NovelToon NovelToon
Shadow Skriptor

Shadow Skriptor

Status: tamat
Genre:Spiritual / Vampir / Tamat
Popularitas:593
Nilai: 5
Nama Author: Yusup Nurhamid

Di bawah cahaya rembulan buatan Mata Samara, terletak Negeri Samarasewu, kota sihir yang diatur oleh hukum yang kaku dan Dewan Lima Bintang yang elitis. Di sinilah Yusuf, seorang pemuda yang bukan penyihir, menjalani hidupnya sebagai Skriptor Bayangan—seorang ahli yang diam-diam menyalin, menerjemahkan, dan memalsukan mantera-mantera kuno untuk para penyihir malas dan pasar gelap. Keahliannya bukan merapal sihir, melainkan memahami arsitekturnya.
​Kehidupan Yusuf yang berbahaya hancur ketika ia tertangkap basah oleh Penjaga Hukum Sihir saat sedang menyalin mantera pertahanan tingkat master yang sangat terlarang: Mantera Pagar Duri Nirwana. Dalam pelariannya, Yusuf terpaksa merapal mantera kabut murahan, sebuah tindakan yang langsung menjadikannya buronan.
​Terjebak di Distrik Benang Kusut, Yusuf bertemu dengan Rumi, seorang makelar licik yang menawarkan jalan keluar. Namun, kebebasan datang dengan harga yang mengerikan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusup Nurhamid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kabut Panggilan & Ancaman Armada Samarasewu

​Pengerjaan Menara Kristal Cermin oleh Yusuf terhenti tiba-tiba. Setelah berhasil mengintegrasikan Pemberat Kekacauan ke dalam Pena Kuningan, Veridia memang merasakan stabilitas baru, tetapi stabilitas itu terganggu oleh sebuah anomali energi yang tajam dan tak terduga. Kabut Kuno di sekitar Pulau Gantung Veridia tidak hanya bergulir seperti biasa; ia beresonansi dengan pola energi yang dikenal Yusuf, menembus lapisan-lapisan sihir pertahanan pulau. Itu adalah getaran pola energi dari Mantera Kunci miliknya, yang sekarang digunakan secara berlebihan dan kacau.

​Yusuf segera menyadari sumber masalahnya. "Rumi sedang merapal mantera kunci itu lagi," ujar Nenek Tula, muncul di ambang gua. Wajahnya yang keriput terlihat tegang karena mengukur fluktuasi sihir liar. "Tapi bukan untuk membuka Dinding Laut Kabut. Dia mencoba menggunakannya untuk mengendalikan aliran Kabut Kuno."

​Mengendalikan Kabut Kuno, substansi sihir liar yang merupakan pertahanan alami Peti Mati Benua, adalah tindakan ambisius dan gila. Rumi, yang tidak memiliki Pena Kuningan atau pemahaman Yusuf tentang struktur Mantera Asal, pasti mencoba memaksa mantera itu melakukan sesuatu yang tidak dirancang untuknya. "Dia menggunakan gulungan itu sebagai perapal mantra darurat," analisis Yusuf. "Dia merobek gulungan itu dan melekatkannya pada kapalnya. Tapi mantera yang kumodifikasi tidak dirancang untuk menangani energi Kabut Kuno. Mantera itu akan runtuh secara terbalik." Yusuf tahu bahwa pola mantera yang dipaksakan untuk tujuan yang berlawanan akan menarik energi Kabut Kuno dengan daya serap yang tak terkendali.

​Yusuf dan Nenek Tula bergegas menggunakan perahu kecil organik mereka, didorong oleh sihir tumbuhan Nenek Tula. Mereka melaju cepat menuju sumber mantera tersebut, sebuah semenanjung berbatu yang jarang dikunjungi, yang dikenal sebagai Tanjung Suara Mati, tempat sihir liar selalu menelan segala suara.

​Ketika mereka mendekati Tanjung Suara Mati, pemandangan yang tersaji menguatkan ketakutan Yusuf. Sebuah pusaran energi raksasa berputar liar di atas kapal kargo Samarasewu, Pusaka Kuno, yang kini terdampar dan rusak parah. Lambungnya terbelah dua karena serangan gelombang Kabut Kuno yang gagal ia kuasai. Di sisa lambung kapal, Rumi berdiri, rambutnya acak-acakan, wajahnya kuyu karena kelelahan, tetapi matanya memancarkan campuran kegilaan dan ambisi yang membuta. Gulungan Kunci yang dimodifikasi Yusuf kini dirobek menjadi lembaran-lembaran dan dilekatkan pada lambung kapal, mengubah kapal itu menjadi Perapal Mantera Darurat yang sangat tidak stabil.

​"Aku hampir menguasainya!" teriak Rumi, tawanya terdengar pecah dan gila di tengah gemuruh pusaran. "Aku bisa menggunakan Kabut ini sebagai perisai permanen! Samarasewu tidak akan pernah menemukan kita!"

​"Mantera itu tidak akan mengendalikan, Rumi!" teriak Yusuf, suaranya hampir hilang ditelan badai energi. "Itu akan melahap! Kau akan menarik seluruh Kabut Kuno dan kapalmu ke dalam pusaran energi tak berujung!"

​Saat perahu organik mereka mendekat, Rumi melihat Pena Kuningan di tangan Yusuf. Mata gilanya segera terfokus pada Pena itu, bukan pada bahaya yang mengancamnya. "Pena itu! Itu yang kutinggalkan di Kotak Kenangan! Berikan padaku, Skriptor! Dengan itu, aku bisa mengatur ulang mantera! Aku bisa mengendalikan Kekacauan ini!"

​"Tidak ada waktu!" seru Nenek Tula. "Pusaran itu akan menghancurkan kita semua!"

​Yusuf menghadapi dilema moral dan praktis. Membiarkan Rumi dihancurkan berarti menghilangkan ancaman, tetapi ledakan energi yang dihasilkan akan sangat berbahaya bagi keseimbangan sihir Peti Mati Benua. Ia tidak bisa mengambil risiko itu. Ia harus mengintervensi, tetapi intervensi langsung berarti membuang energi Veridia yang baru distabilkan.

​Yusuf memilih intervensi yang paling efisien secara arsitektur. Ia mengeluarkan Pena Kuningan, merasakan tarikan stabil dari Tiga Pemberat Kekacauan yang meredam energi liar. Ia tidak akan mencoba memperbaiki mantera Rumi yang rusak; ia akan menyelamatkan lingkungan dari mantera itu. Ia memfokuskan pandangannya pada pusaran energi, melihat Mantera Asal di balik kekacauan itu—garis energi fundamental yang ditekuk dan dipelintir oleh ambisi Rumi.

​Dengan gerakan cepat dan presisi, ia mulai menulis di udara Kabut Kuno dengan Pena Pemberat. Ia tidak menulis mantera serangan atau pertahanan, tetapi Mantera Jalur Pelepas Tekanan Energi. Ia menggunakan pengetahuan dari Mantera Asal untuk menciptakan simpul-simpul sihir sementara yang bertindak seperti katup pengaman. Simbol-simbol yang ia tulis segera menyala dengan cahaya keemasan yang stabil, kontras dengan pusaran biru-ungu yang mengamuk. Mantera Yusuf mengalirkan kelebihan energi dari pusaran, mendistribusikannya kembali ke laut dan udara di luar zona konflik.

​Energi itu dilepaskan dengan desisan keras. Pusaran itu mereda. Kapal Pusaka Kuno hancur berkeping-keping dan tenggelam, dan Rumi, tanpa mantera atau kapal, terlempar ke air yang dingin, batuk-batuk, tetapi masih hidup.

​"Kau menyelamatkan Kabut itu, Skriptor," desah Nenek Tula, menarik Rumi yang menggigil ke dalam perahu. "Tapi sekarang, kita punya masalah yang jauh lebih besar."

​Saat Kabut Kuno yang ditenangkan Yusuf mulai menipis, penglihatan mereka yang kini lebih jernih mengungkapkan horor di cakrawala. Di ujung perairan yang seharusnya dijaga oleh Dinding Laut Kabut yang tertutup, Yusuf melihat siluet armada kapal uap eter Samarasewu. Mereka bergerak cepat, menembus kabut.

​"Mustahil," bisik Yusuf, merasakan dingin yang menusuk. "Mantera Kunci hanya membuka celah sementara. Itu pasti sudah tertutup!"

​"Rumi merobek celah itu dengan gila-gilaan," Nenek Tula menjelaskan, wajahnya pucat. "Dia tidak hanya membuka pintu; dia menghancurkan kuncinya. Dan Otoritas Samarasewu melihat kesempatan itu. Mereka tidak datang untukmu, Skriptor. Mereka datang untuk mengambil kembali Peti Mati Benua, memanfaatkan kehancuran yang kau dan Rumi ciptakan."

​Yusuf merasakan kepahitan takdir. Semua usahanya untuk bebas dan mencari ilmu, termasuk menciptakan Mantera Kunci yang unik, hanya berakhir dengan membawa invasi ke tempat yang ia anggap rumah barunya. "Mereka pasti punya Sinyal Navigasi Eter yang kuat untuk menembus Kabut Kuno," analisis Yusuf, otaknya sudah berputar cepat mencari solusi arsitektur. "Mereka pasti mengandalkan mantera stabil dan frekuensi seragam yang dipancarkan dari kapal komando."

​Nenek Tula menunjuk ke salah satu kapal terbesar, yang memiliki menara kristal yang bersinar redup. "Itu pasti Penjaga Eter Kelas Satu. Mereka tidak pernah menggunakannya kecuali untuk invasi skala penuh."

​Rumi, yang sudah ditarik dan diselimuti kain, tertawa sinis. "Kau menyelamatkanku, Skriptor. Tapi kau membawa kehancuran kotamu sendiri bersamamu. Kau adalah pengkhianat di kedua sisi."

​Yusuf mengabaikan Rumi, Pena Pemberat di tangannya terasa dingin namun mantap. Waktunya untuk menulis ulang takdir Peti Mati Benua telah tiba, dan kanvasnya adalah seluruh lautan. "Kita kembali ke Veridia," perintah Yusuf, suaranya tenang dan tegas. "Nenek Tula, kita butuh Dewan Tetua Reruntuhan. Mereka harus mengerti ancaman ini."

​"Dewan Tetua hanya akan bersembunyi," balas Nenek Tula skeptis.

​"Maka aku akan paksa mereka keluar," ujar Yusuf, matanya berkilat tekad. "Aku tahu cara kerja mantera navigasi mereka. Aku akan menggunakan Menara Kristal Cermin untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Samarasewu. Aku akan mengubah kode navigasi mereka menjadi bencana."

​Yusuf, sang Skriptor Bayangan, harus merancang pertahanan epik yang menggunakan sihir liar Veridia dan pengetahuannya tentang kelemahan sistematis Samarasewu. Pertarungan pertamanya bukan melawan satu Penjaga, tetapi melawan seluruh armada yang berlayar menuju masa depannya.

1
Yusup Nurhamid
bagus
Yusup Nurhamid
waahh tamatt
Yusup Nurhamid
GOOOOODDD👍
Arfan Miyaz
bagus ceritanya
Arfan Miyaz
👍
Fitria Utami
bagus alur nya
Tsukasa湯崎
Mantap jiwa!
Yusup Nurhamid: Terimakasih kk😄
total 1 replies
minan zuhri
Suka alur ceritanya.
Yusup Nurhamid: Terimakasih kk
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!