📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desakan Malam
Lina mendorong pintu kamar Rom hingga terbuka lebar, angin malam menyusup masuk membawa aroma hujan yang baru reda, membuat tirai bergoyang seperti hati yang gelisah. Cahaya lampu tidur kuning keemasan menyiram wajahnya yang basah oleh air mata yang belum kering—bukan karena sedih semata, tapi karena rindu yang membakar jiwa, membuat dadanya sesak. Ia menutup pintu dengan keras, bunyi *brak* membuat Rom tersentak dari kursi di sudut kamar, di mana ia selama ini hanya menatap gelap di luar jendela, tangannya memegang gelas kosong yang sudah lama tak terisi, pikirannya penuh dengan janji pada diri sendiri: *Tidak lagi. Lina istri orang. Aku harus berhenti. Aku ingin hidup benar, tidak lagi bersetubuh dengan perempuan yang bukan milikku.*
"Sayang..." suara Lina bergetar, manja, rapuh, penuh desakan yang tak bisa ditolak. Ia melangkah cepat, tumit sepatunya berbunyi *tak-tak-tak* di lantai kayu, hingga berdiri tepat di depan Rom, tubuhnya hampir menempel. "Apa kamu tahu... aku *tidak pernah tenang* semenjak kau pergi jauh dariku? Setiap malam aku menangis di ranjang kosong, memeluk bantalmu yang sudah tak lagi berbau dirimu! Aku gila karenamu, Rom!"
Rom menegakkan tubuh, wajahnya kaku, matanya menghindar. Dalam hatinya, ia berjuang: *Aku harus kuat. Aku sudah bohong pada diriku sendiri terlalu lama.* Tapi suara Lina, suara manja yang dulu selalu melelehkan pertahanannya, kini kembali mengguncang. Ia sedikit menggeser tubuhnya ke samping, bukan benar-benar menolak, hanya mencoba menjaga jarak yang rapuh. "Benarkah?" jawabnya pelan, suaranya dingin, tapi ada getar yang tak bisa disembunyikan. "Aku juga... tapi Lina, seperti yang kamu bilang tadi siang—aku harus memikirkan masa depanku. Kau bersuami. Aku masih sendiri. Kita *harus* menerima kenyataan."
Lina tidak mundur. Malah ia mendekat lagi, dada mereka hampir bersentuhan, aroma parfumnya menyengat hidung Rom, membuat pria itu menelan ludah. Tangannya naik, jari-jari kecilnya memilin kancing baju Rom satu per satu, pelan, penuh ancaman manja. "Kamu bilang gitu... tapi tadi siang matamu *berbinar*, Rom!" Suaranya naik, manja tapi mendesak, seperti anak kecil yang tak mau ditolak. "Aku tahu! Aku *tahu* kamu lagi suka sama seseorang! Jangan bohongi aku! Aku nggak mau pulang kalau kamu nggak ngaku! Kamu bohong kan soal masih sendiri? Pasti ada cewek lain yang kamu sembunyikan!"
Rom menggeleng pelan, tapi tubuhnya tak benar-benar menolak—hanya menggeser sedikit lagi ke belakang, punggungnya kini menempel dinding. "Tidak, Lina. Aku benar-benar masih sendiri. Aku belum menemukan pengganti mu. Kamu yang terbaik, Lina." Kata-kata itu keluar dari mulutnya, tapi dalam hati, Rom tahu itu bohong—ia sudah bertemu beberapa wanita, tapi tak ada yang seperti Lina, dan ia sengaja bohong untuk menjauhkan Lina, meski hatinya berontak.
Lina tersenyum tipis, tapi matanya menyipit genit, penuh ketidakpercayaan. Ia mendorong tubuh Rom lebih keras ke dinding, tangannya menekan dada pria itu, jari-jarinya menggali ke kulit melalui kain baju. "Oh ya? Kamu bilang aku yang terbaik? Buktiin dong! Kalau aku yang terbaik, kenapa tadi siang kamu terlihat bahagia banget pas cerita masa depan? Pasti ada orang lain! Akuin, Rom! Jujur atau bohong nih? Kamu bohong kan soal aku yang terbaik? Pasti kamu sudah punya pacar baru, dan kamu cuma bilang gitu biar aku nggak marah!"
Rom menggeleng lagi, napasnya mulai tersengal, tubuhnya menggeser sedikit ke samping tapi tak menjauh—malah membiarkan tangan Lina tetap di dadanya. "Tidak, Lina. Aku jujur. Kamu memang yang terbaik. Aku belum punya siapa-siapa. Aku... aku masih sendirian." Bohong lagi—ia sudah kencan dengan seorang wanita dua minggu lalu, tapi itu tak berarti apa-apa baginya, dan ia bohong untuk melindungi hati Lina, atau mungkin dirinya sendiri.
Lina memukul dada Rom pelan tapi berulang, air matanya kini benar-benar jatuh, campur antara manja dan amarah. "Bohong! Kamu bohong, Rom! Aku bisa lihat dari matamu! Kamu pasti suka sama seseorang! Siapa dia? Bilang! Kalau kamu nggak ngaku, aku nggak akan berhenti! Aku akan duduk di sini sepanjang malam, mendesak kamu terus! Jujur deh, kamu bohong soal aku yang terbaik, kan? Pasti ada cewek lain yang lebih baik di mata kamu sekarang!"
Rom menelan ludah, tangannya naik mencoba menangkap pergelangan Lina, tapi gerakannya lemah, tak benar-benar menolak—hanya menggeser tubuhnya sedikit, membuat Lina semakin dekat. "Lina, please... aku nggak bohong. Kamu yang terbaik. Aku cuma... aku cuma lagi fokus kerja. Nggak ada cewek lain." Bohong ketiga—ia sudah menyukai Elesa, rekan kerjanya, dan itu alasan ia ingin berhenti dengan Lina, tapi suara manjanya membuatnya ragu.
"TIDAK CUKUP!" Lina menarik kerah baju Rom, menarik wajah pria itu lebih dekat, bibirnya hampir menyentuh bibir Rom. Suaranya nyaris berbisik, tapi penuh desakan. "Aku tahu kamu bohong! Matamu bilang lain! Kamu pasti lagi suka sama orang! Akuin sekarang, atau aku akan cium kamu di sini sampai kamu luluh! Jujur, Rom! Bohong atau jujur soal aku yang terbaik? Kalau bohong, bilang siapa yang lebih baik dari aku?!"
Rom menggeram pelan, tubuhnya tak lagi menggeser—malah diam, membiarkan Lina menekan. Napasnya berat, mata gelap penuh konflik. Dalam hatinya: *Aku sudah berusaha... Tapi dia terlalu memaksa...* "Lina, stop—"
"NGGAK! Bilang! Akuin!" Lina naik ke pangkuan Rom yang kini terduduk di ranjang karena dorongan Lina, roknya tersingkap, paha mulusnya menjepit pinggul pria itu. Jari-jarinya turun, menggosok tonjolan yang mulai mengeras di celana Rom. "Lihat ini! Tubuhmu nggak bohong! Kamu masih pengen aku, tapi kamu bohong soal perasaanmu! Akuin siapa yang kamu suka! Jujur atau bohong nih?!"
Rom menutup mata, napasnya tersengal. Ia sudah sangat terdesak, tubuhnya panas, pikirannya kalut. "Baiklah... baiklah, Lina. Aku bohong. Aku... aku menyukai seseorang. Namanya... Elesa." Pengakuan itu keluar patah-patah, saat Lina sudah benar-benar mendesaknya ke ujung, tapi dalam hati, Rom tahu itu masih bohong sebagian—ia suka Elesa, tapi tak sebesar Lina, dan ia bohong untuk mencoba menjauh, meski gagal.
Lina terdiam sesaat—tapi bukan karena terluka. Malah ia tersenyum, nakal, penuh kemenangan. "Elesa? Baiklah. Tapi malam ini..." Ia menarik kepala Rom, menciumnya dalam-dalam, lidahnya menari liar di mulut pria itu. "Malam ini kamu milik *aku*. Bohongmu nggak akan selamatkan kamu dari aku."
Rom tak lagi menahan. Tangan kasarnya merobek blus Lina, payudaranya terlonjak bebas, putingnya mengeras di udara dingin. Ia menggigit puting itu keras, membuat Lina menjerit manja, "Ahh, Rom! Lebih kasar!" Rom membalikkan tubuh Lina, menekannya ke ranjang, celananya dilepas dengan cepat. Kontolnya yang sudah tegang maksimal langsung menyodok masuk ke dalam Lina yang basah kuyup, dorongan pertamanya brutal, dalam, hingga Lina menjerit panjang.
"Kamu yang memaksa aku, Lina!" geram Rom, pinggulnya menghantam berulang kali, suara *plak-plak-plak* memenuhi kamar. "Kamu yang membuat aku jatuh lagi, meski aku sudah bohong pada diriku sendiri!"
"Ya! Jatuh sama aku!" Lina mengerang, kakinya melingkar di punggung Rom, mendesak lebih dalam. "Setubuhi aku, Rom! Isi aku! Aku nggak peduli Elesa atau bohongmu yang lain! Aku cuma mau kamu!"
Mereka bercinta dengan liar, penuh amarah, penuh rindu, penuh penyesalan yang tak pernah diucapkan. Rom menyemprotkan sperma panasnya berkali-kali di dalam Lina, sementara Lina menyemprot cairan hangatnya di ranjang, tubuh mereka gemetar, keringat bercampur air mata—bukan karena sedih, tapi karena hasrat yang tak pernah benar-benar padam.