Brian? Kakak yang sekaligus menjadi replika hidup DNA-ku sebagai makhluk?
Keringat merembesi kening Nadia. Membuat dia kelilipan, berkedip panik berusaha mempertahankan pandangan terhadapku sambil mengusir keringat di mata.
Dari sudut pandang ini dia memang tampak menyedihkan. Terperangkap tidak berdaya seperti manusia bodoh. Sama sekali tidak seperti diriku yang cerdas dan seniman pemahat mahakarya tanpa darah, tidak seperti Dante nan jenius dan baru saja bertemu dengan kakak tercinta.
"Bagaimana?" Desak Brian.
Aku memejamkan mata. Sekujur ruangan berputar, makin gelap, tubuhku kaku. Ibu menatapku di pojokan dengan mata melotot tidak berkedip.
Kubuka mata. Sang kakak berdiri begitu dekat di belakang sampai terasa dengus napasnya di leherku, sementara adik tersayang menatap dari bawah. Matanya melotot tidak berkedip, persis ibu. Tatapan yang menahanku, persis ibu.
Kupejamkan mata : ibu.
Kubuka mata : Nadia.
Kusambar pisau di tangan Brian.
Terdengar suara gemeretak kecil, disusul angin hangat masuk menyejukkan udara dingin di dalam kontainer. Secara refleks aku memutar tubuh.
Sofia berdiri di ambang pintu, dengan pistol teracung di tangan.