Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Swiss — Schulthess Klinik, Zurich
Udara dingin menusuk tulang saat mobil hitam yang mengangkut Devan dan Khanza berhenti di depan rumah sakit mewah berlapis kaca.
Tanpa membuang waktu, beberapa staf medis langsung membawa Khanza yang masih pingsan dengan brankar khusus.
Devan berjalan cepat di sisi mereka, ekspresinya dingin namun tatapannya tak pernah lepas dari wajah Khanza.
Beberapa menit kemudian di ruang Pemeriksaan Khusus
Seorang dokter berusia 50-an dengan jas putih dan atribut lengkap berdiri di depan layar monitor yang menampilkan hasil tes darah dan MRI Khanza.
“Mr. Devan,” ujar sang dokter dengan aksen Inggris-Eropa yang kaku namun sopan,
“kondisi pasien cukup serius. Leukemia stadium awal, tetapi sel kankernya berkembang cepat. Jika terlambat menjalani kemoterapi, akan masuk ke fase kritis dalam waktu kurang dari tiga bulan.”
Devan mengepalkan tangannya saat mendengar perkataan dari dokter.
“Dokter saya tidak mau dengar tentang kemungkinan terburuk,” suaranya rendah namun tajam.
“Saya tidak membawa dia ke sini untuk mendengar ‘risiko’. Saya membawa dia karena saya ingin dia sembuh.”
Dokter menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan.
“Ada satu opsi,” ujarnya sambil menggeser kacamata.
Devan segera mendekat.
“Transplantasi sumsum tulang.”
Dokter menatap monitor dengan serius.
“Jika kita bisa menemukan donor yang cocok secara genetik kemungkinan hidupnya bisa lebih besar dibandingkan hanya kemoterapi.”
Devan menarik napas berat. “Berapa persen kemungkinan keberhasilannya?”
“60 hingga 70 persen… jika dilakukan segera.”
Devan langsung berdiri tegak.
“Cari donornya. Saya tidak peduli berapa biayanya. Saya akan bayar berapa pun!”
Dokter mengangguk, menuliskan sesuatu di papan digitalnya. “Baik. Namun satu hal lagi.”
“Kami butuh persetujuan dari keluarga pasien… atau suami sahnya.”
“Saya akan menjadi suaminya.” ucap Devan.
Dokter sedikit tertegun, tapi lalu mengangguk tanpa banyak tanya
Devan mendekati ranjang Khanza, mengusap rambutnya pelan.
“Dengar ya, Za…” suaranya pelan namun penuh kepemilikan.
“Kamu nggak boleh meninggal dunia. Bukan karena kamu sakit…”
Ia mencondongkan tubuhnya, mendekat ke telinga Khanza.
“Tapi karena kamu belum jadi punyaku.” ucap Devan sambil menggenggam tangan Khanza.
Beberapa jam kemudian — Ruang Perawatan VIP, Schulthess Klinik
Cahaya lampu putih redup menerangi ruangan serba modern dengan jendela besar menghadap salju Zurich.
Suara beep… beep… beep… dari alat monitor jantung terdengar stabil.
Di atas ranjang pasien, kelopak mata Khanza perlahan bergetar.
Jari-jarinya bergerak sedikit, merasakan dinginnya selimut putih rumah sakit. Napasnya berat… tapi stabil.
Dengan sisa tenaga, ia membuka matanya.
Pandangan pertama yang ia lihat — bukan Mama. Bukan Reza.
Melainkan Devan.
Pria itu duduk tenang di sofa dekat ranjangnya, mengenakan kemeja hitam dan mantel wol panjang.
Kedua sikunya bertumpu pada lutut, jari-jarinya saling mengait. Tatapannya lurus ke arahnya.
Begitu mata mereka bertemu senyum tipis muncul di bibir Devan.
Senyum yang tidak sepenuhnya hangat. Bukan senyum kekasih. Bukan senyum sahabat.
Senyum milik seorang pria yang baru saja mendapatkan apa yang selama ini ia kejar.
“Pagi, Sayang.” suara Devan pelan, dalam, dan tenang.
Tubuh Khanza langsung menegang. Jantungnya yang semula stabil mendadak berdegup cepat di alat monitor.
“D-Devan…?” suaranya serak, nyaris tak terdengar.
Devan bangkit perlahan, mendekat, lalu bersandar pada pinggiran ranjang.
Ia mengangkat tangannya hendak menyentuh pipi Khanza.
Refleks, Khanza menghindar.
Napasnya memburu.
“D-di mana aku…?”
“Swiss.” jawab Devan ringan, seolah membawa seseorang lintas benua dalam keadaan pingsan adalah hal biasa.
“Schulthess Klinik, Zurich. Rumah sakit transplantasi sumsum tulang terbaik di dunia.”
Khanza menatapnya tak percaya, suaranya gemetar.
“Kamu, bawa aku ke luar negeri…?”
“Tentu. Kamu pikir aku akan biarkan kamu mati sebelum jadi istriku?”
“A-apa…?”
Devan mengulurkan tangan, menggenggam jemari Khanza meski Khanza langsung berusaha menariknya.
“Pelan saja. Kamu masih lemah.” Devan menatapnya dalam-dalam.
“Mulai sekarang, kamu nggak perlu takut apa-apa lagi.”
Ia mendekatkan wajahnya sedikit suaranya menurun menjadi bisikan.
“Aku akan urus semuanya. Dokter, pengobatanmu, bahkan hidupmu.”
“Devan, lepaskan aku…” bisiknya dengan suara bergetar.
Devan justru semakin menggenggam tangannya erat.
“Za,” ucapnya pelan namun penuh tekanan.
“Aku tidak akan lepaskan kamu lagi.”
“Sampai kapan pun.”
Ucapan Devan meluncur pelan namun bagai borgol yang mengikat tubuh Khanza tanpa izin.
Detik berikutnya Khanza langsung menarik tangannya kasar dari genggaman Devan.
“Jangan sentuh aku!” serunya lirih namun tajam.
Devan hanya terdiam, tidak marah, hanya menatapnya tenang.
Tapi justru ketenangan itulah yang membuat Khanza semakin takut.
Ia mulai panik. Nafasnya memburu.
“Kamu nggak boleh bawa aku ke sini! Aku mau pulang!”
Devan menghela napas pelan. “Tenang, Za. Kamu belum paham kondisi—”
“AKU BILANG AKU MAU PULANG!!!”
Suara Khanza meninggi, tubuhnya mulai bergerak gelisah.
Ia mencoba bangkit dari ranjang, namun selang infus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya terhuyung.
Devan hendak menahannya, tapi Khanza menepisnya sekuat tenaga.
“JANGAN SENTUH AKU!! AKU MAU REZA!!”
Beep… Beep… Beep…!
Detak jantung di monitor melonjak naik drastis.
Panik, Khanza meraih dekat meja samping ranjang menarik apapun yang ada di sana hingga gelas air dan vase bunga jatuh pecah ke lantai.
“REZAAA!!!” teriaknya sekeras mungkin.
“Aku mau Reza!! Rezaaa!!!!”
“Suster!” Devan berseru. “Dokter! Cepat!”
Khanza semakin histeris, menarik selimutnya, menendang tiang infus hingga hampir roboh.
Tangisnya pecah seketika.
“Tolong, tolong siapapun. Aku bukan istrinya… aku mau pulang. Aku mau calon suamiku! Aku mau Rezaaa…”
Devan mendekat, mencoba memegang bahunya.
“Za, tolong—”
“JANGAAAN! KALAU KAMU SAYANG AKU, LEPASIN AKU! AKU MAU CALON SUAMIKU! AKU MAU REZAAA!!!”
Saat itu juga dua suster dan seorang dokter masuk tergesa-gesa.
“Saya dokter Ivan,” ujar pria berjas putih itu cepat.
“Pasien mengalami serangan panik. Detak jantungnya akan semakin lepas kendali kalau dibiarkan.”
Khanza menoleh pada dokter itu dengan tangis parah.
“Dok, tolong saya. Jangan biarkan dia bawa saya pergi. Tolong kasih tahu Reza, tolong panggil calon suami saya… tolong…”
Dokter itu menatapnya iba lalu menatap Devan.
“Mr. Devan. Untuk saat ini, kami harus menenangkan pasien. Jika tidak, jantungnya bisa kolaps.”
Devan mengepalkan tangan, wajahnya menegang menahan emosi.
Namun ia mengangguk pelan.
Dokter memberi isyarat pada suster.
Cekrek.
Jarum suntik disiapkan.
Khanza melihatnya dan semakin panik.
“Nggak! Jangan suntik aku! Aku nggak mau tidur! Aku harus kabur dari sini! Aku mau Rezaaaaa!!!!”
Namun suster sudah menggenggam lengannya.
“Maafkan kami, Bu…”
Sstt…
Jarum itu masuk ke pembuluhnya.
Beberapa detik kemudian napas Khanza mulai melambat.
Matanya masih terbuka tapi pandangannya mulai buram.
Air mata masih jatuh.
Mulutnya bergetar.
“…Re…za…”
Suara itu nyaris tak terdengar sebelum tubuhnya akhirnya jatuh lemas.
Dokter menarik napas lega.
“Pasien aman. Ia akan tertidur selama dua jam.”
Devan berdiri terpaku menatap tubuh Khanza yang tak berdaya di ranjang.
Lalu perlahan, ia mendekat menyentuh pipinya lembut.
“Tidurlah, Sayang.”
“Saat kamu bangun kamu akan jadi milikku sepenuhnya.”