Ketika hati mencoba berpaling.. namun takdir mempertemukan kita di waktu yang  berbeda. Bahkan status kita pun berubah.. 
Akankah takdir mempermainkan kita kembali? ataukah justru takdir menunjukkan kuasanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SUNFLOWSIST, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05. KEPERGIAN DEVAN
Hawa dingin terasa menusuk kulit hingga ke tulangku. Tubuhku terasa bergerak dengan sendiri seiring dengan hentakan - hentakan liar yang bersumber dari atas tubuhku. Perlahan aku pun mengerjapkan kedua mataku. Mencoba mencari sepenggal ingatan dari rentetan kejadian yang aku alami hari ini.
Aku pun membulatkan mata, tubuh tegap Devan berada tepat diatasku. Memacuku dengan begitu liar. Menghujamkan miliknya dengan begitu cepat.
"Kau sudah bangun sayang? Maaf aku membangunkanmu. Tubuhmu terlalu candu untukku. Dan aku tidak bisa membiarkannya begitu saja..." ucapnya dengan tatapan menggodanya. Nafasnya memburu seiring dengan pergerakannya yang semakin liar.
Sekali lagi aku merasakan gelanjar aneh dalam tubuhku. Seketika tubuhku memanas, aliran darahku seolah mengalir dengan begitu deras. Jantungku pun memompa dengan begitu cepat. Tubuhku menegang bersamaan dengan dirinya. Cairan hangat tampak memenuhi bagian intiku.
Sebuah rasa yang baru kali ini aku rasakan. Rasa yang berbeda dengan yang pertama. Sebuah kenikmatan yang mampu mengusir segala kekhawatiran ataupun pikiran buruk lainnya. Bebas...itulah yang aku rasakan. Sejenak aku terbuai dengan perasaan itu sendiri.
"Kau luar biasa sayang. Kau sangat istimewa." ucapnya seraya memelukku dengan begitu posesif.
"Devan... Kalau aku hamil gimana?"ucapku dengan suara yang lirih. Mencoba mencari jawaban darinya atas rasa khawatir yang tiba - tiba muncul dalam pikiranku.
Sebuah pertanyaan dariku namun mampu membuat suasana saat itu menjadi begitu hening. Pelukan yang semula begitu posesif kini perlahan mengendur dan terlepas. Ia menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Sayang.. kita baru melakukannya hari ini dan itupun belum tentu juga langsung hamil. Jangan terlalu banyak berpikir, lebih baik kita nikmati kebersamaan kita hari ini." ucapnya seraya mengecup keningku dengan begitu hangat.
Sebuah kecupan yang mampu menghapus pertanyaan tololku barusan. Seketika segala kekhawatiranku sirna begitu saja. Apa yang aku pikirkan mungkin sudah terlalu jauh, lagipula baru hari ini kami melakukannya. Tidak mungkin juga aku langsung hamil. Entahlah... Pikiranku kacau. Semoga aku tidak pernah menyesali apa yang terjadi hari ini di masa mendatang.
"Devan... apa kau sering melakukan hubungan intim seperti ini dengan banyak wanita? Eh.... Maaf maksudku dengan wanita lain?" aku pun menjadi salah tingkah dengan pertanyaanku barusan. Aku bertanya seolah - olah dia adalah kaum pemuja wanita.
"Menurutmu?" ucapnya dengan senyuman menggoda.
"Aku sendiri tidak tau. Karena baru pertama kali aku mengenal intim seorang pria. Dan itu pun dirimu..." ucapku seraya tersenyum malu.
"Aku sangat beruntung bisa memiliku sayang. Kau sangat menggemaskan. Apa aku boleh melakukannya lagi?" tanyanya dengan tatapan menggodanya.
Tanpa aku menjawabnya, Devan pun sudah melakukannya. Menjamahku dengan pesonanya yang sulit untuk aku tolak. Akhirnya kejadian itu terulang kembali. Seolah tidak mengenal lelah ia melakukannya. Dan aku... hanya bisa merasakan tubuhku yang remuk redam.
Drrt... Drttt..
Ponselku bergetar di atas nakas. Getaran ponselku mampu membangunkanku dari mataku yang terasa berat.
"Halo..." jawabku dengan suara khas bangun tidur.
"Sayang ini sudah larut. Kenapa belum pulang? Apa kamu baik - baik saja? Atau perlu di jemput sama sopir?" cecar seorang wanita dengan nada cemasnya diseberang sana yang tak lain adalah ibuku.
Seketika mataku membulat. "Ibu? Memang jam berapa ini? Kenapa Devan tidak membangunkanku? Astaga... " umpatku dengan kesal dalam hati.
"Maaf bu.. Karena hujan dan berkabut, kemungkinan aku baru bisa kembali besok. Cuacanya tidak memungkinkan untukku kembali malam ini." ucapku dengan nada penuh kebohongan.
"Apa kamu disana sendirian? Ingat sayang... Jaga dirimu baik - baik. Jangan terlalu percaya dengan sembarangan pria. Pria sekarang hanya manis saat ada maunya." ucap Ibuku dengan nada tegasnya.
Deg....
Ucapan ibuku seolah membangunkanku dari mimpi. Menampar pipiku dengan begitu keras dan menyadarkanku untuk kembali ke dunia nyata. Aku hanya mampu terdiam sembari meneteskan air mata.
"MAAF... MAAFKAN AKU BU... AKU SUDAH BERBOHONG DAN MENGKHIANATI KEPERCAYAAN IBU." jerit tangisku dalam hati.
"Ya sudah... Istirahatlah nak...Selamat malam sayang.. "
Tanpa menjawab ucapan ibuku, aku pun menutup teleponku dan menangis sejadi - jadinya. Menyesal? Tentu saja... Ini adalah penyesalan terbesar dalam hidupku. Membohongi dan mengkhianati kepercayaan seorang ibu. Hal yang tidak pernah aku lakukan sepanjang hidupku. Inilah kebohongan pertama dalam hidupku. Suatu kebohongan besar dan aku sempat terbuai dan menikmatinya.
Aku pun bergegas turun dari kamar.
"Aaauuwww.." rintihku penuh kesakitan saat merasakan bagian intiku yang membengkak dan terasa perih. Perlahan aku pun menuruni ranjang. Ku lihat bercak merah darah yang sudah mengering di atas ranjang. Mahkotaku telah hilang. Aku telah gagal menjaganya sampai akhir.
Dengan berpegangan tembok aku mencoba keluar dari kamar itu. Kamar yang menjadi saksi bisuku menyerahkan kesucian pada pria yang belum begitu aku kenal dan bahkan belum tentu menjadi suamiku kelak. Namun ironisnya, aku sangat mempercayainya.
Cinta? Entahlah... Aku tidak pernah tau perasaan apa yang aku miliki untuknya. Yang jelas dialah pria pertama yang membuatku merasa nyaman dan memperlakukanku secara istimewa.
Mungkin bagi wanita diluaran sana aku tipikal cewek yang murahan karena baru dua kali pertemuan dengan mudahnya aku menyerahkan mahkotaku. Namun hatiku tak bisa membohongi bahwa aku merasa begitu nyaman dengannya.
"Devan... Devan..." panggilanku menggema memenuhi ruangan nan kosong dan sunyi itu.
Tapi nihil... Tidak ada jawaban dari panggilanku. Ku coba membuka pintu depan namun sepi. Hanya dingin dan sepi yang menerobos masuk melalui celah - celah pintu.
"Kemana dia?" pikiranku mulai kacau. Tanpa sengaja aku melihat secarik kertas diatas meja. Sebuah kertas yang seketika mampu memporak porandakan isi hatiku.
"Naya.. Maaf aku harus segera pergi. Kakekku sedang kritis di Paris. Aku harus bergegas pergi kesana. Maafkan aku yang pergi tanpa berpamitan. Tunggu aku kembali.. Aku akan selalu merindukanmu.. Merindukan malam panjang kita berdua."
LOVE YOU...
Hatiku berdenyut nyeri. Aku tidak pernah menyangka peristiwa ini akan ada dalam hidupku. Cinta dan kepercayaan yang baru saja aku pupuk, bahkan berbunga pun belum tentu kini harus kandas begitu saja.
Aku hanya bisa menangis sejadi - jadinya di kamar itu. Kamar yang pada awalnya aku kagumi keindahannya, kini seolah menjadi kuburan untuk kesedihanku sendiri.
"Akankah kau kembali Devan? Bahkan aku pun belum tahu identitasmu, namun kau sudah pergi menghilang begitu saja." ucapku dengan berlinang air mata.
**
Di pagi yang buta aku terpaksa meminta sopir kakek untuk menjemputku, mengingat tidak ada angkutan umum yang melintas area perkebunan itu. Tepat pukul 10 pagi, Pak Jupri datang menjemputku di alamat yang sudah aku kirimkan sebelumnya.
"Maaf ya pak Jupri sudah merepotkan. Jauh - jauh kemari hanya untuk menjemputku."ucapku dengan nada sungkan.
"Tidak apa - apa non. Sudah menjadi pekerjaan saya untuk mengabdi ke keluarga Subroto." ucapnya dengan tersenyum ramah.
Aku pun masuk ke dalam mobil. Mengistirahatkan sejenak kepalaku yang terasa pening dan juga tubuhku yang merasa lelah. Suasana begitu hening, hingga sampai di pintu perbatasan perkebunan itu aku melihat mobil yang kemarin membawaku kemarin.
Mobil Devan....
"Pak berhenti sebentar.." ucapku dengan nada panik.
Pak Jupri pun menghentikan mobilnya dengan segera. Aku bergegas turun. Berlarian seperti orang gila hanya untuk memastikan kebenaran yang barusan aku lihat. Bukan hanya sekedar halusinasi.
"Itu pasti Devan.. Ya... tidak salah lagi ia pasti datang untuk menjemputku." ucapku dengan mata yang berbinar bahagia seolah secercah harapan akan datang menyambutku.
Aku pun duduk dibawah pohon menunggu kedatangan mobil tadi. Selang 20 menit kemudian pak Jupri datang menghampiriku dengan wajah cemasnya.
"Non.... Non tunggu siapa?" tanya pak Jupri dengan wajah penuh penasaran.
"Pak Jupri lihat kan mobil warna putih yang tadi berpapasan dengan kita?" ucapku dengan nada penuh tanya.
"Maaf non... Dari tadi kita keluar dari sini tidak ada mobil yang melintas. Non pasti salah lihat." ucap Pak Jupri dengan penuh keyakinan.
Aku pun syok seketika. Tidak mungkin itu tadi hanya ilusi. Aku melihatnya dengan begitu jelas kalau mobil itu masuk ke perkebunan ini.
"Non.. Sebaiknya kita mulai bergegas pulang..karena cuaca semakin berkabut. Saya takut kita akan terjebak disini. Dan akhirnya... Aku hanya bisa mengangguk pasrah.
Pak Jupri akhirnya membawaku pergi dari tempat itu. Tempat yang penuh kenangan indah sekaligus mimpi buruk bagiku. Sepintas aku melihat palang kayu di atas gapura perbatasan kebun itu.
"PERKEBUNAN WICAKSANA."
Karena keadaan yang macet di hari weekend. Selang 3 jam kemudian aku baru sampai di rumah kakekku. Suasana begitu sepi. Hanya terdengar alunan musik jawa yang disetel di gazabo teras.
"Kau sudah pulang Nak? Kenapa baru mengabari kalau tidak ada yang menjemput? Kamu bebas memakai fasilitas yang ada di rumah ini Naya.." ucap sang kakek dengan penuh kelembutan.
Ucapan kakek cukup mengagetkanku. Aku hanya bisa mengangguk, mengiyakan semua ucapan kakek. "Kakek aku permisi masuk dulu." ucapku dengan mengangguk hormat.
Seluruh tubuhku rasanya remuk. Ingin segera aku mengistirahatkannya. Namun saat langkah kakiku hendak mencapai anak tangga, ibuku memanggilku dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Naya... Kamu sudah pulang nak? Kenapa jalanmu seperti itu sayang?A.. Apa yang terjadi nak?" tanya ibuku dengan nada paniknya.
"Aku ... Aku hanya terjatuh bu. Aku ke kamar dulu ya bu?" ucapku dengan mengalihkan pandanganku dari ibu. Aku takut kebohonganku akan terlihat oleh ibuku. Rasanya aku belum siap untuk menceritakan semua yang terjadi kemarin.
Aku pun masuk ke dalam kamarku. Ku baringkan tubuhku di atas ranjang. Aku buka tasku perlahan mencari sepucuk surat yang ditinggalkan oleh Devan untukku.
"Kau dimana Devan? Apakah kau benar - benar akan kembali sesuai dengan janjimu untukku?" ucapku lirih dengan sudut mataku yang berair.
Ceklek...
Pintu kamarku terbuka dari luar. Suara langkah kaki terdengar memasuki kamarku. Perlahan tapi pasti langkah kaki itu mulai mendekat.
"Kak... Kakak sudah pulang? Kapan kakak tiba?" ucapnya seraya naik ke ranjangku dan tidur disampingku.
"Kak.. Kakak kenapa menangis? Siapa yang berani menyakiti kakak? Akan aku hajar sekarang juga. Aku tidak suka ada pria yang mempermainkan kakak." ucap Embun dengan menggebu - gebu.
Dengan cepat aku memghapus air mataku. Dan sebisa mungkin merubah ekspresiku agar Embun tidak menaruh curiga kepadaku.
"Kakak tidak menangis sayang... Kakak hanya kelilipan tadi." ucapku dengan tersenyum manis.
Ku elus dengan penuh kelembutan adikku. Aku pun mengalihkan topik pembicaraan darinya. "Apa kau betah tinggal disini dek?" ucapku dengan lembut.
"Tentu saja kak... Disini sangat tenang. Kita juga tidak perlu lagi hidup dalam keterbatasan ekonomi. Semuanya sudah difasilitasi oleh kakek. Dan aku bersyukur atas semua itu." ucap Embun dengan senyum bahagia.
Embun pun duduk ditepi ranjangku. "Kertas apa ini kak?" dengan cepat aku mengambil kertas itu dan menyembunyikannya di belakangku.
"Itu kertas punya kakak." ucapku dengan nada yang gugup. Takut akan semua kebenaranku terbongkar.
Embun merasa ada yang tidak beres. Dengan cepat ia mengambil paksa kertas itu dariku. Dan ia pun membaca semuanya.
"Kak... Apa maksud surat ini?" ucap Embun dengan tatapan curiganya.
mereka perawat tapi sikapnya tidak mencerminkan pekerjaannya
tunggu balasan pedih dari orang yang disakitinya😬