Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perihal Fiksi - 29
...Dua insan yang berpisah karena kematian, adalah mereka yang setia terhadap pasangan. Berbeda dengan orang yang berpisah dengan keadaan. ...
***
Menghabiskan waktu dengan Ibu memang menyenangkan. Apalagi merasakan napasnya yang terasa nyaman.
Ibunya duduk menyender di kepala ranjang, sedangkan dirinya mengambil posisi tiduran sambil memeluk Ibunya dari samping.
"Kamu betah 'kan tinggal sama Dikta Nanta? Mereka gak jahil, 'kan?" Tanya Sang Ibu sembari mengusap puncak kepalanya.
"Betah gak betah sih, Mah. Kadang mereka jahil, kadang juga waras. Malah nih, ya. Rai pernah dianter ke sekolah pake troli belanja. Mamah bayangin coba! Rai malu, tau!"
Saat itu Ibu hanya tertawa ringan. Ia tidak heran dengan kelakuan keponakannya yang selalu diluar nalar. Tapi disatu sisi, ia juga khawatir membiarkan putrinya tinggal bersama mereka berdua. Mereka masih belum dewasa, pemikirannya masih setara dengan usia remaja. Labil.
"Mereka kayak gitu biar hidupnya berwarna katanya."
"Berwarna darimananya? Yang ada warnanya jadi acak-acakan."
Setelahnya tawa mereka terdengar bersamaan. Melepas luka yang kemarin tercipta. Menghapus duka yang sering menyapa.
"Mamah gak akan ikut Rai ke Jakarta?" Tanya Rai setelah tawanya reda.
"Kayaknya Mamah bakal disini aja. Tapi nanti waktu kelulusan kamu, Mamah bakalan kesana."
Rai mendongak untuk melihat wajah Ibu yang terlihat segar dari biasanya. Matanya melihat bagaimana senyum Ibu melengkung dengan sempurna. Membuat hatinya nyaman seketika ketika melihatnya.
Senyum Ibu mirip dengan Kak Novi-Kakak perempuannya yang sudah tiada.
"Janji?"
Ibu melunturkan senyumnya. Membuat Rai khawatir karena Ibu tiba-tiba mengubah mimik wajahnya.
Ibu ragu untuk berjanji. Ia takut tidak bisa menepati. Karena ia tidak tau hari esok akan seperti apa. Apakah dirinya masih ada, atau sudah tiada.
"Mah? Mamah kenapa?"
Perlahan tapi pasti, senyum Ibu kembali mengembang lagi. "Gak papa."
Rai ikut tersenyum ditempatnya. Dan tiba-tiba pikirannya teringat kepada Sang Ayah sebagai seorang lelaki di keluarga kecilnya.
Walau beliau sudah tidak ada disisinya, tapi ia tidak bisa melupakannya. Begitupun dengan Kakak perempuannya. Hatinya tak akan pernah bisa melupakan mereka.
"Mah, dulu Ayah ngungkapin perasaannya ke Mamah kayak gimana? Rai kepo, deh."
Ibu berhenti mengusap kepalanya sejenak. "Kamu lagi kangen Ayah?"
"Mungkin? Tapi Rai cuman pengen denger masa muda Mamah sama Ayah."
Ibu kembali mengusap kepalanya, dan mulai bercerita. "Ayahmu itu dulu orangnya dingin banget. Kalau jalan tuh matanya selalu liat ke depan, tubuhnya tegap, terus gak ada senyum yang terpancar. Karena dinginnya itu lah, Mamah sedikit penasaran sama Ayah. Bahkan yang pertama suka itu Mamah lho, Rai. Setiap hari Mamah usik Ayah di sekolah, Ayahmu itu sampe kesel dan nganggep Mamah perempuan gila."
Ibu berhenti sejenak, mengambil napas dalam untuk kembali meneruskan. "Mamah mulai ngejauh, tuh. Tapi gak tau kenapa, Ayahmu tiba-tiba ngedatengin Mamah dengan alasan butuh temen cerita. Saat itulah, kita mulai deket. Kita jadi saling tau watak masing-masing. Sampai akhirnya waktu kelulusan, Ayahmu nyatain perasaannya."
Rai mulai duduk dengan tegak setelah Ibunya selesai bercerita. Lalu ia melihat wajah Sang Ibu yang kini terlihat berbinar karena membicarakan teman hidupnya kemarin.
"Akhirnya cinta kalian abadi sampai maut memisahkan."
Ibu tersenyum dan mengangguk pelan membenarkan.
"Rai juga pengen kayak gitu. Pisah karena maut yang memisahkan, bukan karena keadaan."
"Emang udah ada calonnya?"
Kekehan kecil terdengar setelahnya. "Belum."
"Kamu masih kecil. Jangan dulu mikirin cowok, nanti juga kalau udah waktunya pasti dateng tuh temen hidup kamu."
Teman hidup, ya? Apa Rey itu teman hidupnya?
Aih, kenapa malah Rey?
"Iya, Rai mau fokus belajar dulu. Kayak pesan Ayah waktu itu."
Ibu mengangguk. "Kita tidur sekarang, ya? Mamah udah ngantuk. Rai mau tidur sama Mamah atau mau sama Renata di kamar sebelah?"
"Pake tanya. Ya sama Mamah, lah!"
Mereka terkekeh bersama, lalu mulai memejamkan matanya dengan posisi Ibu memeluk Rai.
Rasanya, hangat.
***
Aroma nasi goreng menyapa penciumannya, juga sinar matahari yang menyilaukan matanya dari arah jendela.
Ia meraba ke arah samping ranjang, dan hanya menemukan kekosongan. Sepertinya Sang Ibu sudah bangun dan sedang berkumpul diluar.
Ia membersihkan ujung matanya dan mengenakan kacamata yang ia simpan di samping ranjang.
Setelah nyawanya terkumpul dengan sempurna ke seluruh badan, barulah ia mulai beranjak keluar kamar.
"Wilujeng enjing mojang Bandung nu nembe bangun." Sapa Guntur yang sudah duduk manis di meja makan.
"Iya, pagi." Balasnya sembari menarik kursi di samping Adhisty, sehingga menimbulkan derit dari kursi yang ia tarik itu.
"Kamu pasti belum mandi!" Datang-datang Dikta langsung berteriak seperti itu padanya.
Dengan senyum lebar Rai menjawab. "Oh, betul sekali." Lalu Rai menghempaskan rambut panjangnya yang tergerai ke belakang.
"Nih, sarapan dulu. Udah itu mandi." Ucap Ananta sembari menyimpan satu poris nasi goreng untuknya.
Rai menunggu yang lainnya untuk sarapan bersama. Ananta masih sibuk membagikan porsi untuk semua keluarga.
Suara obrolan mendominasi keadaan. Dan Rai ingin ikut ke dalam obrolan. Mumpung ada topik yang ingin ia tanyakan.
"Oleh-oleh Bandung cuman peuyeum aja ya, Ti?"
Adhisty yang sedang memainkan ponselnya mulai menghentikan itu. Ia mulai fokus untuk mengobrol dengan Rai sekarang. Terlihat dari bagaimana Adhisty menyimpan handphonenya di saku kemeja yang sedang ia pakai.
"Identiknya sih iya. Tapi kalau mau yang lain, kamu bisa beli seblak, bakso aci instan? Udah banyak itu di toko oleh-oleh."
Rai mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.
"Mau beli oleh-oleh buat siapa? Rey, ya?" Nada bertanya Adhisty seperti menggoda. Dan memang membuat Rai sedikit merona.
"Bu-bukan buat Rey aja. Ada buat Angkasa sama Lengkara juga."
Adhisty tertawa ringan ketika melihat wajah Rai yang memerah. "Mau dianter sama aku? Atau mau sama Bumi?"
Sepertinya dengan Adhisty saja. Karena kemarin Bumi bilang akan ada acara hari ini, dan bisa berkunjung ke rumahnya nanti sore.
"Sama Titi aja, we."
"Oke!"
Obrolan mereka berakhir ketika Ananta berteriak jika sarapan sudah bisa dimulai sekarang. Semua sudah mendapatkan porisnya masing-masing.
"Berdo'a dimulai!" Teriak Om Edy memimpin acara sarapan.
Ketika keadaan tengah hening karena semua sedang memanjatkan do'a sebelum makan, handphone Rai tiba-tiba berdering dari arah kamar. Menggema ke seluruh ruangan karena keadaan tengah sunyi sekarang.
"Berdo'a tidak akan pernah selesai. Selamat makan."
Semua mulai menyantap sarapannya, tapi tidak dengan Rai yang berlari ke arah kamar untuk mengangkat panggilan.
Panggilan video dari Rey membuat jantungnya langsung berdegup kencang.
Semenjak pertanyaan kemarin, Rai merasa sedikit malu ketika mengeja namanya.
Pelan tapi pasti, Rai mengangkat panggilan video itu.
Bukan Rey yang ia lihat. Melainkan Angkasa juga Lengkara yang entah sedang berada dimana bersama Rey di sebrang sana.
"Rai! Kapan pulang?!" Tanya Angkasa membuka obrolan.
"Besok, Sa."
Rai mulai mengambil tempat dengan duduk di ujung ranjang.
"Yah, kirain hari ini. Soalnya kita sekarang lagi jalan-jalan, nih! Kalau ada lo pasti seru."
"Wah! Jalan-jalan kemana?"
Lengkara yang memegang handphone Rey memperlihatkan dimana mereka berada sekarang.
"Monas! Ayok, Rai. Pulang sekarang, ada yang kangen sama lo." Lengkara mengarahkan kameranya ke arah Rey yang kini melambaikan tangannya dengan senyum lebar.
Di sebrang sana Lengkara berteriak heboh ketika Rey tersenyum, dan mendapat ketokan pelan di kepalanya oleh Angkasa yang merasa kebisingan.
Rai yang melihat tingkah dua orang itu terkekeh pelan.
"Pulang besok?" Ketika suara Rey kembali terdengar, jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang. Akibat jawaban Rey kemarin membuatnya melayang.
"Iya."
Lagi, Rey tersenyum ke arahnya di kamera "Gue tunggu."
Astaga, kenapa dengan jantungnya sekarang? Apa benar ia mulai menyukai Rey? Jika iya, lantas ia harus melakukan apa?
***
^^^28-Mei-2025^^^