Gendhis harus merelakan pernikahan mereka berakhir karena menganggap Raka tidak pernah mencintainya. Wanita itu menggugat cerai Raka diam-diam dan pergi begitu saja. Raka yang ditinggalkan oleh Gendhis baru menyadari perasaannya ketika istrinya itu pergi. Dengan berbagai cara dia berusaha agar tidak ada perceraian.
"Cinta kita belum usai, Gendhis. Aku akan mencarimu, ke ujung dunia sekali pun," gumam Raka.
Akankah mereka bersatu kembali?
NB : Baca dengan lompat bab dan memberikan rating di bawah 5 saya block ya. Jangan baca karya saya kalau cuma mau rating kecil. Tulis novel sendiri!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Raka menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras, jemarinya mengepal di sisi meja. Foto itu—dirinya dan Clara di kolam renang—jelas-jelas diambil dari sudut yang memperlihatkan kedekatan yang tidak pernah terjadi. Dia tahu ini bukan kebetulan. Clara dan Abram sedang bermain kotor.
Tanpa pikir panjang, Raka meninggalkan acara malam itu. Ia menuju kamar hotelnya, menahan amarah yang berkecamuk di dadanya. Dia memilih tidak mengindahkan pesan yang sudah pasti ditujukan untuk menjebak dirinya.
Sesampainya di kamar, ia mendapati pintu tidak tertutup rapat. Raka mengerutkan dahi, namun mengira mungkin ia lupa menguncinya atau ada petugas hotel yang membersihkan ruangannya.
Ia masuk, menyalakan lampu, dan mendapati botol minuman di meja kecil. Ia tidak merasa pernah membawanya. Tapi pikirannya sudah terlalu lelah untuk memikirkan detail kecil. Ia hanya ingin tidur dan melupakan hari yang menyebalkan ini.
Setelah meneguk air mineral, rasa kantuk datang lebih cepat dari biasanya. Kelopak matanya berat, pandangannya buram. Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya lemas tak bertenaga. Kesadaran terakhirnya adalah bayangan samar Clara berdiri di ambang pintu, dengan senyum licik di wajahnya.
Pagi harinya, Raka terbangun dengan kepala berat, nyeri seperti habis minum alkohol berlebihan—padahal dia tahu betul tidak menyentuh minuman keras semalam. Ia membuka mata perlahan dan menyadari bahwa dia tidak berada di kamarnya.
Kamar itu asing. Aroma parfum yang tidak dikenalnya menyengat. Ia menoleh ke samping—jantungnya hampir berhenti. Clara tertidur di sampingnya, hanya tertutup selimut tipis.
“Brengsek!” Raka meloncat dari tempat tidur, tubuhnya hanya mengenakan pakaian dalam. Ia mencari pakaiannya yang tergeletak di lantai, buru-buru mengenakannya dengan tangan gemetar.
Raka mengguncang bahu Clara dengan kasar. “Apa yang kamu lakukan?! Apa yang terjadi?!”
Clara membuka mata perlahan, berpura-pura bingung. “Mas Raka? Kenapa marah? Semalam kan kita…”
“Jangan omong kosong!” bentak Raka, matanya merah karena amarah. “Aku nggak ingat apa pun! Kamu menjebakku!”
Clara hanya tersenyum tipis, seolah menikmati setiap detik penderitaan Raka. Tanpa menjawab, ia mengambil ponselnya dan mulai merekam ekspresi panik pria itu.
"Pergi kamu dari sini!" usir Raka.
Clara masih tersenyum kemudian memakai mantel untuk menyembunyikan tubuhnya. "Semua ini belum selesai, Raka," tukas Clara.
Raka bergegas ke dalam kamar mandi, menahan mual yang lebih karena jijik dibandingkan efek obat apa pun yang mungkin dia konsumsi tanpa sadar.
Raka melangkah keluar dari dengan langkah berat. Pikirannya penuh dengan bayangan Gendhis—wajah istrinya yang selalu penuh kehangatan, tatapan teduhnya yang membuat Raka merasa pulang, dan senyum kecil yang kerap muncul tanpa alasan.
Namun, hari ini, Raka tidak tahu apakah senyum itu masih akan ada untuknya.
Pria itu memutuskan untuk pulang tanpa berpamitan pada atasan atau pun karyawan lain. Dia tidak mempedulikan apa pun, yang dia inginkan hanyalah bertemu dengan istrinya.
Di dalam mobil, tangan Raka menggenggam erat setir, buku-bukunya memutih. Setiap detik perjalanan menuju rumah terasa seperti siksaan. Berkali-kali dia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kecamuk di dadanya, tetapi sia-sia.
Setibanya di rumah, ia memarkirkan mobil tanpa mematikan mesin. Ia duduk sejenak, menatap pintu rumah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman baginya. Namun, kali ini, pintu itu seperti gerbang menuju penghakiman.
Akhirnya, dengan langkah berat, ia turun dari mobil. Setiap langkahnya di teras seperti gema suara hatinya yang penuh penyesalan meskipun ia tahu tidak melakukan apa pun.
Pintu rumah terbuka sebelum ia sempat mengetuk. Gendhis berdiri di sana, mengenakan gaun santai berwarna pastel, perutnya yang membesar karena kehamilan membuat Raka semakin sesak. Wanita itu tersenyum samar, wajahnya berseri seperti biasa.
"Mas, kamu sudah pulang?" sapanya lembut.
Suara itu—suara yang biasanya menenangkan hati Raka—kini justru membuatnya merasa hancur. Ia hanya mengangguk pelan, menunduk agar Gendhis tidak melihat sorot matanya yang penuh rasa bersalah.
Tanpa berkata apa-apa, Raka melangkah masuk, melewati Gendhis tanpa menoleh. Ia langsung menuju kamar tidur mereka.
Gendhis mengerutkan kening, heran dengan sikap suaminya yang berbeda. Ia mengikuti Raka ke kamar, menemukan pria itu duduk di tepi ranjang, menundukkan kepala, menatap lantai kosong.
"Mas, ada apa?" tanya Gendhis, duduk di sampingnya.
Raka tidak menjawab. Ia hanya menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menahan emosi yang meletup di dadanya.
Gendhis meletakkan tangannya di bahu Raka, mencoba menenangkan. "Mas, kenapa? Ada masalah di kantor?"
Raka menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata dengan suara serak, "Aku… aku nggak tahu harus bilang apa."
Gendhis menatap suaminya, kebingungan. "Mas, bicara saja. Aku di sini, kok."
Raka menoleh, menatap mata Gendhis yang jernih dan penuh ketulusan. Pandangan itu menusuk lebih dalam dari apa pun.
"Aku nggak melakukan apa-apa, Dhis. Aku nggak mengkhianati kamu," ucapnya tiba-tiba, membuat Gendhis semakin bingung.
Gendhis mengernyit. "Mas, kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?"
Raka berdiri, berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Ia merasa harus jujur, tapi juga takut akan reaksi Gendhis.
"Ada sesuatu yang terjadi.Tentang aku… dan Clara," kata Raka akhirnya, suaranya lirih.
Gendhis terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata suaminya. "Apa maksudmu?"
Raka menatap istrinya dengan mata penuh penyesalan. "Aku dijebak, Dhis. Aku nggak tahu bagaimana bisa terjadi. Aku cuma ingat minum air mineral di kamar hotel, lalu tiba-tiba pingsan. Aku bangun di kamar yang berbeda, dengan Clara di sampingku. Aku nggak ingat apa-apa, aku bersumpah!"
Gendhis masih terdiam. Ia mencoba membaca wajah suaminya, mencari kebohongan di sana. Tapi yang ia temukan hanyalah ketakutan dan penyesalan yang tulus.
Akhirnya, Gendhis menghela napas panjang, lalu berdiri, menghadap Raka. "Mas," panggilnya lembut. "Aku percaya sama kamu."
Raka menatapnya, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. "Kamu… percaya?"
Gendhis mengangguk. "Iya. Aku tahu Mas Raka. Aku tahu siapa suamiku. Aku tahu kamu nggak mungkin melakukan itu dengan sadar."
Air mata Raka menetes tanpa bisa ditahan. Ia merasa lega sekaligus semakin bersalah. Ia memeluk Gendhis erat, seolah takut wanita itu akan menghilang.
"Maaf… maaf banget, Ndhis. Aku nggak bisa melindungi diriku sendiri dari jebakan mereka," bisiknya di telinga Gendhis.
Gendhis membalas pelukan itu, mengelus punggung suaminya. "Kita hadapi ini bersama-sama, Mas. Kamu nggak sendiri. Aku percaya padamu, Mas.
Ponsel Raka berdering di meja. Nama yang muncul di layar membuat keduanya terdiam sejenak—Clara. Dia terdiam melihat layar ponselnya. Tidak menyangka kalau Clara berani menghubunginya.
"Angkat saja, Mas! Jangan biarkan dia merasa menang, aku yakin saat ini dia sedang mempermainkan kita," ucap Gendhis.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca....
2th dianggurin.... sekalinya di gauli... yg di sebut nama wanita lain...
haduehhhhh
pa
klu typo trs gini ya bingung pembacanya