cerita ini hanya fiktif belaka dan hanya karangan dari Author, apabila ada.kesamaan nama.dan tempat Author minta maaf. Alkisah ada seorang pemuda bernama naga lahir dari seorang ayah bernama Robert dan Ibu bernama Julia, Robert sendiri adalah seorang pengusaha suskses yang mempunyai berbagai bisnis yang berada di beberapa negara, baik Asia maupun Eropa. Dengan status sebagai anak orang kaya dan sekaligus pewaris tunggal Naga adalah anak yang sombong dan angkuh, jika Ia menginginkan sesuatu maka sesuatu itu harus bisa menjadi miliknya apapun cara nya. namun lama kelamaan kesombongan dan keangkuhan Naga mulai luntur karena satu sosok wanita yang mempunyai paras yang cantik bernama Jelita.Jelita sendiri adalah anak sulung dari 2 bersaudara pasangan dari seorang petani bernama pak Karyo dan bu ambar namun karena tekad dan keinginannya untuk membanggakan keluarga ini lah yang membuat Naga jatuh cinta kepada Jelita dan perlahan-lahan berubah menjadi orang yang jauh lebih baik lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira Sakti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NGEDATE PERTAMA SANG CRAZY RICH
Akhir pekan tiba, dan Naga sudah bersiap-siap dengan perasaan gugup bercampur antusias. Ia memilih pakaian dengan cermat, berusaha menampilkan sisi dirinya yang lebih santai dan bersahaja. Kemeja batik lengan pendek dengan motif songket yang halus dipadukan dengan celana chino berwarna krem, serta sepatu loafer kulit yang nyaman. Ia ingin terlihat menarik, namun tetap menunjukkan bahwa ia menghargai budaya lokal.
Ketika Naga tiba di Benteng Kuto Besak, jantungnya berdebar kencang. Ia melihat Jelita sudah menunggunya di dekat gerbang masuk. Gadis itu tampak anggun dalam balutan gaun jumputan berwarna terracotta yang cerah, dengan aksen manik-manik yang berkilauan. Rambutnya ditata sederhana, namun tetap memancarkan aura kecantikan alami yang selalu membuat Naga terpesona.
"Hai, Naga," sapa Jelita dengan senyum tipis yang membuat lesung pipitnya terlihat manis.
"Hai, Jelita," balas Naga, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Kau terlihat sangat cantik. Gaun itu sangat cocok untukmu."
Jelita tersipu malu. "Terima kasih," jawabnya lirih. "Kau juga terlihat rapi. Aku suka batiknya."
Naga merasa lega mendengar pujian Jelita. Ia berharap penampilannya ini bisa memberikan kesan yang baik padanya. "Jadi, apa yang ingin kau lihat di sini?" tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian.
"Aku belum tahu," jawab Jelita sambil mengangkat bahu. "Aku serahkan padamu saja. Aku percaya kau sudah menyiapkan sesuatu yang menarik."
Naga tersenyum penuh percaya diri. Ia memang sudah merencanakan semuanya dengan matang. Ia telah mempelajari seluk-beluk festival seni ini, mulai dari jadwal pertunjukan, daftar pameran, hingga sejarah Benteng Kuto Besak itu sendiri. Ia ingin menunjukkan pada Jelita bahwa ia tidak hanya sekadar tertarik pada seni dan budaya Palembang, tetapi juga menghargai dan memahaminya.
Mereka berjalan memasuki area festival yang ramai dengan pengunjung. Naga dengan sigap memandu Jelita melewati kerumunan orang, menjelaskan setiap karya seni yang mereka lihat dengan antusias. Ia menceritakan sejarah lukisan-lukisan kuno, makna simbol-simbol pada kain songket, dan filosofi di balik pembuatan patung-patung kayu. Jelita mendengarkan dengan seksama, sesekali mengajukan pertanyaan yang menunjukkan minatnya.
Naga merasa senang karena Jelita tampak tertarik dengan penjelasannya. Ia melihat ada kilatan kekaguman di mata gadis itu, dan itu membuatnya semakin bersemangat. Ia merasa seperti sedang berbagi dunianya dengan Jelita, membuka hatinya untuknya.
Setelah puas berkeliling di area pameran, mereka menonton pertunjukan tari Gending Sriwijaya di panggung utama. Naga menjelaskan setiap gerakan dan makna dari tarian tersebut, menceritakan kisah tentang kejayaan Kerajaan Sriwijaya di masa lalu. Jelita tampak terpesona dengan keindahan gerakan para penari dan alunan musik yang mengiringinya.
Saat pertunjukan selesai, Naga mengajak Jelita untuk mencicipi kuliner khas Palembang di area makanan. Mereka mencoba berbagai macam hidangan, mulai dari pempek dengan berbagai varian, model, tekwan, hingga es kacang merah yang segar. Naga menceritakan asal-usul setiap hidangan, bahan-bahan yang digunakan, dan cara membuatnya. Jelita tertawa mendengar cerita-cerita lucu tentang bagaimana pempek pertama kali diciptakan.
Saat mereka sedang menikmati es kacang merah, tiba-tiba langit menjadi gelap dan hujan mulai turun dengan deras. Para pengunjung berlarian mencari tempat berteduh, suasana menjadi riuh dan kacau. Naga dengan sigap melepaskan jaket batiknya dan memakaikannya pada Jelita.
"Pakai ini, nanti kau kedinginan," kata Naga dengan nada khawatir, matanya menatap Jelita dengan penuh perhatian.
Jelita tertegun sejenak. Ia tidak menyangka Naga akan bersikap begitu perhatian dan protektif padanya. Ia merasa hatinya menghangat, seolah ada api kecil yang menyala di dalam dadanya.
"Terima kasih, Naga," kata Jelita dengan suara lembut, matanya menatap balik mata Naga dengan tatapan yang sulit diartikan.
Saat mereka berdesakan di bawah tenda pedagang, aroma pempek yang gurih dan es kacang merah yang manis bercampur dengan aroma tanah basah setelah hujan, menciptakan kombinasi yang unik dan menggugah selera. Naga dan Jelita saling bertukar pandang, tersenyum kecil menyadari situasi yang tidak terduga ini.
"Sepertinya kita terjebak di sini untuk sementara waktu," kata Jelita, mencoba mencairkan suasana.
"Tidak masalah," balas Naga, matanya berbinar. "Aku tidak keberatan terjebak bersamamu di sini."
Jelita tertawa pelan, pipinya merona merah. "Kau memang selalu bisa membuatku tersenyum," ujarnya lirih.
Naga merasa jantungnya berdebar kencang mendengar ucapan Jelita. Ia memberanikan diri untuk menatap mata gadis itu dalam-dalam, mencoba menyampaikan perasaannya yang sebenarnya. "Aku senang bisa membuatmu bahagia, Jelita," katanya dengan suara yang nyaris berbisik. "Kau adalah alasan aku ingin menjadi orang yang lebih baik."
Jelita terdiam, terkejut mendengar pengakuan Naga yang tiba-tiba. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa terharu dengan ketulusan Naga, namun juga takut untuk mempercayai perasaannya sendiri.
Untuk menghindari tatapan intens Naga, Jelita mengalihkan pandangannya ke arah luar tenda, mengamati rintik hujan yang masih membasahi jalanan. "Hujan ini mengingatkanku pada masa kecilku," ujarnya dengan nada melankolis. "Dulu, aku sering bermain hujan-hujanan bersama teman-temanku di kampung."
Naga mengikuti arah pandang Jelita, mencoba memahami perasaannya. "Aku tidak pernah bermain hujan-hujanan saat kecil," ujarnya jujur. "Aku selalu dilarang keluar rumah oleh orang tuaku. Mereka takut aku sakit."
"Sayang sekali," balas Jelita dengan nada prihatin. "Kau melewatkan banyak kesenangan."
"Mungkin," kata Naga sambil tersenyum tipis. "Tapi, aku tidak menyesalinya. Karena sekarang, aku bisa merasakan kebahagiaan yang lebih besar bersamamu."
Jelita kembali menatap Naga, matanya berkaca-kaca. Ia merasa Naga benar-benar telah berubah. Ia bukan lagi pria sombong dan dingin yang dulu ia kenal. Ia telah menjadi pria yang lembut, perhatian, dan penuh kasih sayang.
Hujan mulai reda, dan matahari mulai menampakkan diri di antara awan-awan. Naga dan Jelita keluar dari tenda dan berjalan menuju mobil Naga yang terparkir tidak jauh dari sana. Mereka berjalan bergandengan tangan, seolah tanpa sadar. Jelita tidak menolak, ia merasa nyaman berada di dekat Naga. Ia merasa seperti sedang berjalan dengan seseorang yang ia cintai.
Di dalam mobil, suasana terasa hening namun penuh dengan kehangatan. Naga menyalakan mesin mobil dan melaju perlahan meninggalkan Benteng Kuto Besak. Ia tahu, perjalanannya untuk mendapatkan hati Jelita masih panjang dan penuh dengan tantangan. Namun, ia tidak akan menyerah. Ia akan terus berjuang, karena ia percaya bahwa cinta sejati akan selalu menemukan jalannya.