Dunia Isani seakan runtuh saat Yumi, kakak tirinya, mengandung benih dari calon suaminya. Pernikahan bersama Dafa yang sudah di depan mata, hancur seketika.
"Aku bahagia," Yumi tersenyum seraya mengelus perutnya. "Akhirnya aku bisa membalaskan dendam ibuku. Jika dulu ibumu merebut ayahku, sekarang, aku yang merebut calon suamimu."
Disaat Isani terpuruk, Yusuf, bosnya di kantor, datang dengan sebuah penawaran. "Menikahlah dengaku, San. Balas pengkhianatan mereka dengan elegan. Tersenyum dan tegakkan kepalamu, tunjukkan jika kamu baik-baik saja."
Meski sejatinya Isani tidak mencintai Yusuf, ia terima tawaran bos yang telah lama menyukainya tersebut. Ingin menunjukkan pada Yumi, jika kehilangan Dafa bukanlah akhir baginya, justru sebaliknya, ia mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Dafa.
Namun tanpa Isani ketahui, ternyata Yusuf tidak tulus, laki-laki tersebut juga menyimpan dendam padanya.
"Kamu akan merasakan neraka seperti yang ibuku rasakan Isani," Yusuf tersenyum miring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
Yusuf gelisah saat hingga tengah malam, tak bisa tidur karena bau busuk di kamarnya. Sejak ia masuk sore tadi, aroma itu sudah tercium, namun tak seberapa menyengat seperti malam ini. Makin malam, baunya semakin busuk. Pengharum udara sudah tak lagi berfungsi, aromanya kalah dengan bau busuk.
Ia tak bisa diam saja, pasti ada sesuatu di kamarnya, ada sumber bau alias sesuatu yang menyebabkan kamarnya berbau busuk. Menggunakan hidung, ia mencoba untuk mencari sumber bau, sayang kemanapun ia mencium, baunya tetap sama, busuk. Mungkin bau tersebut sudah menyebar ke seluruh ruangan karena hembusan AC. Perutnya seperti diaduk-aduk, mual, pengen muntah.
Tok tok tok
Yusuf mengetuk pintu kamar Bi Wati.
"Tuan, ada apa malam-malam mencari saya?" wanita itu tampak berantakan, memakai kerudung dengan tergesa-gesa.
"Dimana Isani?" Sebenarnya ia bukan ingin mencari Bi Wati, melainkan mencari Sani, tapi tak tahu di kamar mana wanita itu tidur.
"Untuk apa tengah malam Tuan mencari Nyonya Sani?" feeling Bi Wati sudah buruk, keningnya mengernyit. "Tolong, jangan sakiti Nyonya Isani lagi, Tuan. Dia ti_"
"Bi!" Yusuf mendesis pelan, memotong ucapan Bi Wati. "Ada dimana dia?"
"Em.. di kamar tamu."
"Di kamar tamu yang mana?" Yusuf memutar kedua bola matanya malas. Ada banyak kamar tamu di rumah ini, jawaban Bi Wati sangat tidak valid.
"Di kamar yang dulu di tempati alm. Nyonya Anika. "
Yusuf terdiam beberapa saat, terkejut kenapa kamar itu yang dipilih Sani dari sekian banyak kamar di rumah ini. Mungkinkah hanya suatu kebetulan, atau...
"Tuan, bisakah saya minta waktu sebentar, saya ingin bicara dengan Tuan."
Yusuf langsung mengangkat telapak tangannya. "Lain kali saja, ini sudah terlalu malam," Yusuf meninggalkan kamar Bi Wati, berjalan cepat menuju kamar Sani.
Bi Wati yang khawatir Sani akan mendapatkan perlakuan buruk, mengikuti Yusuf.
Brak Brak Brak.
Bukan lagi ketukan, namun gedoran keras yang ia lakukan di pintu kamar Sani. "Isani, buka pintunya!"
Brak Brak Brak
Bi Wati makin khawatir melihat Yusuf yang tampak marah.
Isani mendengus kesal saat tidur nyenyaknya terganggu. Melihat cara Yusuf yang tidak ada akhlak dalam membangunkannya, ia putuskan untuk pura-pura budeg. Kembali memejamkan mata sambil memeluk guling.
"Isani, Isani buka pintunya!" Yusuf makin kencang berteriak. Ia yakin Sani mendengar, hanya sedang pura-pura tak dengar saja. "Sani, buka pintu! Aku tahu kamu pura-pura gak dengar. Buruan buka, atau aku dobrak!"
"Bodo amat!" gumam Sani dengan mata terpejam. Kalaupun pintu didobrak hingga rusak, yang rugi juga Yusuf, karena harus keluar biaya untuk memperbaiki pintu.
"Biar saya saja yang memanggilnya," Bi Wati tak ingin sampai ada adegan kekerasan, dobrak mendobrak pintu.
Yusuf mundur, memberikan tempatnya pada Bi Wati.
Tok tok tok
"Nyonya, tolong buka pintunya."
Sani menghela nafas panjang. Ingin lanjut pura-pura budeg, tapi tak bisa, ia menghormati Bi Wati. Ia bangun, turun dari ranjang dengan bibir terus mengomel, mengumpati Yusuf. Sebenarnya mau nyuruh apa sih laki-laki itu, gak ngerti jam banget, tengah malam membangunkannya.
Ceklek
Sani memutar kedua bola mata malas melihat Yusuf berdiri di depan pintu kamarnya. "Mau nyuruh apa, sampai tengah malam ganggu tidur orang?" geram Isani. Bukannya jawaban yang ia dapat, tangannya malah ditarik kasar oleh Yusuf.
"Ish, apaan sih. Kenapa main tarik-tarik?" ia berusaha melepaskan tangannya. Namun seperti yang sudah-sudah, ia kalah tenaga. Sepertinya mulai besok, ia harus makan lebih banyak dan rajin olahraga.
"Bibi balik tidur aja," titah Yusuf, terus jalan sambil menarik tangan Isani.
"Tapi_" Bi Wati tampak ragu, khawatir Sani akan dikasari lagi.
"Tidur aja Bi, aku gak papa," Sani coba meyakinkan.
Bi Wati mengangguk, balik badan, kembali ke kamarnya.
Sani panik saat Yusuf membawanya masuk ke dalam kamar. "Eh, eh, mau ngapain ini," ia makin kuat memberontak. Namun, bau di kamar tersebut, membuat ia diam, menutup hidung dengan sebelah tangannya. Sumpah, ini bau sekali. Semalam saat ia tidur bersama puluhan bangkai tikus, tidak sebusuk ini baunya, tapi mungkin karena sudah cukup lama mati, sekarang baunya jadi semakin menyengat.
"Sebelumnya, kamarku tak pernah sebau ini. Ini baunya seperti bau bangkai. Jangan-jangan kamu memasukkan bangkai ke kamarku?" tuduh Yusuf, menghempaskan tangan Isani begitu saja.
"Gak usah nuduh kalau gak ada bukti. Jangan-jangan ini bau kentut kamu," Sani menahan tawa.
"Isani!" geram Yusuf, sebelah telapak tangannya mengepal, sementara sebelahnya sibuk memencet hidung. "Aku gak sedang becanda."
"Heran ya, biasanya di TV, orang jahat kalau mati jasadnya mau, ini masih hidup, eh... udah bau aja kamarnya. Kelewat kejam sih..." cibirnya sambil tersenyum miring.
"Aku akan cek rekaman CCTV, awas saja kalau sampai aku menemukan bukti kamu masukin bangkai ke kamarku. Sekarang, bersihkan kamarku hingga tidak ber_" Yusuf tak melanjutkan kalimatnya, kedua telapak tangannya menutup mulut, isi perutnya naik ke atas saking gak tahannya dengan bau tersebut. Ia berlari ke kamar mandi.
Hoek, hoek, hoek
Sani tertawa cekikikan mendengar Yusuf muntah-muntah. "Syukurin, emang enak." Ia memencet hidung dengan jari, hampir tak tahan juga pengen muntah. Ia melihat sekeliling, baru menyadari sesuatu. Dimana Irene, kenapa tak ada di kamar?
Yusuf keluar dari kamar mandi dengan wajah sedikit pucat. "Besok pagi, bersihkan kamar ini," ucapnya dengan suara lemas sambil berjalan keluar kamar. Sepertinya, malam ini ia memang tak bisa tidur disini.
Sani ikut keluar, berjalan di belakang Yusuf. "Dimana Irene, kenapa dia tidak ada?"
Deg
Langkah kaki Yusuf seketika terhenti.
"Kok Irene gak ada?" Sani berhenti di depan Yusuf, menatap laki-laki itu.
"I-Irene," Yusuf tampak gugup. "Di-dia tidur di kamar tamu. Dia udah pindah dari tadi, gak tahan baunya."
"Kok kamu gak ikut pindah dari tadi?"
"A, aku... aku... "
"Ckckck," Sani berdecak sambil geleng-geleng. "Baru nikah udah berantem, pisah ranjang. Parah!"
"Gak usah mikir aneh-aneh. Kamu itu kebanyakan nonton film, jadi fikirannya ngawur. Awas saja kalau besok, aku menemukan bukti kamu memasukkan sesuatu ke kamarku!" Yusuf kembali ke masalah bau.
Sani tak menggubris, berjalan kembali ke kamarnya. Namun, langkah kakinya terhenti karena panggilan Yusuf.
"Buatin aku wedang jahe, perutku mual," pinta Yusuf.
"Wedang jahe ya?"
"Hem, iya."
"Ma- les!" tekan Sani, tersenyum mengejek. Ia tahu Yusuf sedang tak enak badan sekarang, dan bisa dipastikan gak ada tenaga buat marah-marah. Ah, ia suka seperti ini.
"Baiklah, aku minta tolong Bi Wati aja." Yusuf hendak pergi, namun tangannya ditahan Isani.
"Gak usah ganggu orang istirahat," omel Sani. "Bikin sendiri gak bisa apa? Masa skill dasar kayak gitu aja gak bisa?"
"Aku gak bisa."
Sani menghela nafas panjang. Ah iya, ia lupa, Yusuf lahir langsung kaya, mana ngerti urusan dapur. Mungkin masak mie instan saja, dia juga gak bisa. "Suruh Irene, jangan ngerepotin Bibi."
"Irene tidur."
"Bi Wati juga tidur!" bentak Sani.
Yusuf tak mempedulikan Sani, lanjut jalan menuju kamar Bi Wati. Namun sekali lagi, lengannya ditahan Isani.
"Ya udah, aku buatin." Dengan sangat terpaksa, Sani menuju dapur.
manis bibirnya Isani apa bibirnya Irene Suf?😆😆😆