Ganesha percaya Tenggara adalah takdir hidupnya. Meski teman-temannya kerap kali mengatakan kepada dirinya untuk sebaiknya menyerah saja, si gadis bersurai legam itu masih tetap teguh dengan pendiriannya untuk mempertahankan cintanya kepada Tenggara. Meski sebetulnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian.
"Sembilan tahun mah belum apa-apa, gue bisa menunggu dia bahkan seribu tahun lagi." Sebuah statement yang pada akhirnya membuat Ganesha diberikan nama panjang 'Ganesha Tolol Mirella' oleh sang sahabat tercinta.
Kemudian di penghujung hari ketika lelah perlahan singgah di hati, Ganesha mulai ikut bertanya-tanya. Benarkah Tenggara adalah takdir hidupnya? Atau dia hanya sedang menyia-nyiakan masa muda untuk seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 12
Ganesha pergi saat perayaan anniversary, fans: pecah kongsi?
Lima hari sudah artikel itu terpampang dan dibagikan ulang ke berbagai platform. Pro dan kontra bertebaran, memeriahkan kolom komentar. Ada pula outsider yang menyusup ke dalam forum, ikutan memberikan reaksi padahal mereka bukan bagian dari Zaloria dan fansnya. Seperti biasa, golongan itu bertindak seolah-olah paling mengerti apa yang terjadi. Mengemukakan beragam teori yang berakhir diperdebatkan tanpa henti.
Berhadapan dengan jalanan kota yang padat pada jam pulang kerja, ditemani satu cup Chesee Latte kesukaannya, Ganesha membiarkan dirinya sejenak beristirahat dari ributnya isi kepala.
Selama tiga hari berturut-turut, dia mengawal jalannya pemberitaan soal dirinya yang hengkang di tengah-tengah acara—hanya untuk menjadi semakin yakin bahwa prioritas utama Tenggara tetaplah Zaloria dan fansnya. Tak peduli apa pun yang terjadi.
Semua tergambar jelas dari bagaimana lelaki itu memberikan klarifikasi, yang hanya berfokus pada satu hal: tidak ada yang terjadi dengan Zaloria. Mereka baik-baik saja.
Ketika di sisi lain, lelaki itu masih tak kunjung menghubunginya untuk mengajak bicara. Seolah perasaannya benar-benar tidak penting untuk diurusi.
"Guys," Usai mengambil satu tarikan napas yang cukup dalam, ia menoleh pelan kepada Kafka dan Selena yang setia menemani dalam keterdiamannya. "Red Devil, yuk?"
Ajakan itu sontak membuat Kafka menegakkan punggungnya. Mata lekaki itu membola, menunjukkan betapa tidak menyangkanya ia bahwa seorang Ganesha Mirella akan mengajaknya pergi ke sebuah kelab malam.
"Kalau Si Bro tahu, leher gue bisa ditebas pakai samurai!" serunya.
Sebagai satu-satunya pria di dalam circle pertemanan mereka, Kafka bukan hanya bertanggung jawab pada Ganesha dan Selena, tetapi juga kepada abangnya Ganesha, yang sudah secara khusus menitipkan gadis itu untuk ada dalam pengawasannya.
"Ya jangan sampai tahu, lah. Diem-diem aja kita perginya." Sang gadis berujar santai. Menolehlah ia pada Selena dalam rangka meminta dukungan suara. "Ayolah, gue butuh merefresh isi kepala gue biar nggak semakin berantakan."
"Beli bir aja dari minimarket di depan, minum di markas,” usul Kafka. Kalau tujuannya ke kelab hanya untuk minum, seharusnya saran yang barusan tidak buruk, kan?
"Nope." Ganesha menggeleng dengan begitu keras kepala. "Gue mau ke Red Devil. Mau joget sampai encok."
"Sejak kapan lo bahkan suka joget, Ganesha Mirella? Udah deh nggak usah aneh-aneh!"
"Ya udah," sahut Ganesha. Sisa Chesee Latte di dalam cup dia tandaskan sekali tenggakan, bahkan tanpa bantuan sedotan. Kemudian, dia menatap Kafka dan Selena bergantian dengan sorot yang tajam. "Kalau kalian berdua nggak mau nemenin, biar gue pergi sendiri."
"Itu lebih gila lagi!" Kafka berteriak frustasi. Rambut gondrongnya lagi-lagi menjadi sasaran, dibuat acak-acakan tidak keruan. "Serius, deh, ada banyak hal yang bisa lo lakuin selain kelayapan ke kelab malam. Lagian, itu bukan lo banget."
"Iya, Nesh. Bakal ada terlalu banyak orang juga di sana, apalagi di Jumat malam kayak gini. Lo pasti malah akan nggak nyaman." Selena juga ikut berusaha membujuk.
Sayangnya, Ganesha sudah bulat dengan tekadnya. Dia ingin pergi ke Red Devil, menenggak minuman, lalu menari sampai pagi datang. Akan lebih bagus kalau di tengah-tengah itu, dia bisa hilang ingatan. Selain melupakan keributan yang sekarang sedang terjadi, siapa tahu juga dia bisa melupakan Tenggara dan agenda cinta bertepuk sebelah tangan yang dia jalani dengan sia-sia ini.
Maka, tanpa mau mendengarkan ucapan kedua temannya lebih jauh, Ganesha menyambar kunci mobil dari atas meja dan bergegas pergi dari tempatnya bertapa selama dua jam lebih. Tak digubrisnya Kafka yang berteriak kesetanan disertai beberapa kata umpatan. Juga usaha Selena mengejar sambil terus berusaha membujuk agar niatnya urung.
Ganesha terus berjalan. Tanpa ragu, tanpa takut. Sebab malam ini, dia ingin sebentar saja lupa diri.
°°°°°°°
Mungkin karena Ganesha tahu dirinya tidak akan tinggal diam, gadis itu jadi suka berbuat sesuka hati tanpa memikirkan risiko atas tindakannya tersebut. Termasuk malam ini.
Jangan tanyakan lagi—Kafka beberapa kali hampir membalikkan setiap meja yang ia temui ketika melihat beberapa lelaki berusaha mendekat ke arah Ganesha yang sudah setengah teler di area dance floor.
Parahnya lagi, Selena juga malah ikutan banyak minum sehingga dirinya harus bekerja ekstra mengawasi Ganesha dan Selena yang berada di lokasi berbeda.
"Stop minum, lo udah high." Kafka merebut gelas milik Selena, menyingkirkannya jauh-jauh agar si gadis tak bisa lagi meraihnya.
Untungnya, tidak seperti Ganesha yang keras kepala dan kerap bertindak kekanakan, Selena jauh lebih mudah untuk diatasi. Ketika dibilang jangan, gadis itu akan menurut tanpa banyak melakukan perlawanan. Itu merupakan sebuah hal yang—khususnya malam ini—banyak Kafka syukuri. Jadi, dia bisa menghemat energi untuk lebih fokus pada Ganesha yang sedang bertingkah liar.
"Wah, si bangsat!” geramnya, ketika sekali lagi melihat seorang pemuda berjalan mendekat ke arah Ganesha.
Sama seperti sebelumnya, Kafka tidak langsung bertindak. Dia hanya mengawasi dari posisinya duduk—memastikan tidak seujung kuku pun pemuda itu menyentuh Ganesha dan menunggu sampai ia pergi dari sana.
Sejauh ini, Ganesha bisa mengatasi semuanya sendiri. Beberapa lelaki yang mendekat berhasil diusir tanpa Kafka harus turun tangan. Dan dia harap, yang kali ini pun sama.
"Kaf, kayaknya lo harus ke sana, deh." Kafka merasakan lengannya ditepuk-tepuk oleh Selena. Telunjuk gadis itu juga mengarah jauh ke area dance floor, menunjuk tiga orang pemuda yang tampak saling tukar obrolan sambil memandang lurus ke arah Ganesha.
"Sampah." Pemuda berjaket denim itu mengutuk dengan gigi bergemeletuk dan kedua tangan mengepal erat di atas pangkuan. Hanya dalam waktu beberapa detik setelah Selena memberikan instruksi, tiga pemuda tadi sudah melancarkan aksi—berjalan serempak ke arah Ganesha dengan raut wajah berisi skenario bajingan yang Kafka sendiri tidak sanggup mengucapkannya.
Sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Kafka bangkit dari sofa dan melesat cepat menghampiri Ganesha. Emosi yang meletup-letup di dada membuatnya sejenak lupa bahwa Selena juga sedang tidak sepenuhnya sober untuk bisa dia tinggalkan sendirian—bahwa Red Devil malam ini dipenuhi para iblis yang bisa datang dari arah mana pun, siap memburu mangsa.
"Stay away from her, bastard!" serunya di tengah suara musik yang berdentam-dentam. Gemerlap lampu yang menyorot bergantian ke wajah satu per satu dari para lelaki itu membuatnya bisa melihat niat-niat busuk mereka dengan lebih jelas. Dan sialnya, itu membuat emosi di dalam dadanya semakin meledak-ledak tak bisa dikendalikan.
Salah seorang dari ketiganya, yang berambut ungu ala idol Korea dan dua tindik di alis kirinya, berjalan maju. Bibirnya melengkung hanya di satu sisi, diterima oleh Kafka sebagai sebuah bentuk ejekan yang menyebalkan.
"What's your problem, man? Kami cuma mau ajak dia kenalan."
"Don't you dare," desis Kafka. Kedua netranya tetap menyorot tajam lawan bicara di depannya, sedangkan tangannya bergerak cepat menarik lengan Ganesha untuk kemudian menyembunyikan tubuh kecil itu di belakang tubuhnya.
"It's hurt, Kaf," cicit Ganesha ketika gadis itu sudah berhasil dia sembunyikan. Kafka tidak menggubrisnya. Dia tahu cengkeramannya di pergelangan tangan Ganesha memang cukup kuat, tetapi tidak ada alasan untuk melonggarkannya karena dia harus memastikan gadis itu tetap aman.
"You hurt her, man." Si ungu kembali bicara. Kepalanya meneleng, mengintip ke balik tubuh Kafka untuk menemukan Ganesha yang sedari awal sudah dia incar. "Cowok nggak boleh kasar sama perempuan."
"My business." Kafka menyahut tenang. Walau sebenarnya, dia ingin sekali menendang wajah si ungu yang benar-benar kelihatan cabul di matanya.
Si ungu meledakkan tawa, disambut kekehan sumbang dari dua temannya yang sama-sama bajingan.
Kafka mengetatkan rahang. Sungguh ingin setidaknya sekali saja melayangkan tinju ke wajah mereka satu per satu agar dirinya tak lagi merasa diremehkan.
Namun, sebelum itu terealisasi, teriakan nyaring dari belakang tubuhnya membuat Kafka dengan cepat mengalihkan atensi. Hanya untuk berakhir semakin emosi tatkala menemukan dua orang pria asing sedang mengimpit tubuh Selena di sofanya.
Geram, Kafka menyeret Ganesha pergi meninggalkan area dance floor. Melupakan eksistensi tiga bajingan yang terdengar tertawa meledek di belakang punggungnya.
"Kaf, sakit!" protes Ganesha di tengah langkahnya yang mengayun lebar.
Kafka menulikan telinga. Dia tetap menyeret tubuh kecil itu agar mereka bisa segera sampai di sisi Selena sebelum hal-hal buruk menimpa sang gadis.
"Kaf…”
"Diem, Nesh! Selena juga lagi butuh bantuan!" bentaknya tanpa sadar. Kepalang panik karena entah kenapa jarak dari area dance floor ke table mereka jadi terasa lebih jauh. Kakinya sudah mengayun cukup jauh, tetapi mereka tak kunjung sampai di tujuan.
Hampir langkahnya tiba, masalah lain muncul di tengahnya. Seseorang dari arah samping menyentak lengan Ganesha yang berada dalam genggamannya, membuatnya menoleh cepat dan memasang kuda-kuda.
Ketika sosok yang merebut Ganesha tampak di tengah remangnya pencahayaan, Kafka menjadi kebingungan. Entah harus merasa lega atau justru sebaliknya.
"Biar gue yang urus Ganesha." Sosok itu bersuara dengan nadanya yang rendah dan tenang. Berbanding terbalik dengan sorot matanya yang seperti bisa mencabik-cabik tubuh Kafka menjadi bagian-bagian kecil serupa daging cincang.
Dilanda gusar selama beberapa detik, Kafka akhirnya mengambil langkah menjauh dari Ganesha. Berlarian menghampiri Selena, diriingi desahan kasar dan nafsu untuk memukuli orang yang jauh lebih besar daripada sebelumnya.
Sementara di tempatnya ditinggalkan, Ganesha tidak benar-benar mengerti apa yang terjadi sebab kesadarannya sedikit demi sedikit mulai berkurang. Alkohol yang dia tenggak tanpa ampun agaknya baru bereaksi sekarang. Sehingga ketika kepalanya mulai berkunang dan pandangannya kabur secara perlahan, dia sudah tidak tahu lagi ke pelukan siapa dia jatuh pingsan.
Bersambung....
Weh, Kafka jengkel setengah mampus inu😅