Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Arka berdiri tegak, matanya menyala seperti bara api. Dari dalam tas kulitnya, dia mengeluarkan setumpuk dokumen. Kertas-kertas itu ia sodorkan pada sekretaris Pak Surya.
"Tolong bagikan ke semua orang," katanya, suaranya mantap namun berisi amarah yang dingin. "Sudah waktunya semua orang tahu siapa sebenarnya wanita yang kalian beri kekuasaan hari ini."
"Selama bertahun-tahun, Soraya dan beberapa orang di sini sudah melakukan penggelapan uang. Mereka melakukan korupsi besar-besaran. Kalian sendiri bisa melihat data pembukuan keuangan yang asli dan yang sudah mereka ubah," ucap Arka dengan nada tegas dan dingin, penuh keyakinan.
Ruangan rapat yang semula ramai oleh perdebatan dan ketegangan mendadak terdiam. Semua mata kini tertuju pada Arka, yang berdiri tegak dengan sorot mata tajam, seperti singa yang siap menerkam musuhnya. Tangannya menunjuk tumpukan berkas yang sudah tersebar di meja setiap orang.
Untuk mengantisipasi kekalahan dirinya dalam pemungutan suara, Arka telah mempersiapkan semuanya dengan matang. Ia tahu, dunia bisnis bukan hanya tentang strategi di atas kertas, tetapi juga soal kepercayaan dan pengkhianatan. Ia tak pernah benar-benar percaya pada siapa pun, bahkan pada Pak Agung yang sempat ia andalkan. Maka dari itu, jauh sebelum hari ini, ia menyewa tim auditor independen untuk menyelidiki kejanggalan dalam laporan keuangan perusahaan. Semua hasilnya kini ada di tangan para pemegang saham.
Namun, justru Arman—seseorang yang paling dia percaya, adik kandung yang selama ini selalu ada di pihaknya—yang ternyata menikamnya dari belakang. Pengkhianatan itu begitu menyakitkan. Di wajah Arka tergambar kekecewa, tapi ia tetap berdiri tegak, menyembunyikan luka batinnya di balik sorot mata yang tetap tegas.
"Kalian bisa lihat bukti yang begitu jelas," lanjut Arka sambil membalik beberapa halaman. Suaranya tetap tenang, tapi bergetar oleh emosi yang ditahan. "Dari mana mereka mendapatkan uang, dan ke mana uang itu mengalir. Lihat dengan mata kepala kalian sendiri."
Suasana rapat berubah jadi gaduh. Beberapa orang mengerutkan dahi, yang lain mulai bersungut-sungut. Sorot mata mereka berganti dari bingung menjadi marah. Mereka terkejut melihat jumlah uang yang dikorupsi—angka-angka dalam laporan itu mencengangkan, bukan lagi hitungan ratusan juta, tetapi miliaran rupiah.
"Apa maksudnya ini, Bu Soraya?" bentak Pak Agung sambil memukulkan berkas di tangannya ke atas meja dengan keras. Suaranya bergema dan membuat jantung beberapa orang berdegup lebih cepat. "Kau sudah memanipulasi data laporan keuangan perusahaan? Ini bukan kesalahan sepele!"
Soraya yang duduk tenang sejak awal, kini tampak gelisah. Wajahnya menegang. Jari-jarinya mulai saling meremas. Citra yang duduk di sampingnya pun memalingkan wajah, berusaha tetap tenang walau matanya mulai berair. Keduanya tak menyangka Arka akan menyerang balik dengan bukti sekuat itu.
"Wah, Nona Citra yang baru bekerja tujuh tahun saja sudah punya banyak aset kekayaan yang tidak pernah dipublikasikan," ujar seorang pria tua, dengan nada sinis. Tatapan matanya menusuk seperti belati. "Tak masuk akal kalau semua itu didapat dari gaji kerja di sini saja, bukan?"
Desisan dan bisik-bisik mulai terdengar. Para pemegang saham yang sebelumnya berdiri netral kini tampak bergeser. Ketegangan menebal di udara. Keheningan yang sempat terjadi berubah menjadi badai pertanyaan dan kemarahan. Nama Soraya dan Citra mulai disebut-sebut sebagai dalang kerusakan perusahaan.
Soraya dan Citra saling pandang, kesalahan mereka kini telanjang di hadapan semua orang. Segala siasat yang mereka rancang rapi ternyata tak bisa menandingi akal panjang Arka. Mereka telah meremehkan pria itu—dan kini mereka harus membayar mahal.
***
Di tempat lain, Yasmin turun dari motor bersama Pak Baharuddin. Gadia kecil membawa sesuatu di tangan kanannya.
"Mama ... lihat! Aku diberi boneka Hello Kitty oleh Aurora. Ini oleh-oleh dari papanya yang baru pulang dari Jepang."
Dengan wajah berseri-seri dan langkah kecil yang ringan, Yasmin berlari menuju warung makan tempat ibunya bekerja. Seragam sekolahnya masih rapi, dan di tangannya tergenggam erat boneka Hello Kitty berukuran sedang, yang tampak baru dan menggemaskan. Ia begitu antusias, seperti seorang anak kecil yang menemukan harta karun.
Hannah yang sedang memotong sayuran di dapur, mendongak ketika mendengar suara ceria anaknya. Senyum tipis sempat menghiasi wajahnya, sebelum akhirnya pandangannya jatuh pada boneka di tangan Yasmin.
Mata Hannah mendadak membelalak. Tangannya bergetar. Pisau yang ia genggam tergelincir, dan ujungnya menggores kulit. Darah merembes perlahan dari luka kecil di jarinya. Tapi bukan itu yang membuat tubuh Hannah lemas—melainkan kilasan ingatan yang tiba-tiba muncul bagai bayangan hantu dari masa lalu.
Dalam benaknya, terlintas sosok seorang anak kecil berlari panik membawa boneka Hello Kitty, masuk ke dalam gubuk reyot penuh debu dan sarang laba-laba. Anak itu bersembunyi di dalam lemari kayu tua yang engselnya sudah karatan. Lalu, teriakan. Tangisan. Gelap. Dingin. Bau tanah dan ketakutan. Semua berputar seperti film rusak yang diputar ulang dalam pikirannya.
"Mama! Mama!" Yasmin mengguncang tangan ibunya dengan panik. Wajahnya cemas melihat ibunya berdiri terpaku, berkeringat dingin, dan tatapannya kosong. “Mama, kenapa?”
Tubuh Hannah seperti tidak berada di tempat itu. Tapi detik berikutnya, kesadarannya kembali. Dengan satu gerakan cepat dan tak terduga, ia merampas boneka Hello Kitty dari tangan Yasmin dan melemparkannya ke tong sampah di sudut ruangan. Gerakannya kasar, penuh emosi.
"Ma—Mama!" Yasmin menjerit. Matanya membesar, bibirnya bergetar. Tangis langsung pecah dari mulut kecilnya. Ia tidak mengerti kenapa ibunya bertindak seperti itu. Boneka kesayangannya baru saja ia dapatkan, dan sekarang terbuang tanpa alasan.
Seorang pegawai warung yang sedang mengaduk tumisan pun berhenti. Wajahnya mencerminkan keterkejutan yang sama. Hannah, yang selama ini dikenal tenang dan lembut, berubah menjadi seseorang yang lain.
Pak Baharuddin masuk dari pintu belakang, membawa keranjang sayur dari kebun. Ia langsung melihat cucunya menangis sambil memungut boneka dari tong sampah. Alisnya berkerut. "Ada apa ini?"
Dengan langkah pelan namun sigap, pria tua itu menghampiri Yasmin dan mengelus punggungnya. Tangis gadis kecil itu membuat hatinya ngilu.
“Mbak Hannah membuang boneka Yasmin ke tong sampah,” jelas pegawai itu tanpa menyembunyikan nada khawatir.
"Loh, kenapa?" Pak Baharuddin menghampiri Hannah yang masih berdiri di dekat meja dapur. Ia jongkok, menatap wajah putrinya yang tampak pucat dan gemetar.
"Yah!" Hannah menggeleng dengan cepat, seperti anak kecil yang ketakutan.
Lalu, dengan tangan yang penuh darah, Hannah mulai menggerakkan jari-jarinya. Bahasa isyarat yang selama ini digunakan sebagai penghubung antara ayah dan anak itu kini begitu gelisah dan tergesa.
“Buang boneka itu!”
Pak Baharuddin menghela napas bingung. “Kenapa harus dibuang? Itu boneka pemberian temannya Yasmin,” ucapnya pelan, mencoba menenangkan.
Akan tetapi, Hannah kembali menggerakkan tangannya dengan lebih cepat dan marah. “Buang! Harus dibuang! Sekarang juga!”
***
😀😀❤❤❤😍😙😗