cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 - Rahasia di Antara Kita
Pagi itu, Vio terbangun dengan pelan mata terbuka lebar tanpa rasa kantuk seperti biasanya. Ia menoleh ke samping, menatap jam kecil di atas meja yang biasanya akan berdering membangunkannya. Namun kali ini, jarum jam bahkan belum mencapai waktu alarmnya. Ia terdiam sesaat, lalu menarik selimut pelan-pelan dan duduk di tepi ranjang.
Langit di luar jendela masih kebiruan pucat, pertanda matahari baru saja hendak menyapa dunia. Tapi di dalam kamar, pikirannya masih tertahan pada malam kemarin.
Reina… Zeo…
Ia menyentuh layar ponselnya yang tertelungkup di atas meja. Tidak ada pesan baru. Tapi percakapan semalam masih terpatri jelas di benaknya. Wajah Reina yang memerah, suaranya yang gugup, dan kalimat itu...
“Aku selalu nonton kamu. Violetta. Itu kamu, kan? Aku Zeo.”
Hingga kini, rasanya masih sulit dipercaya. Namun semua terasa begitu nyata.
Vio mengusap wajahnya, lalu berdiri dan bersiap-siap untuk hari itu. Dengan Tissa yang masih di rumah orang tuanya dan baru kembali empat hari lagi, pagi terasa lebih sunyi dari biasanya. Ia menyiapkan sarapan sederhana roti panggang, telur, dan susu lalu membuat bekal untuk dirinya sendiri.
Tanpa sadar, ia bergerak lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena gugup… atau karena ingin tahu apakah Reina akan bersikap berbeda. Ia tak tahu.
Saat ia berjalan ke sekolah, langkahnya terasa ringan namun canggung. Udara pagi cukup sejuk, dan keramaian jalan belum terlalu padat. Vio menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang masih berdebar tak karuan.
Begitu sampai di sekolah, lorong-lorong kelas masih kosong. Ia bahkan merasa terlalu pagi. Tapi tetap saja, kakinya melangkah cepat ke ruang kelas.
Dan di sanalah dia.
Reina.
Gadis itu sudah duduk di kursinya yang tepat di sebelah kursi Vio. Rambutnya tergerai rapi, dan ia sedang menatap buku catatan di mejanya, meski kelihatan tak benar-benar membacanya. Seakan menyadari kehadiran Vio, Reina menoleh.
Tatapan mereka bertemu.
Vio terdiam di ambang pintu. Pandangan Reina tak jauh beda campuran gugup, malu, dan senyum kecil yang berusaha ditahan.
“Pagi…” ucap Reina pelan.
“…Pagi,” balas Vio, perlahan berjalan mendekat dan duduk di tempatnya.
Sesaat, keheningan menyelimuti mereka. Suara langkah siswa lain yang masih jauh di lorong menjadi latar belakang yang samar. Vio melirik Reina, lalu kembali menunduk. Namun, Reina lah yang lebih dulu membuka suara.
“Aku juga datang terlalu pagi hari ini,” ujarnya pelan, sambil memainkan ujung pulpen di jarinya.
“Hmm… Aku juga,” kata Vio, mencoba tersenyum walau agak kaku.
“…Masih terasa aneh, ya?” tanya Reina, nadanya nyaris berbisik.
Vio mengangguk kecil. “Seperti mimpi.”
Reina tertawa pelan. Lalu menoleh, menatap Vio dengan tatapan hangat yang baru kali ini Vio benar-benar sadari.
“Aku senang… ternyata kamu,” ucap Reina jujur.
Vio menatapnya. Jantungnya masih berdebar, tapi kali ini… terasa lebih tenang. Lebih hangat. Ia tahu, hari ini bukan hanya awal dari pagi yang lebih cepat, tapi juga awal dari perubahan kecil yang mungkin perlahan akan membuka lebih banyak cerita di antara mereka.
Dan bel sekolah belum berbunyi. Tapi keduanya tahu, hari itu… sudah dimulai dengan cara yang berbeda dari biasanya.
Sunyi masih menyelimuti antara mereka berdua. Meskipun duduk hanya beberapa jengkal, Vio merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang antara dunia lamanya dan sesuatu yang baru, sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.
Reina tiba-tiba membuka suara, pelan tapi pasti. “Aku nggak akan bilang siapa pun,” ucapnya, menoleh ke arah Vio dengan senyum lembut. “Soal kamu… dan Violetta.”
Vio menatap Reina sejenak, lalu mengalihkan pandangan dengan gugup. Ia menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus merasa lega atau justru makin salah tingkah. “T-Terima kasih…” jawabnya dengan suara hampir berbisik.
Reina tertawa kecil, tapi cepat-cepat menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang kembali memerah. Vio juga menunduk, pura-pura merapikan tali ranselnya meski tidak benar-benar butuh dirapikan. Di antara mereka, udara seolah dipenuhi kabut tipis keheningan yang canggung.
Suasana itu bertahan cukup lama, sampai suara langkah kaki mulai terdengar di lorong. Satu per satu siswa memasuki kelas, membawa serta suara tawa, percakapan ringan, dan dentingan bangku yang digeser.
Namun, entah kenapa… suasana di sekitar tempat duduk Vio dan Reina tetap terasa seperti memiliki ruang terpisah. Beberapa teman melirik penasaran melihat keduanya yang tampak diam tanpa saling bicara, tapi tidak ada yang cukup berani bertanya.
Dan lalu, Reuxen masuk.
Seperti biasa, ia menyeringai santai sambil berjalan masuk dengan langkah ringan. Saat melihat Reina dan Vio duduk di tempatnya masing-masing, ia mengangkat tangan hendak menyapa seperti biasa.
“Hei—”
Namun langkahnya terhenti. Matanya memperhatikan ekspresi keduanya. Reina yang menunduk dan menggigit ujung pulpen, Vio yang menatap ke luar jendela dengan wajah kaku. Keheningan yang terlalu rapi.
Reuxen berkedip sekali, lalu menurunkan tangannya perlahan. Senyum isengnya masih ada, tapi kini bercampur dengan rasa bingung.
“…Eh, kalian kenapa?” tanyanya setengah hati.
Tidak ada yang langsung menjawab. Reina hanya berdeham pelan, sementara Vio sekilas melirik dan buru-buru tersenyum canggung.
“Gak apa-apa, kok,” jawab Vio, cepat.
Reuxen menatap mereka bergantian. Ia tampak ingin berkata sesuatu, tapi akhirnya hanya mengangguk dan menarik kursinya dengan pelan, duduk tanpa bertanya lebih lanjut. Walau begitu, matanya masih sesekali melirik penasaran, seolah menyimpan pertanyaan yang belum sempat keluar.
Dan begitulah, pagi itu kelas terasa sedikit berbeda. Tak ada yang aneh secara nyata… tapi bagi mereka bertiga, terutama dua orang yang duduk berdampingan, pagi itu meninggalkan jejak yang sulit untuk dihapus.
Bel istirahat berbunyi nyaring, menggema di seluruh penjuru sekolah seperti biasa. Suara langkah kaki para siswa segera memenuhi lorong-lorong. Beberapa berlarian menuju kantin, yang lain berjalan santai mencari tempat tenang untuk makan siang.
Tak lama setelah bel berbunyi, Tissa muncul di depan pintu kelas Vio. Dengan senyum ceria, ia melambai ke arah Vio, lalu masuk tanpa ragu. “Kak, istirahat yuk!” sapanya riang.
Vio yang baru saja menutup bukunya mengangguk pelan. Ia tersenyum, meski masih sedikit canggung karena kejadian semalam. “Yuk.”
Reina dan Reuxen yang duduk tidak jauh langsung ikut berdiri.
“Ke taman belakang aja, ya?” ucap Reina, terdengar seperti biasa. Tapi di balik suaranya, masih ada usaha halus untuk terdengar netral, tak berbeda dari hari-hari sebelumnya.
“Pas banget, aku bawa bekal juga hari ini,” tambah Reuxen sambil mengangkat kotak makan siangnya.
Mereka pun berjalan berempat melewati lorong sekolah menuju taman belakang tempat favorit mereka saat istirahat.
Di bawah rindangnya pohon, mereka duduk melingkar seperti biasa. Vio dan Reina duduk bersebelahan, meski dengan jarak sedikit lebih lebar dari biasanya. Tissa duduk di hadapan mereka, memandangi keduanya bergantian, seolah mencoba membaca sesuatu dari sorot mata mereka. Tapi ia tak berkata apa-apa, hanya tersenyum geli sendiri.
Obrolan mengalir perlahan. Tentang guru matematika yang hari ini terlihat kurang tidur, tentang rencana ujian minggu depan, dan tentang video lucu yang baru saja ditonton Reuxen semalam.
Vio sesekali mencuri pandang ke Reina yang tampak santai, meski ekspresi matanya tak sepenuhnya lepas dari kekakuan. Reina juga terlihat beberapa kali mencuri lirikan ke arah Vio, dan saat pandangan mereka bertemu, keduanya segera mengalihkan mata dengan cepat.
Namun tak satu pun dari mereka menyebutkan kejadian semalam.
Waktu terus berjalan, dan suara dari dalam gedung sekolah mulai mereda. Sinar matahari yang tadinya menggoda perlahan tertutup awan tipis. Daun-daun di atas mereka berdesir pelan diterpa angin sore.
Lalu, bel sekolah kembali berbunyi menandakan akhir hari pelajaran.
Suara nyaring itu seolah mengakhiri sandiwara kecil yang mereka mainkan sepanjang istirahat. Keempatnya terdiam sejenak, sebelum mulai berdiri satu per satu.
“Istirahat yang aneh…” gumam Reuxen pelan, setengah bercanda, setengah serius.
Tissa tertawa pelan, tapi tidak menjawab. Sementara Vio dan Reina saling bertukar pandang singkat, lalu kembali berpaling seperti tak terjadi apa-apa.
Namun dalam hati masing-masing, mereka tahu sesuatu telah berubah.