Gendhis harus merelakan pernikahan mereka berakhir karena menganggap Raka tidak pernah mencintainya. Wanita itu menggugat cerai Raka diam-diam dan pergi begitu saja. Raka yang ditinggalkan oleh Gendhis baru menyadari perasaannya ketika istrinya itu pergi. Dengan berbagai cara dia berusaha agar tidak ada perceraian.
"Cinta kita belum usai, Gendhis. Aku akan mencarimu, ke ujung dunia sekali pun," gumam Raka.
Akankah mereka bersatu kembali?
NB : Baca dengan lompat bab dan memberikan rating di bawah 5 saya block ya. Jangan baca karya saya kalau cuma mau rating kecil. Tulis novel sendiri!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Clara berdiri di depan pintu ruangannya dengan wajah masam. Pagi ini, dia menerima surat resmi dari HRD yang mengabarkan tentang pemindahan divisinya. Dari menjadi asisten pribadi Raka, kini dia dipindahkan ke divisi keuangan dengan alasan restrukturisasi perusahaan.
Namun, Clara tahu betul alasan di balik semua ini. Itu pasti ulah Raka, atau lebih tepatnya… Gendhis.
Tangannya mengepal, matanya penuh dengan kemarahan. Bagaimana mungkin dia, yang sudah bekerja dengan dedikasi tinggi, diperlakukan seperti ini hanya karena istri bosnya merasa cemburu?
"Aku tidak akan membiarkan ini begitu saja, tidak akan kubiarkan kalian bertindak seenaknya padaku," gumam Clara sambil membulatkan tekad bertemu dengan James.
Tanpa berpikir panjang, Clara melangkah cepat menuju lantai paling atas, tempat kantor CEO—James, pemilik Starfood. Dia tahu, jika ada satu orang yang bisa membatalkan keputusan ini, maka itu adalah James.
"Aku tidak akan membiarkan ini begitu saja," geramnya dalam hati.
Sementara itu, di ruangan CEO. James sedang duduk santai di ruang kerjanya, berdiskusi ringan dengan istrinya, Silvia. Suasana ruangan tampak hangat, jauh dari kesan formal meski mereka berada di lingkungan kerja.
Silvia tertawa kecil saat James menceritakan pengalaman lucunya saat rapat dengan tim luar negeri. “Kamu memang suka membuat suasana jadi santai, Mas,” ucap Silvia sambil mengaduk kopi di tangannya.
Namun, ketenangan itu segera terganggu saat pintu ruangan terbuka kasar tanpa ketukan.
Clara masuk dengan langkah tergesa, wajahnya penuh emosi.
James mengernyit, merasa tidak nyaman dengan sikap tidak sopan itu. Silvia langsung menoleh, matanya meneliti Clara dari ujung kepala hingga kaki tanpa berkata apa-apa.
Silvia menunggu perempuan yang tanpa tahu malu datang ke ruangan James. Padahal, kedatangan James ke kantor cabang mereka ini dikatakan sangat jarang terjadi. Selain karena sibuk di kantor pusat, James tidak ingin membiarkan Silvia sendirian di Jakarta bersama kedua anak mereka.
"Ada apa ini? Kamu tidak tahu aturan?" tanya James dingin, menegakkan tubuhnya di kursi.
Clara menahan napas sejenak, berusaha meredam emosinya agar tetap terdengar profesional. “Maaf, Pak James. Saya harus bicara soal keputusan tidak adil ini,” katanya lantang.
James melirik sekilas ke arah Silvia, lalu kembali menatap Clara. "Keputusan apa? Lalu, siapa kamu berani masuk ke ruangan saya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu," tanyanya datar.
Clara melangkah lebih dekat. “Saya Clara, Pak. Saya ingin membicarakan tentang pemindahan saya dari posisi asisten pribadi Pak Raka ke divisi keuangan. Ini tidak adil, Pak. Saya sudah bekerja keras, dan saya yakin performa saya tidak bermasalah.”
James menghela napas pelan. “Itu keputusan manajemen. Jika Pak Raka menganggap perlu ada perubahan, saya percaya itu sudah dipertimbangkan dengan matang.”
Clara tidak menyerah. “Tapi ini karena istrinya, Pak! Istri Pak Raka terlalu ikut campur. Hanya karena dia cemburu, saya harus dipindahkan? Bukankah ini konyol?”
Silvia yang sejak tadi hanya mendengarkan, akhirnya meletakkan cangkir kopinya dengan tenang. Senyuman tipis muncul di bibirnya, namun bukan senyuman ramah.
“Istri Pak Raka? Siapa namanya?” tanya Silvia dengan nada lembut namun mengandung sindiran halus.
Clara melirik ke arah Silvia dengan pandangan meremehkan. “Namanya Gendhis. Perempuan itu terlalu mengatur. Dia pikir semua orang menginginkan suaminya! Demi Tuhan, saya tidak pernah melakukan sesuatu yang di luar batas.”
Namun, Clara tertawa kecil, merasa percaya diri dengan argumennya.
Tawa Clara terhenti ketika Silvia bangkit dari kursinya dan mendekat. Tatapan matanya berubah tajam, penuh dengan wibawa yang membuat Clara menelan ludah.
“Gendhis? Maksudmu Gendhis teman dekatku?” tanya Silvia sambil melipat tangan di dada.
Clara membeku. Teman dekat? Clara tidak pernah tahu kalau Gendhis berteman dengan istri dari CEO mereka. Dia pikir, istri dari Raka itu hanyalah gadis yang tidak memiliki latar belakang luar biasa.
James tersenyum tipis. “Iya, Clara. Istriku dan Gendhis sudah berteman lama. Dan aku yakin Gendhis bukan tipe yang mencampuri urusan kantor tanpa alasan jelas.”
Clara mencoba mempertahankan harga dirinya. “Tapi Pak, ini tidak adil. Saya hanya ingin bekerja dengan profesional—”
Silvia memotong dengan tegas. “Profesional? Masuk ke ruangan atasan tanpa mengetuk itu profesional? Mengeluh tentang keputusan manajerial karena masalah pribadi itu profesional? Saya rasa, kita bisa menyimpulkan siapa yang tidak profesional di sini.”
Kata-kata Silvia membuat ruangan itu terasa lebih dingin. Clara terdiam, wajahnya memerah karena malu dan marah.
James menambahkan dengan nada dingin, “Kamu dipekerjakan untuk bekerja, bukan membuat drama. Jika kamu tidak bisa menerima keputusan ini, mungkin perusahaan ini bukan tempat yang cocok untukmu.”
Clara ingin membalas, tapi kata-kata terhenti di tenggorokannya. Dia sadar bahwa dirinya baru saja mempermalukan dirinya sendiri di depan orang yang salah.
"Tidak, Pak. Saya ingin tetap bekerja di Perusahaan ini," ucap Clara pada akhirnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan keluar dari ruangan dengan langkah cepat, meninggalkan James dan Silvia yang saling bertukar pandang.
Silvia terkekeh pelan. “Orang seperti itu selalu mengira mereka lebih pintar.”
James mengangguk setuju. “Tapi setidaknya dia belajar sesuatu hari ini.”
Clara berjalan cepat menuju lift, wajahnya penuh amarah. “Aku tidak akan kalah. Mereka pikir mereka bisa menghancurkan karierku begitu saja?” pikirnya penuh dendam.
Namun, di sudut hatinya, rasa malu itu tidak bisa diabaikan. Dia telah mempermalukan dirinya sendiri.
"Lihat saja, aku akan merebut Raka dari tanganmu, Gendhis. Apa pun caranya, pernikahan kalianlah yang hancur!" gumam Clara.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca...
Ambisinya bikin otaknya jd gk waras.. mending jd ja* lang aja sekalian..