Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergian Gladys
Flashback.
Gladys terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Sebelumnya, ia sempat merasakan pusing yang amat hebat, disusul mimisan yang cukup deras. Saat ia membuka mata, pemandangan pertama yang ia lihat adalah langit-langit putih khas ruang perawatan.
Ia mengerjapkan mata, berusaha menyadari di mana dirinya berada. Di samping ranjang, Arga duduk setia menunggu. Wajahnya penuh kekhawatiran. Begitu melihat Gladys tersadar, ia segera mengusap lembut kepala istrinya dan mengecup keningnya dengan penuh cinta.
Namun, sorot mata Arga sulit dibaca, seakan menyiratkan dua kabar yang saling bertolak belakang.
"Sayang..." lirih Gladys. "Aku kenapa? Ini rumah sakit, ya?"
Arga tidak langsung menjawab. Butuh beberapa detik baginya untuk menemukan kekuatan berkata. "Kamu pingsan di rumah."
"Terus aku sudah diperiksa? Apa penyebabnya?"
Arga menarik napas panjang, "Ada kabar baik, dan ada kabar yang kurang baik."
Gladys mencoba tersenyum kecil. Meskipun hatinya tersentak. "Kalau gitu, kasih tahu padaku kabar yang kurang baik dulu. Lalu setelah itu kamu ceritakan kabar baiknya." Pinta Gladys. Dia siap mendengarkan kabar yang kurang sedap dulu, berharap nanti kemuramannya akan hilang setelah mendengar kabar baik. Bukan sebaliknya, dikasih senang dulu lalu dipecahkan oleh yang kurang baik itu. Entah itu prinsip dari mana.
"Di otak kamu ditemukan benjolan. Kita belum tahu itu apa, karena masih butuh pemeriksaan lanjutan. Tapi aku tidak akan tinggal diam. Aku akan bawa kamu ke luar negeri, cari dokter terbaik sedunia, lakukan apa pun agar kamu bisa sembuh. Kamu pasti bisa sembuh, sayang. Jangan takut, ya?"
Gladys hanya mengangguk pelan. Tidak ada tangis, tidak ada kepanikan. "Aku percaya kamu akan lakukan yang terbaik buat aku, sayang. Dan aku juga akan berusaha sekuat tenaga untuk sembuh."
Arga tersenyum haru, hatinya luluh oleh kekuatan wanita yang ia cintai itu.
"Lalu kabar baiknya apa?"
Arga menatapnya dengan senyum lebar. "Kamu sedang hamil. Usia kandunganmu dua bulan. Memangnya selama ini kamu tidak merasakan apa-apa?
Mata Gladys membelalak. Tangannya refleks menutup mulut. "Aku hamil? Ya ampun... kenapa aku bisa nggak sadar, ya? Maaf, sayang. Akhir-akhir ini aku sering lupa. Mungkin aku nggak sadar kalau telat haid."
"Tidak apa-apa, yang penting jangan sampai kamu tidak ingat sama aku." Arga memejamkan mata. Ada makna yang tersirat dalam kalimat Arga, seperti memberi tahu bahwa Gladys harus menyisihkan ruang ingatannya untuk Arga. Jika tidak dengan otaknya, maka ingatlah Arga dalam bentuk rasa yang terpendam di hati.
Sementara itu Gladys terbuai dengan rasa senang akan kehamilannya.
Disitulah, untuk terakhir kalinya, Gladys menulis diary untuk Amira sebelum ia pergi diam-diam ke luar negeri. Dalam catatan itu, ia memberi kabar bahwa dirinya tengah mengandung. Ia bahkan sudah menyiapkan dua nama untuk calon bayinya. Hanya itu saja. Gladys tidak menyebutkan kalau dia akan ke luar negeri demi pengobatan. Tulisan itu baru sempat dibaca Amira di masa yang akan datang.
Di negeri asing tempat mereka menetap sementara, kehamilan Gladys terus berkembang dengan sehat. Usaha Arga membawa hasil. Gejala sakit yang dialami Gladys sudah jarang ia rasakan. Mereka tinggal menunggu waktu, karena operasi besar hanya bisa dilakukan setelah Gladys melahirkan.
Meskipun begitu, ada yang berbeda dari Gladys. Ia tidak seperti biasanya. Sering melamun, pandangannya kosong. Setiap kali Arga bertanya kamu kenapa, jawabannya selalu, nggak apa-apa.
Mungkin saja ia merasa kesepian, jauh dari tanah kelahiran. Sesekali ia menyebut nama Amira, mengingat masa-masa sederhana saat mereka mengaji bersama ibu-ibu dan wanita muda di lingkungan rumah Amira. Ia bilang, ia rindu suasana itu.
Arga pun memeluk istrinya dan berjanji, begitu proses persalinan dan operasi selesai, mereka akan segera pulang ke tanah air. Mata Gladys berbinar mendengarnya, meski sorot wajahnya tetap sayu.
Hingga tibalah saatnya, kontraksi datang, tepat ketika usia kandungan memasuki bulan kesembilan. Tanpa komplikasi, Gladys melahirkan secara normal. Ia bahagia bisa melewati perjuangan itu dengan kekuatan penuh. Seorang bayi laki-laki mungil lahir ke dunia yang diberi nama Arkha Pandya Winata. Bayi yang tumbuh sehat, meski bersemayam di rahim seorang ibu yang sedang bertarung dengan sakit.
Hari-hari pertama terasa indah. Gladys, Arga, dan Arkha bercengkerama dalam bahagia. Mencicipi manisnya menjadi keluarga, walau hanya sejenak.
Hingga suatu pagi yang gerimis, mendung benar-benar datang. Di tengah suasana tenang, kesadaran Gladys menurun tiba-tiba. Padahal, hasil pemantauan tim medis menunjukkan semua dalam kondisi stabil. Tapi begitulah takdir. Ia tidak menunggu tanda-tanda buruk untuk datang. Ketika waktu seseorang di dunia telah sampai diambang batas selesai, maka ia akan pergi, tidak peduli seberapa keras kita berusaha menahannya.
Di tengah masa kritis itu, Gladys sempat tersadar. Sekilas saja, namun cukup untuk memberi secercah harapan pada Arga yang sudah dilanda kepanikan. Tapi kesadaran itu bukan tanda bahwa Gladys akan sembuh, melainkan moment terminal lucidity, kejernihan sesaat sebelum ajal menjemput.
Dalam kondisi lemah, Gladys membuka mata perlahan dan meminta seteguk air. "Haus... Mas, aku haus..."
Arga buru-buru membantunya minum. Setelah itu, dengan napas yang mulai tersengal, Gladys menggenggam tangan Arga erat-erat.
"Mas...Aku mau pergi... Udah ada yang jemput..."
Arga menahan napas, tubuhnya gemetar. "Mau ke mana, Sayang? Kamu tidak akan pergi dari ku! tidak sekarang...!"
Dengan sisa tenaganya, Gladys memaksakan diri berbicara. "Mas Arga... tolong cari Kak Amira ya. Aku... aku cuma percaya dia. Aku tenang kalau Arkha dipegang Kak Amira..."
Ia terbatuk pelan, suaranya kian lemah. "Dan aku...aku rela Kak Amira jadi ibunya Arkha."
Tangis Arga pecah, tapi Gladys tidak mampu lagi berkata. Napasnya terputus-putus, suaranya tidak bisa dikendalikan. Tim medis langsung bergerak cepat, namun suasana berubah jadi kacau.
Alih-alih tenang, Arga justru kalap. Ia mengamuk, tidak terima dengan kenyataan yang datang begitu cepat. Ia menjerit, menerjang peralatan, membentak siapa pun yang mencoba menenangkan. Hatinya tercerai berai, tubuhnya kehilangan kendali, seperti orang kesetanan yang kehilangan separuh jiwanya.
Sementara itu, Gladys berada di antara batas sadar dan tidak, antara dunia yang fana dan yang kekal. Tidak lama ayahnya Gladys datang, menuntun putrinya pergi dengan kalimat syahadat. Lalu... Gladys benar-benar menutup mata untuk selamanya.
Arga tak sadarkan diri.
Di sisi lain, Valerie menggendong si bayi yang baru saja di tinggal ibunya dalam pelukan tangis.
.
.
Bersambung.
Sehingga ia tahu, mana yang tulus mana yang modus
#apasih