Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.
Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?
Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
Produksi empat episode per bulan ternyata lebih brutal dari yang mereka bayangkan. Dengan tim yang bertambah, koordinasi menjadi lebih rumit. Kael harus belajar menjadi leader yang sebenarnya, bukan hanya memberikan arahan, tapi juga mendengarkan, memahami, dan terkadang mengalah demi keharmonisan tim.
"Mas Kael, gue gak setuju dengan angle kamera di scene ini. Terlalu datar. Kurang dramatis." Agus berbicara dengan hati-hati, tidak mau terlihat menantang tapi juga tidak mau hanya mengiyakan, tangannya menunjuk storyboard yang Kael buat pagi ini.
Kael menatap storyboard itu lagi. Di kehidupan sebelumnya, ia akan langsung membela keputusannya, menganggap kritik sebagai tantangan terhadap otoritasnya. Tapi sekarang, ia belajar untuk lebih terbuka. "Lu punya saran angle yang lebih bagus?"
Agus menggambar sketsa cepat di kertas kosong, angle dari bawah, membuat karakter terlihat lebih heroik, lebih dramatis. "Kayak gini gimana? Lebih ada power-nya."
Kael menatap sketsa itu sejenak. Lalu ia tersenyum. "Lu bener. Ini lebih bagus. Kita pake angle lu."
Agus menatap Kael dengan tatapan terkejut yang bercampur dengan senang. "Serius, Mas? Gue pikir Mas Kael bakal marah gue kritik."
"Kenapa harus marah? Lu kasih input yang bagus. Gue gak pernah bilang gue selalu bener. Kita semua belajar bareng di sini." Kael menjawab sambil menepuk bahu Agus dengan lembut, suaranya tulus dan membuat Agus tersenyum lega.
Interaksi seperti itu menjadi kultur di Studio Garasi, terbuka, saling menghargai, dan tidak ada hirarki yang kaku. Semua orang boleh memberikan pendapat, boleh mengkritik, dan boleh belajar dari kesalahan bersama.
Tapi tidak semua berjalan mulus. Minggu ketiga bulan pertama, mereka menghadapi masalah besar, deadline episode untuk SCTV mundur karena Sari sakit dan tidak bisa masuk kerja selama tiga hari. Background untuk episode itu masih belum selesai setengahnya.
"Kael, gimana ini? Kita tinggal empat hari lagi sebelum deadline. Gak mungkin selesai." Dimas berbicara dengan nada panik yang jarang ia tunjukkan, tangannya mengacak rambutnya frustasi.
Kael menatap kalender produksi di dinding penuh dengan tanda silang merah yang menunjukkan target yang harus dicapai. Pikirannya bekerja cepat, menghitung ulang timeline, mencari solusi yang paling efektif. "Kita daur ulang beberapa background dari episode sebelumnya yang setting-nya sama. Kita touch up dikit biar gak keliatan sama persis. Yang bener-bener baru, kita prioritas kan."
"Tapi itu bakal kelihatan males, gak sih?" tanya Rani dengan nada ragu, khawatir kualitas akan turun drastis.
"Gak bakal, kalau kita smart. Kita ubah angle, tambah detail kecil yang bikin kesan berbeda. Penonton gak akan notice kalau kita lakukan dengan benar." Kael menjelaskan sambil mulai menyortir background-background lama yang bisa dipakai ulang, matanya tajam melihat mana yang bisa diselamatkan.
Mereka bekerja siang malam untuk mengejar deadline itu. Kael bahkan tidur di studio, kasur tipis yang ia bawa dari rumah digelar di lantai satu, dan ia hanya tidur dua-tiga jam sebelum kembali bekerja.
Rani yang datang pagi-pagi sekali, menemukan Kael sudah bangun dan sedang menggambar frame di mejanya dengan mata merah dan wajah pucat. "Kael, lu tidur gak semalam?"
"Tidur kok. Dua jam. Cukup." Kael menjawab tanpa mengangkat matanya dari kertas, tangannya terus bergerak dengan cepat tapi tetap presisi.
"Kael, lu harus jaga kesehatan. Kalau lu sakit, kita semua bakal kesulitan." Rani duduk di sebelah Kael, memaksanya untuk berhenti sejenak, tangannya menyentuh bahu Kael dengan lembut.
Kael akhirnya berhenti. Ia menatap Rani dengan senyum lelah. "Gue tau. Tapi kalau gue gak kerja ekstra, kita gak akan kejar deadline. Gue gak mau kita kecewain SCTV di episode pertama kita untuk mereka."
"Kita semua juga bisa kerja ekstra. Lu gak harus nanggung semuanya sendiri." Rani berbicara dengan nada tegas yang penuh perhatian, matanya menatap Kael dengan tatapan yang membuat Kael merasa diperhatikan dengan tulus.
Kael terdiam. Lalu ia mengangguk. "Lu bener. Maaf. Gue terlalu... takut gagal."
"Kita gak akan gagal. Kita tim. Kita kerja bareng." Rani tersenyum hangat, lalu bangkit dan memanggil yang lain. "Guys! Kita sprint final tiga hari! Semua tangan di dek!"
Dan dengan semangat yang baru, mereka bekerja bersama, membagi tugas dengan efisien, saling membantu ketika ada yang ketinggalan, dan mendorong satu sama lain untuk terus maju.
Hari keempat, pukul tiga pagi, episode selesai. Mereka duduk melingkar di lantai dua dengan mata panda dan tubuh yang remuk, tapi senyum lega terpasang di wajah semuanya.
"Kita... berhasil," bisik Budi dengan suara serak, tenggorokannya kering karena tidak banyak bicara selama tiga hari penuh fokus.
"Kita berhasil," ulang Kael sambil tersenyum, air mata hampir keluar tapi ia tahan. "Makasih. Makasih buat semuanya."
Mereka saling menatap dengan tatapan yang penuh arti, tatapan yang mengatakan bahwa mereka bukan hanya tim, tapi keluarga.
Episode yang mereka kirim ke SCTV mendapat respons positif. Pak Hendra menelepon Kael siang itu juga dengan nada yang sangat puas. "Kael, bagus banget. Timing-nya pas, ceritanya mengalir, dan visual-nya konsisten. Kami sangat puas. Episode berikutnya, kami harap bisa maintain kualitas ini ya."
"Pasti, Pak. Kami akan terus berusaha maksimal." Kael menjawab dengan nada lega yang sulit disembunyikan, tangannya gemetar memegang telepon karena menahan emosi yang meluap.
Setelah menutup telepon, Kael berteriak dengan keras, teriak kelegaan dan kebahagiaan yang membuat semua orang di studio melompat kaget. "SCTV SUKA! MEREKA BILANG BAGUS!"
Studio meledak dengan sorak-sorai. Agus dan Sari yang baru sebulan bergabung, ikut melompat-lompat girang meskipun mereka tidak sepenuhnya paham betapa pentingnya approval dari SCTV ini. Yang mereka tahu, mereka bagian dari sesuatu yang spesial, sesuatu yang lebih besar dari sekadar pekerjaan.
Malam itu, Kael mentraktir semuanya makan di restoran Padang kecil, bukan tempat mewah, tapi makanannya enak dan porsinya besar. Mereka makan dengan lahap sambil tertawa, bercerita tentang momen-momen konyol selama sprint tiga hari itu.
"Lu tau gak, Mas Dimas sampe ketiduran sambil gambar. Pensilnya masih di tangan, terus gambarnya jadi garis lurus panjang," cerita Budi sambil tertawa, menirukan posisi Dimas yang tertidur dengan gaya yang lebay.
"Eh, lu juga ketiduran kok! Sampe ngorok segala!" balas Dimas sambil melempar kerupuk ke arah Budi, membuat semuanya tertawa lebih keras.
Kael hanya duduk di sana, menatap teman-teman dan tim barunya dengan perasaan hangat yang memenuhi dadanya. Ini adalah momen-momen yang ia rindukan di kehidupan sebelumnya, momen sederhana tapi penuh makna, momen di mana kesuksesan bukan diukur dari uang atau penghargaan, tapi dari kebersamaan dan rasa saling percaya.
"Gue beruntung punya kalian," ucapnya tiba-tiba, membuat semuanya terdiam dan menatapnya dengan tatapan terkejut.
"Eh, Kael lagi sentimen nih. Pasti kurang tidur," gurau Dimas sambil tersenyum, tapi ada kehangatan di matanya.
"Gue serius. Tanpa kalian, gue gak akan sampai sejauh ini. Studio Garasi itu bukan cuma gue. Ini kita semua. Jangan pernah lupa itu." Kael berbicara dengan nada serius yang membuat semuanya merasa dihargai dan diakui dengan tulus.
Hening sejenak. Lalu Rani tersenyum dengan mata berkaca-kaca. "Kita juga beruntung punya lu, Kael. Lu kasih kita kesempatan yang gak bakal kita dapet di tempat lain."
Dan malam itu, di restoran Padang kecil yang ramai dengan pengunjung lain, enam anak muda itu menyadari bahwa mereka sedang membangun sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar studio animasi, mereka sedang membangun keluarga, membangun mimpi bersama, dan membangun masa depan industri animasi Indonesia dengan tangan mereka sendiri.