Novel Keduabelas 🩶
Namaku Jennaira. Kisah ini adalah tentang aku yang menikah dengan seorang pria sempurna. Bertahun-tahun aku menganggapnya seperti itu, sempurna. Namun setelah menikahinya, semua berubah. Penilaianku terhadapnya yang asalnya selalu berada di angka 100, terus berubah ke arah angka 0.
Benar kata pepatah, dont judge a book by its cover. Penampilannya dan segala kemampuannya berhasil menghipnotisku, namun nyatanya hatinya tak seindah parasnya dan aku terlambat menyadarinya.
Unofficial Sound Track: Pupus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Nafkah
Setelah mandi aku kembali ke kamar. Di sana sudah tersedia satu stel pakaian yang Gaga siapkan untukku. Aku pun memakainya. Ku lihat pantulan diriku di cermin. Sweater berwarna denim milik Gaga itu terlihat kebesaran di tubuhku.
Namun hangatnya pakaian ini seakan Gaga tengah memelukku. Hangat. Bahagia. Dan kilasan aktivitas yang baru saja ku lakukan dengan Gaga berputar kembali membuat tubuhku meremang asing.
Katakan saja aku bodoh karena merasa sebahagia ini setelah melakukannya dengan pria jahat itu. Namun sungguh, aku tak bisa menampiknya. Aku sangat bahagia.
Ku raih ponselku yang tak ku lihat lagi sejak di restoran. Ku balas beberapa chat dari beberapa teman. Kemudian aku melihat status. Ada status yang dibuat Gaga, sontak aku melihatnya.
Ia memposting sebuah foto. Foto itu adalah foto makanan yang kami santap tadi di restoran. Ada tanganku yang tengah memutar spageti dengan garpu dan sendok ikut tertangkap di foto itu. Gaga mempostingnya tanpa memberikan keterangan apapun.
Seketika aku tersenyum salah tingkah. Muncul di postingan Gaga walaupun hanya seperti itu sudah membuatku senyum-senyum sendiri.
Keesokan harinya sepulang aku mengajar, Gaga mengantarku ke tempat kost untuk mengambil semua barang-barangku. Barangku tidak banyak, jadi hanya ada dua koper besar yang aku bawa ke apartement Gaga.
"Lo tidur di kamar ini." Gaga mengantarku ke kamar yang menjadi saksi pengalaman pertama kami tadi malam.
"Gaga gak tidur di sini juga?" tanyaku. Aku kira kami akan berbagi kamar bersama.
"Enggak. Lo di sini, gue di kamar sebelah. Beresin barang lo, terus kita makan. Gue udah beli makan malam, setelah itu kita perlu ngobrol beberapa hal."
Aku pun mengangguk patuh, setelah itu ia pergi dari kamarku. Cara bicaranya, tatapan matanya kembali seperti biasa. Bukan Gaga yang lembut menyentuhku seperti tadi malam.
Kemudian kami menyantap makanan kami dalam diam. Keheningan ini membuatku berpikir tentang kejadian semalam. Apakah pengalaman pertama itu hanya halusinasiku saja? Apa Gaga yang menatapku hangat, Gaga yang membelaiku lembut, yang memelukku dengan kulit saling bersentuhan tanpa jarak itu adalah Gaga dalam khayalanku saja? Apa kemarin aku hanya bermimpi?
"Mulai besok pagi, gue mau lo yang masak."
Permintaan Gaga memecah keheningan. "Gue bakal kasih lo uang buat belanja keperluan masak setiap seminggu sekali. Rp. 350.000 harus bisa buat masak seminggu."
Itu artinya sehari jatah untuk memasak hanya Rp. 50.000? Sepertinya akan cukup. Jika tidak cukup aku bisa menambahkannya. "Iya, itu cukup kok buat kita berdua," sahutku.
"Lo cukup masak sarapan dan makan malam aja. Siang gue makan di kantor."
Aku mengangguk paham. "Gaga gak akan bekel aja? Aku bisa bikinin Gaga bekel setiap hari."
"Gak usah," tolaknya ketus. "Gue gak mau ribet bawa-bawa tempat makan."
"Ya udah kalau gitu," sahutku paham.
"Lo punya gaji sendiri 'kan?"
"Iya, punya."
"Berapa gaji lo?" tanya Gaga tanpa penasaran.
"Sekitar Rp. 2.500.000."
"Seminggu?"
"Sebulan."
Gaga terkejut. "Serius? Kecil amat?"
"Karena aku masih guru honorer. Kalau udah jadi PPPK akan lebih besar. Aku udah ada panggilan buat tes kok. Gaga doain ya semoga aku bisa lolos tesnya."
"Kalau udah jadi PPPK nyampe dua digit gaji lo?" tanyanya tanpa memberi tanggapan mengenai doa yang ku pinta ia panjatkan untukku.
"Enggak, paling nyampe di angka Rp. 5.000.000."
"Karena lo punya gaji, gue cuma bakal kasih uang buat masak aja."
Aku terdiam, tak tahu harus bagaimana menanggapinya.
"Gaji gue punya gue. Gaji lo punya lo. Uang masak, listrik, apartement, itu dari gue semua. Jadi gue gak perlu kasih lo uang lagi 'kan?"
"Oh..." gumamku.
Jadi maksudnya nafkah untukku dari Gaga hanya Rp. 350.000 seminggu? Itu pun hanya untuk memasak. Kenapa rasanya tidak sepadan? Apalagi gaji Gaga sebagai pengacara bukankah cukup besar?
"Jadi karena kita udah sepakat, gue simpulin lo udah gak akan minta cerai lagi sama gue."
Aku sempat melupakan itu. "I-iya sih..."
"Deal. Satu hal lagi, kita punya privasi yang gak boleh kita langgar. HP gue gak boleh lo lihat, gitu juga sebaliknya. Kita juga tidur beda kamar. Terserah lo mau apain kamar itu, yang jelas lo gak boleh sembarangan masuk kamar gue."
Lalu bagaimana jika... Ah sudahlah, Ra. Kamu berpikir tentang apa? Tak mungkin juga aku menanyakannya seakan aku mengharapkannya.
"Tapi jangan pernah kunci kamar lo. Apalagi malem."
"Kenapa?"
Gaga menatapku sekilas lalu kembali menatap makanannya. "Perlu gue jelasin?"
Seketika pipiku memanas. Naira, sadar! Jangan terlalu senang. Bisa?! Di sedang membahas nafkah yang tak sepadan dengan penghasilannya. Fokus, Ra, fokus!