Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Kecemasan Karenin
Jam menunjukkan hampir pukul satu siang ketika ketukan lembut terdengar dari pintu kamar. Tok, tok.
Di dalam, Karenin tengah merapikan pakaian ke dalam lemari besar di pojok ruangan. Suara ketukan itu membuatnya menoleh cepat ke arah ranjang—Shanaira masih terbaring di sana, tampak tertidur dengan wajah yang lebih tenang daripada sebelumnya.
Karenin segera berjalan ke pintu dan membukanya perlahan. Seorang staf hotel berdiri rapi di luar, mendorong troli makanan berisi beberapa hidangan.
“Selamat siang, Pak. Kami perhatikan Bapak dan Ibu belum keluar kamar untuk makan siang, jadi kami antarkan langsung makanannya sesuai paket bulan madu,” ucapnya sopan dengan senyum ramah.
“Oh, terima kasih. Silakan masuk,” balas Karenin.
Pelayan itu mendorong troli masuk dan berhenti di dekat meja makan bundar yang menghadap jendela. Di atas troli tertata rapi berbagai hidangan seafood khas pesisir: udang panggang saus mentega, sup krim kerang hangat, ikan bakar rempah, serta salad segar. Dua gelas jus jeruk dan sepiring buah dingin turut melengkapi sajian mewah itu.
“Jika ada keperluan tambahan, silakan tekan 0 di telepon kamar,” ucap pelayan itu sebelum pergi.
Begitu pintu tertutup kembali, Karenin menoleh ke arah ranjang dan mendekat pelan. Shanaira masih tampak terlelap, tubuhnya meringkuk sedikit dengan satu tangan menutupi perut bawahnya, seolah secara naluriah ingin melindungi kehidupan kecil di dalam sana.
Karenin menatapnya sejenak, lalu berlutut di sisi ranjang. Dengan suara pelan dan lembut, ia berkata, “Shan… makan siangnya udah datang.”
Shanaira mengerjapkan mata, lalu menguap pelan sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangan. “Sudah siang, ya?”
“Iya. Kamu masih mual atau pusing?” tanyanya dengan nada khawatir.
“Enggak. Cuma… masih agak lemas,” jawab Shanaira sambil perlahan duduk, menopang tubuhnya dengan tangan.
“Kalau kamu nggak sanggup makan banyak, setidaknya minum supnya dulu,” ucap Karenin sambil membantu menopang punggungnya.
Shanaira mengangguk pelan. Ia merasa lebih baik sekarang, terlebih setelah tidur sebentar dan mendengar suara lembut Karenin yang terasa menenangkan.
Karenin memapahnya perlahan ke meja makan, mendudukkannya dengan hati-hati. Ia menyodorkan segelas air putih ke tangan Shanaira.
Shanaira tersenyum tipis, matanya menatap meja makan yang dipenuhi hidangan laut favoritnya. “Kamu yang pesan semua ini?”
“Dari hotel. Katanya paket bulan madu,” jawab Karenin sambil tersenyum tipis.
Pipi Shanaira sedikit memerah. Ia tahu kenapa—di dokumen reservasi yang ia isi, status Karenin memang ia cantumkan sebagai ‘suami’. Bukannya menutupi hubungan mereka yang sebenarnya, dia tanpa sadar menuliskan kenyataannya. Mungkin dalam hatinya dia telah menerima pria itu sebagai suaminya.
Shanaira mengambil sendok dan menciduk sup krim kerang hangat yang mengepul lembut di hadapannya. Awalnya, aroma creamy bercampur rempah lembut itu terasa menggoda. Tapi saat sendok itu mendekat ke mulutnya, gelombang rasa tak nyaman langsung menyeruak dari perutnya.
Aroma kerang yang masih menyisakan sedikit bau amis tiba-tiba membuat mualnya kembali. Perutnya terasa bergejolak, tenggorokan menegang.
“Oh tidak…”
Tanpa sempat berkata apa-apa lagi, Shanaira buru-buru meletakkan sendoknya dan bangkit dengan gerakan cepat. Tangannya menutupi mulut, dan langkahnya terhuyung ringan saat ia bergegas ke arah kamar mandi.
“Shanaira!” seru Karenin cemas, langsung berdiri dan hampir menyusul, tapi ia menahan diri di depan pintu kamar mandi yang kini tertutup.
Dari balik pintu, terdengar suara air mengalir dan helaan napas berat.
Karenin mengepalkan tangannya, menahan kegelisahan. Ia tak tahu pasti harus apa selain menunggu. Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka perlahan.
Shanaira keluar dengan wajah yang agak pucat, keringat tipis membasahi pelipisnya, dan matanya sedikit sayu.
“Aku… aku nggak apa-apa,” ujarnya buru-buru, mungkin menyadari ekspresi khawatir di wajah Karenin.
“Kamu yakin?” Karenin langsung mendekat, menyentuh lengan Shanaira dengan lembut. “Apa perlu kita ke rumah sakit sekarang? Atau aku telepon resepsionis minta panggil dokter?”
Shanaira menggeleng pelan. “Enggak, aku cuma... perutku memang agak sensitif akhir-akhir ini. Bau amisnya tadi nyengat banget.”
Karenin masih tampak ragu. “Kamu kelihatan lemas banget.”
“Aku cuma butuh istirahat sedikit. Lagian tadi juga udah sempat tidur kan,” ucapnya, mencoba tersenyum meski wajahnya masih sedikit pucat.
Karenin membantunya kembali ke tempat duduk dan memberinya segelas air putih. “Kamu nggak harus makan yang seafood. Aku bisa pesenin yang lain.”
Shanaira menatap Karenin, matanya penuh rasa terima kasih. “Nanti aja. Aku ingin diam dulu, ya?”
Karenin mengangguk, lalu dengan hati-hati membantunya berdiri dan mengarahkannya kembali ke ranjang. Saat Shanaira sudah bersandar nyaman, Karenin duduk di sisi ranjang, masih mengawasinya dengan pandangan penuh perhatian.
“Shanaira,” panggilnya pelan. “Kamu tahu aku nggak akan maksa kalau memang kamu yakin nggak apa-apa. Tapi dari tadi aku lihat kamu udah dua kali tidur, dan tetap aja kelihatan nggak enak badan. Waktu di mobil tadi kamu mual dan pusing, sekarang malah sampai muntah. Aku nggak bisa diam saja.”
Shanaira membuka mata, menatap wajah Karenin yang kini duduk di tepian ranjang, kedua tangannya saling menggenggam dengan gelisah.
“Aku cuma…” Shanaira menarik napas pelan. “Mungkin karena perjalanannya jauh, atau karena bau seafood tadi.”
“Tapi tetap saja. Sebelumnya kamu juga pusing dan mual, namun setelah beberapa saat kamu kembali normal. Tapi sekarang kamu kelihatan sangat lemah.” Karenin menunduk, suaranya mengecil, “Aku takut ada yang nggak beres.”
Shanaira terdiam. Hatinya terenyuh melihat raut wajah pria di depannya itu—seseorang yang dulu nyaris menjadi asing, tapi kini menunjukkan perhatian yang begitu tulus. Selama hampir sebulan bersama ia tahu Karenin bukan orang yang gampang panik, jadi jika ia sampai seperti ini, itu berarti kekhawatirannya memang sungguh-sungguh.
“Oke,” gumam Shanaira akhirnya.
Karenin mendongak cepat, menatapnya. “Oke?”
“Aku ikut kamu. Kita ke rumah sakit sekarang aja. Tapi setelah itu, kita balik ke sini dan aku bisa istirahat lagi.” Shanaira menyentuh tangan Karenin dengan lembut, memberi kepastian.
Wajah Karenin langsung berubah lega, seolah beban berat terangkat dari dadanya. “Makasih, Shan. Aku janji nggak akan lama-lama. Kita cuma pastikan semuanya aman, terus langsung pulang ke kamar.”
Shanaira mengangguk pelan. “Tapi kamu yang jelasin ke pihak hotel ya, kenapa kita keluar sebentar.”
Karenin tersenyum kecil, lalu berdiri, membantunya bangkit. “Tentu saja. Kamu cuma fokus jaga dirimu sama bayi kita.”
Dengan hati-hati, ia mengambil jaket tipis Shanaira dan memakaikannya. Tak lama kemudian, ia menghubungi staf hotel untuk meminta bantuan kendaraan menuju rumah sakit terdekat. Sambil berjalan menuju lift, Karenin terus berada di sisi Shanaira, memegangi lengannya agar tidak kehilangan keseimbangan.
Sepanjang perjalanan turun, hatinya berdoa dalam diam—semoga semuanya baik-baik saja. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada seseorang yang tak ingin ia kehilangan… bahkan sedetik pun.