Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halusinasi Berujung Tragedi
Pengacara itu menyerahkan amplop tebal kepada JPU dan Majelis Hakim. "Ini adalah Surat Kuasa Pengalihan Hak Kekayaan dan Aset yang ditandatangani oleh Terdakwa Wibowo, mengalihkan seluruh aset Menggara Group dan kekayaan pribadi kepada Nyonya Hanim."
Tuan Darma kemudian memutar sebuah rekaman video di layar besar yang disediakan. Video itu diambil secara sembunyi-sembunyi dari ruang kerja pribadi Pak Wibowo.
Rekaman itu menunjukkan Bu Hanim, sebelum ia ditangkap, berdiri di depan Pak Wibowo. Wajahnya penuh amarah.
Suara Bu Hanim dari rekaman: "Tanda tangani! Sekarang, Wibowo! Kamu sudah berkhianat! Semua aset ini milikku sekarang! Kalau tidak, aku akan pastikan kamu busuk di penjara!"
Video itu menunjukkan Pak Wibowo yang menangis saat dipaksa menandatangani dokumen-dokumen pengalihan tersebut. Pak Wibowo dalam video tersebut terlihat lemah, ketakutan, dan tidak berdaya.
****
Begitu video itu berakhir, suasana sidang pun menjadi gaduh. Para wartawan dan juru kamera di belakang ruangan segera berdiri, berteriak-teriak meminta konfirmasi. Flash kamera menyambar-nyambar seperti kilat.
"Jadi, Bu Hanim yang menguasai aset itu?"
"Pak Wibowo hanya korban istrinya?"
"Terdakwa mengakui kejahatan pajak, tetapi istrinya yang merencanakan teror?"
Teriakan dan pertanyaan memenuhi ruangan. JPU dan petugas keamanan terlihat kewalahan.
Hakim Ketua, seorang wanita tua yang disegani, memandang seluruh ruangan dengan marah. Ia mengangkat palunya tinggi-tinggi.
BRAK! BRAK! BRAK!
Palunya memukul meja dengan tiga dentuman keras. "Hentikan! Hentikan kegaduhan ini! Petugas, amankan ruang sidang! Keluarkan wartawan yang tidak bisa menjaga ketertiban!"
Secara perlahan, ketertiban kembali pulih. Hakim Ketua menatap Pak Wibowo.
"Terdakwa Wibowo, Anda mengakui penggelapan pajak. Tetapi Anda menyangkal keterlibatan Anda dalam teror dan tindakan gila istri Anda. Benar?"
Pak Wibowo menatap lurus ke Majelis Hakim, matanya kini dipenuhi kesadaran. "Benar, Yang Mulia. Saya telah salah karena takut. Saya telah salah karena melindungi seorang kriminal yang saya cintai. Saya bersalah atas penggelapan pajak, dan saya siap menerima hukuman. Tetapi, saya bukan teroris, dan saya bukan pembunuh. Saya adalah korban dari kegilaan istri saya sendiri."
Mulia menatap Pak Wibowo. Rasa benci yang dulu ia rasakan kini bercampur dengan iba. Ia melihat seorang pria yang dulunya berkuasa, kini hancur karena cinta yang salah dan ketakutan. Kesaksian Pak Wibowo adalah kepingan terakhir yang dibutuhkan untuk mengukuhkan kebenaran: Bu Hanim adalah dalang tunggal dari semua kejahatan, dan ia kini telah menghadapi konsekuensinya.
****
Di bangsal khusus Rumah Sakit Jiwa Cendana, suasana malam terasa mencekam. Di sana, di ruangan yang berbeda namun terletak berdekatan, Bu Hanim dan Dinda menjalani perawatan. Kehancuran keluarga Wibowo bukan hanya meruntuhkan tahta mereka, tetapi juga merenggut kewarasan keduanya.
Meskipun dipisahkan oleh dinding tebal, suara mereka saling bersahutan, menciptakan simfoni gaduh yang mengerikan, penuh dengan teriakan kebencian yang ditujukan pada satu nama: Mulia.
Dari kamar Bu Hanim, terdengar raungan parau yang dipenuhi sumpah serapah.
"Mulia! Iblis itu! Aku akan keluar! Aku akan mencekiknya dengan tanganku sendiri!" teriak Bu Hanim. "Dia mengambil suamiku, dia menghancurkan anakku, dia mengambil kehormatanku! Aku akan pastikan dia mati! Mati!"
Beberapa detik kemudian, dari kamar Dinda, terdengar lolongan histeris yang lebih muda dan lebih tajam.
"Wanita sialan! Pembawa bencana!" raung Dinda. "Dia menghancurkan hari pernikahanku! Dia membuat Mama dipenjara! Kamu harusnya mati! Kamu pantas mati, Mulia!"
Para suster dan perawat di bangsal itu dibuat kelelahan akibat gaduh tak terkendali yang diciptakan oleh dua pasien itu. Kebencian mereka yang terwariskan menjadi beban mental yang besar bagi seluruh staf rumah sakit.
"Ya Tuhan, mereka tidak berhenti sejak pagi," keluh Suster Rima pada Suster Lani, sambil menekan pelipisnya.
"Kebencian mereka terlalu dalam. Dokter Surya bilang, dendam mereka pada Mulia sudah menjadi inti dari penyakit mental mereka," balas Suster Lani sambil memeriksa jadwal obat.
****
Malam itu, sekitar pukul sebelas, suasana memuncak. Suara gaduh Bu Hanim semakin keras, lebih keras dari sebelumnya. Petugas yang bertugas mencoba mengawasi melalui lubang kecil di pintu.
Bu Hanim berdiri di tengah ruang isolasinya, matanya liar, melihat bayangan Mulia di sudut ruangan. Rasa sakit karena ditinggalkan suaminya dan kekhawatiran atas Dinda bercampur menjadi satu fokus: menghancurkan Mulia.
"Kamu di sana! Aku melihatmu, Mulia! Kamu datang untuk mengejekku!" teriak Bu Hanim.
Ia meraih satu-satunya benda keras di ruangan itu—sebuah kursi kecil yang digunakan untuk observasi. Dengan kekuatan yang tidak terduga, didorong oleh kegilaan, Bu Hanim melemparkan kursi itu ke arah kaca pengawas.
PRANG!
Kursi itu menghantam kaca dengan suara keras, meskipun kaca tidak pecah, suara itu sudah cukup membuat seluruh bangsal terkejut.
Seorang perawat muda yang kebetulan lewat di depan pintu ruang isolasi Bu Hanim, terkena pantulan kursi yang memantul kembali ke pintu besi. Perawat itu tersungkur, menjerit kesakitan, memegangi bahunya.
Mendengar suara gaduh itu, Dinda di kamarnya juga panik.
"Mama! Mama kenapa! Mereka menyakiti Mama!" Dinda mulai meronta-ronta di dalam kamarnya, memukul-mukul pintu. "Aku harus keluar! Mulia! Aku akan membalaskan ini padamu!"
Tim perawat dan keamanan segera berlari menuju kamar Bu Hanim. Mereka melihat perawat muda itu tergeletak kesakitan.
"Cepat panggil Dokter Surya! Kita harus bertindak sekarang!" perintah kepala perawat.
****
Beberapa menit kemudian, Dokter Surya tiba. Wajahnya menunjukkan ketegasan yang dingin. Ia melihat kekacauan yang diciptakan Bu Hanim dan Dinda—sebuah penolakan total terhadap pengobatan dan potensi bahaya yang ditimbulkan.
Dokter Surya berdiri di depan pintu kamar Bu Hanim, melihat wanita itu kini berjongkok di sudut ruangan, tubuhnya gemetar, masih meracau tentang Mulia.
"Bawa tim penenang yang lengkap. Kita harus menenangkan Bu Hanim secara total. Dia sudah melukai staf kita," perintah Dokter Surya.
Dengan perlindungan penuh, tim medis masuk. Bu Hanim kembali berontak dengan brutal saat melihat mereka mendekat. Ia menendang dan meludah.
"Aku bukan hewan! Aku bukan orang gila! Aku harus keluar! Aku harus balas dendam!" raung Bu Hanim, tubuhnya diikat oleh petugas.
"Anda membahayakan diri sendiri dan orang lain, Bu Hanim," ujar Dokter Surya, suaranya tenang, mengatasi teriakan Bu Hanim. "Anda harus beristirahat total."
Dua petugas menyuntikkan obat penenang dosis tinggi. Otot-otot Bu Hanim seketika lemas, matanya yang liar mulai berkunang-kunang.
Saat Bu Hanim nyaris tak sadarkan diri, tatapannya yang kosong mengarah pada Dokter Surya. "Aku tidak akan pernah lupa... kamu akan menyesal... Mulia... Mulia..."
Dokter Surya tidak mengindahkan ancaman itu. Ia keluar dari ruangan Bu Hanim dan menuju kamar Dinda. Dinda masih berteriak-teriak, memanggil nama Mulia.
"Dinda, tenang! Ibumu sudah diamankan," kata Dokter Surya.
Dinda menatap dokter itu dengan kebencian murni. "Aku benci dia! Aku benci kalian semua yang melindungi iblis itu!"
"Anda perlu tidur, Dinda. Ini adalah satu-satunya cara Anda sembuh."
Meskipun Dinda berontak dan menendang, obat penenang juga diberikan padanya. Sebelum benar-benar tak sadarkan diri, air mata Dinda mengering, hanya menyisakan sumpah serapah.
"Aku akan membalas... aku akan membalas kalian semua... Mulia akan hancur!"