NovelToon NovelToon
Hanasta

Hanasta

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Romantis / Psikopat itu cintaku / Mafia
Popularitas:12
Nilai: 5
Nama Author: Elara21

Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.

sanggupkah ia lepas dari suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hanasta 18

Hana duduk bersandar di pintu, tubuhnya gemetar.

Perasaannya sejak tadi seperti ada benang tak terlihat yang mengikat dadanya—

menariknya kuat ke arah yang sama:

James dalam bahaya.

Ia tidak tahu apa yang terjadi.

Ia tidak tahu di mana James.

Tapi ia tahu sesuatu buruk sedang mengincar.

Dan firasat itu begitu kuat…

sampai napasnya terputus-putus.

“Aku tidak bisa diam…”

bisiknya, kedua tangan meremas gaunnya.

“James… kau harus selamat…”

Ia mencoba berdiri—kakinya lemas—

namun tekadnya lebih kuat dari rasa takut yang menelan tubuhnya.

Saat ia membuka pintu untuk melangkah keluar—

Klik.

Pintu dibuka dari luar.

Hana terlonjak.

Dan itu adalah Soni.

Ia berdiri di sana, tampak sangat tenang, terlalu tenang—

menatap Hana yang baru saja ingin melarikan diri.

Senyum tipis muncul di sudut bibirnya.

“Ke mana kau mau pergi… Hana?”

Hana mematung.

Lututnya tiba-tiba tak kuat menopang.

Soni melangkah masuk perlahan, menutup pintu di belakang mereka.

Ia menatap setiap detail tubuh Hana—

bahu yang gemetar, warna wajah yang pucat, mata merah.

“Sepertinya…”

Soni mendekat, menyentuh rambut Hana pelan,

“…kau sedang gelisah.”

Hana menunduk tajam.

“Saya… saya hanya ingin… melihat udara luar…”

“Kau berbohong.”

Soni memotong cepat.

Tangannya mencengkeram dagu Hana dan mengangkat wajahnya.

Tidak kasar—

tapi tidak memberi ruang untuk melawan.

Wajah Hana memucat.

“Aku sudah dengar,”

kata Soni pelan namun tajam,

“kau memikirkan James.”

Hana membeku.

“Aku dengar semuanya.

Setiap kata.”

Napasku—

tolong jangan…

Soni menundukkan wajah, menatap mata Hana lekat-lekat.

“Kenapa kau menangis karena dia?”

bisiknya pelan namun menggigit.

“Kenapa jantungmu bergetar hanya karena memikirkan dia…

dan bukan aku?”

Hana tidak bisa menjawab.

Lidahnya kelu.

Soni menatapnya lama…

terlalu lama…

sampai hawa di ruangan berubah mencekam.

“Kau takut sesuatu terjadi pada James.”

Itu bukan pertanyaan.

Itu pernyataan.

Hana menggigit bibir.

Air matanya jatuh.

“Apa… apa salah kalau saya… saya tidak ingin dia terluka…?”

tanyanya lirih.

Soni tertawa pelan—

tawa yang penuh bahaya.

“Tidak salah,” katanya mendekat,

“tapi aneh.”

Hana menelan ludah, menahan air mata.

“Apa yang membuatmu berpikir…”

Soni memiringkan kepala, mendekatkan wajahnya,

“…kau punya hak untuk takut untuknya?”

Hana menutup mata, menahan napas.

“Saya… saya hanya tidak ingin ia terluka karena saya…”

Tatapan Soni langsung berubah.

Ada sesuatu seperti api gelap lewat di matanya.

“Kau pikir dia terluka karena kau?”

suara Soni mengeras sedikit,

“Dia yang memilih ikut campur. Dia yang memilih memberontak padaku.”

Hana menggeleng cepat.

“Tidak… tidak… saya tidak—”

“Dan sekarang,”

Soni mencengkeram bahu Hana,

“kau bahkan berani mencoba keluar hanya karena firasat tentang dia?”

Hana tersedak tangis.

Air mata jatuh deras.

“Soni, saya memohon…

tolong jangan sakiti dia…”

Hening.

Sangat hening.

Soni mematung, menatap wajah Hana yang memohon sambil menangis untuk pria lain.

Perlahan…

senyum tipis muncul di bibirnya.

Senyum yang tidak pernah berarti baik.

“Akhirnya,” katanya pelan,

“aku tahu.”

Hana menatapnya bingung.

“Kau bukan menangis karena masa lalu.”

“Kau bukan menangis karena takut padaku.”

Soni menurunkan suara, hampir seperti bisikan di telinga Hana.

“Kau menangis…

karena James.”

Hana menutup mulut, ketakutan.

Soni tertawa pelan—bahaya murni.

“Jadi, itu ya…”

ia berjalan pelan mengelilingi Hana,

“…yang membuatmu gelisah, tidak fokus, dan berani melawan.”

“…kau peduli pada anakku.”

Hana menunduk, gemetar.

Soni berhenti tepat di belakangnya.

“Niatmu untuk menyelamatkan James…”

Soni mendekat hingga napasnya terasa di belakang telinga Hana,

“…itu membuatku cemburu.”

Hana terkejut.

Ia menahan napas.

Cemburu?

Saat Soni melangkah ke depan dan menatapnya dari jarak yang sangat dekat, ia menambahkan dengan suara halus namun beracun:

“Karena aku tidak suka berbagi apa yang menjadi milikku.”

Hana menggigit bibir, air matanya jatuh lagi.

“James bukan milikmu, Tuan,”

Hana berkata dengan suara kecil namun jujur,

“dia hanya ingin tahu kebenaran tentang ibunya.”

Soni memicingkan mata—

perlahan, sangat perlahan.

“Dan kau,”

wajahnya menegang,

“ingin dia tahu?”

Hana menunduk lagi.

“…Saya tidak ingin dia mati.”

Kata itu menghancurkan sisa ketenangan Soni.

Cemburu di wajahnya menjadi kemarahan dingin.

“Jadi kau lebih takut kehilangan dia…

daripada kehilangan aku?”

Hana menutup wajah dengan tangan, menangis keras.

“Saya… saya tidak ingin ada yang terluka lagi…

tolong…”

Soni memandangi Hana lama.

Sangat lama.

Lalu ia mendekat, memegang dagu Hana, mengangkat wajahnya lagi.

“Kau ingin menolong James?”

kata Soni pelan, senyumnya tipis.

Hana memejamkan mata.

Soni menunduk, menempelkan dahi ke dahi Hana.

“Kalau begitu…”

bisiknya lembut namun kejam,

“…aku harus menempatkanmu…

di tempat yang tidak bisa kau menyelamatkannya.”

Hana tersentak, menatap Soni lebar-lebar.

“Tuan… jangan…”

Soni tersenyum tipis.

“Karena kau, Hana…”

“…telah menjadi kelemahan barunya.”

Setelah Soni mengatakan kalimat itu, Hana tahu bahwa ia baru saja melewati batas yang tidak boleh ia sentuh.

Ia merasa lututnya lemas.

Napasnya tercekat.

Soni tidak bicara lagi.

Ia hanya memanggil penjaga dari interkom ruangan.

“Bawa dua orang.

Kunci semua akses lantai ini.”

suara Soni tenang, datar.

Hana langsung menggeleng.

“Tuan… tolong… saya tidak bermaksud—”

“Diam.”

suara Soni memotong tanpa amarah, tapi jauh lebih menakutkan.

Dua penjaga datang.

Soni mendekat pada Hana dan menangkup wajahnya dengan kedua tangan—

lembut, tapi menahan seperti borgol tak terlihat.

“Hana…”

ucapnya pelan,

“…kau terlalu gelisah.

Terlalu khawatir.”

Hana menunduk, tangannya gemetar.

“Itu berbahaya. Untukmu.”

Ia mengelus pipi Hana dengan ibu jarinya.

“Mulai hari ini, kau tidak keluar kamar,”

ucap Soni pelan.

Hana terkejut.

“Tu-Tuan… tidak… jangan… saya tidak akan kabur… saya hanya—”

“Kau tidak akan keluar,” ulang Soni,

“tidak ke koridor, tidak ke balkon, tidak ke halaman.”

Hana menahan air mata.

Soni menatap matanya dalam-dalam.

“Karena aku tidak akan membiarkan kau menjadi alasan James melawan aku.”

Air mata Hana jatuh.

“Kenapa… kenapa Anda lakukan ini…”

Soni tersenyum.

“Karena kau menangis untuknya, bukan untukku.”

Hana tercekik isak.

Penjaga sudah bersiap di pintu.

Soni kembali bicara, suaranya lembut namun mengunci:

“Kau ingin melindungi James?”

Ia mengusap rambut Hana perlahan.

“Kalau begitu, tetap di sini.”

“Tuan… tolong…”

“Karena selama kau tetap di sini…”

Soni menatap lurus ke mata Hana,

“…dia akan datang mencarimu.”

Hana membeku.

Soni berbalik dan memberi isyarat pada penjaga.

“Awasi dia 24 jam.”

Pintu ditutup.

Terkunci.

Hana terduduk di lantai, tubuhnya gemetar keras.

Ia menekan wajah ke lutut dan menangis pecah-pecah.

“James…

jangan datang…

tolong jangan datang…”

Namun ia tahu James.

Dan James selalu datang ketika ia tidak seharusnya.

DI TEMPAT LAIN — LORONG GELAP KOTA

James berjalan pelan di samping Raina.

Setelah pengakuan tadi, ia belum bicara lagi.

Wajahnya gelap, tegang, bahkan Raina merasakan udara di sekitar James seperti menegang.

Mereka bersembunyi di gudang toko yang kosong.

Raina duduk bersandar, memegangi lutut.

James berdiri dekat jendela pecah, memandang keluar dengan rahang mencengkeram ketat.

“James…”

Raina memanggil pelan.

James tidak menoleh.

Ia justru bertanya:

“Siapa saja yang tahu kau lihat wajah pria itu malam itu?”

Raina terdiam.

“…Tidak ada. Aku tidak bicara ke siapa pun. Bahkan polisi.”

James mengangguk pelan.

Lalu ia bertanya lagi:

“Kau yakin pria itu ayahku?”

Raina terisak kecil.

“S-silau petir malam itu… aku tidak lihat jelas… tapi aku lihat garis wajahnya… cara berjalannya… postur tubuhnya…

dan aku lihat dia berdiri dekat ibumu…”

James menutup mata.

Hawa di ruangan semakin menegang.

Di dalam hatinya, amarah dan kepedihan bertabrakan seperti dua gelombang raksasa.

Namun tiba-tiba—

James menegang.

Ia merasakan sesuatu menusuk dadanya.

Bukan serangan fisik.

Bukan suara.

Tapi…

perasaan.

Seperti ada seseorang yang memanggil dalam diam.

Seseorang yang sedang berjuang.

James membuka mata cepat.

“Hana…”

Raina menatap heran.

“James? Apa yang—”

James memegang dada bagian kiri.

Napasnya pendek.

“Ada sesuatu…”

gumamnya pelan,

“…sesuatu tidak benar.”

Raina bangkit pelan.

“Kau—kau kenapa?”

James berjalan cepat ke pintu gudang.

Tidak, bukan berjalan.

Ia hampir berlari.

“Hana… dia dalam bahaya…”

ujar James, wajahnya pucat.

“Bagaimana bisa kau tau?”

Raina bingung.

James menggeleng, tidak punya jawaban.

Ia hanya tahu satu hal:

Sejak kecil, ia dan Hana selalu punya ikatan halus yang tidak bisa dijelaskan.

Bahkan setelah Hana menikah dengan ayahnya,

ikatan itu tidak hilang—justru makin terasa.

Seperti ada suara yang hanya bisa didengar jiwa.

“Hana… takut…”

desis James lirih.

Ia memegang kepala, marah pada dirinya sendiri.

“Aku harus kembali.”

Raina memegang lengannya.

“Itu bahaya! Rumahmu diawasi! Ayahmu—”

“Aku tidak peduli!”

James menatap Raina,

“Aku sudah diam terlalu lama.”

Ia menarik napas panjang.

“Aku harus lindungi dia.”

Raina menatap James dengan campuran ngeri dan iba.

“Kalau kau kembali,” katanya lirih,

“kau tidak hanya menghadapi ayahmu…

kau menghadapi sisi dirinya yang paling gelap.”

James menatap lurus—

tatapan seorang pria yang sudah kehilangan rasa takut.

“Kalau itu harga untuk menyelamatkan Hana,”

katanya pelan,

“aku bayar.”

Raina memeluk dirinya sendiri.

Ia tahu ini bukan hanya tentang Hana.

Ini tentang kebenaran.

Tentang luka James yang tak pernah sembuh.

“James… kau akan melewati batas yang tidak bisa kau kembali lagi…”

James berbalik.

“Sudah terlambat untuk kembali.”

Dan saat ia melangkah keluar,

suara lirih terucap dari bibirnya:

“Hana… tunggu aku.”

19-11-2025

By: Eva

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!