Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 17
Aruna menata loyang berisi banana cake yang baru saja matang di atas meja makan. Harumnya menguar pelan, memenuhi sudut dapur yang remang sore itu. Ia menatap hasil panggangannya dengan tatapan kosong namun penuh harap.
Banana cake itu dibuatnya khusus favorit Bagas. Ia bahkan mengirisnya rapi, meletakkannya di piring cantik, dan menyiapkan teh hangat seperti yang biasa disukai suaminya saat pulang kerja.
Waktu merayap pelan. Jarum jam telah menyentuh angka delapan malam. Lampu ruang tengah telah ia nyalakan sejak satu jam lalu, berharap Bagas akan segera masuk dan mencium harum kue buatan istrinya seperti dulu. Tapi pintu itu tetap tertutup. Sepi.
Dengan perasaan ragu, Aruna mengambil ponselnya. Ia membuka daftar panggilan dan menyentuh nama suaminya. Suara nada tunggu terdengar di telinganya, tapi tidak ada jawaban. Beberapa detik berlalu masih tetap tidak diangkat.
Aruna menatap layar yang kembali ke tampilan awal. Hening. Lalu ia letakkan ponsel itu di meja, menarik napas panjang.
"Aku tidak bisa terus seperti ini..." gumamnya lirih. “Aku ingin menyelesaikannya. Aku tidak ingin semuanya memendam terlalu dalam dan pecah sewaktu-waktu...”
Matanya memandangi pintu yang masih tertutup. Rasa kecewa bergumul dalam diamnya. Ia tahu, jika terus ditunda, luka ini bisa menjadi kebiasaan. Dan Aruna tidak ingin terbiasa dengan luka.
Jam menunjukkan pukul enam pagi saat suara deru mesin mobil terdengar memasuki halaman. Aruna yang masih terbaring di ranjang sontak terbangun. Ia mengenali suara itu, mobil Bagas.
Jantungnya berdebar pelan. Ia segera bangkit dan berjalan cepat ke ruang tamu, menyingkap tirai jendela. Mobil itu memang benar milik Bagas. Beberapa detik kemudian, pintu depan terbuka. Bagas masuk dengan wajah lelah dan datar, tanpa ekspresi.
Aruna menatapnya dari ruang tengah, menahan emosi yang sudah sejak semalam tertahan di dada.
“Mas... kenapa baru pulang sekarang?” suaranya pelan tapi mengandung tekanan.
Bagas melepas sepatunya, menggantungkan jaketnya di sofa. Ia menatap Aruna sekilas lalu menjawab, “Ada kerjaan yang harus diberesin.”
“Kenapa nggak angkat teleponku?” tanya Aruna lagi, kali ini nadanya lebih tajam. “Aku nelpon berkali-kali.”
Bagas menoleh pelan. “Aku sibuk. Lupa bawa ponsel.”
Aruna memejamkan mata sesaat, menahan sesak yang mulai naik ke tenggorokan. Ia tahu Bagas berbohong sebuah kebohongan yang terlalu mudah ditebak karena sudah terlalu sering digunakan.
“Mas, kita harus bicara,” ucap Aruna akhirnya, tegas dan jernih.
Bagas menarik napas. “Aku capek. Kita ngomong nanti aja.”
Dan dengan itu, ia berjalan melewati Aruna menuju kamar, meninggalkan aroma dingin yang menggantung di udara pagi. Aruna menatap punggung suaminya yang menjauh, merasa begitu asing... dan semakin jauh.
Brakk!
Pintu kamar terbuka dengan keras, mengejutkan Bagas yang baru saja duduk di tepi ranjang sambil melepas jam tangannya.
“Cukup, Mas! Aku udah capek menahan semuanya!” suara Aruna pecah, matanya merah, bukan karena menangis, tapi karena menahan terlalu banyak luka yang tak pernah ditanggapi.
Bagas menoleh, tampak kaget. “Kamu kenapa sih?” tanyanya pelan, nyaris malas.
“Kenapa aku?! Harusnya aku yang nanya itu ke kamu! Kenapa kamu berubah? Kenapa kamu nggak lagi peduli sama perasaan aku, sama rumah ini, sama kita?!” Aruna melangkah masuk, berdiri di depan Bagas. “Aku nunggu kamu semalaman! Aku bikin cake kesukaanmu, berharap kamu pulang dan kita bisa bicara. Tapi yang kamu kasih ke aku cuma diam dan wajah dingin!”
Bagas menghembuskan napas. “Aruna, aku bilang aku capek. Aku butuh istirahat.”
“Capek? Aku juga capek, Mas! Tapi aku nggak pernah menjadikan itu alasan untuk berhenti peduli!” suara Aruna meninggi, matanya mulai berkaca-kaca.
“Kenapa sih kamu dramatis banget?”
“Karena kamu terus-terusan bersikap seolah-olah aku nggak penting lagi! Aku ini istrimu, Bagas! Aku punya hak untuk tahu apa yang terjadi, untuk didengar, untuk diperjuangkan!” ucapnya gemetar.
Bagas terdiam. Tangannya yang masih menggenggam jam berhenti bergerak. Di wajahnya tak ada jawaban. Hanya diam... dan dingin.
Aruna memandangnya, seolah menanti satu kalimat saja yang bisa menyelamatkan semuanya. Tapi yang ia dapatkan hanya hening.
Perlahan air matanya jatuh. Ia menunduk, lalu berkata dengan suara yang jauh lebih pelan, “Aku nggak tahu, Mas... masih ada tempat nggak buat aku di hidup kamu?”
Lalu ia melangkah keluar dari kamar tanpa menutup pintu, membiarkan keheningan menggantung dan menggema di antara retak yang semakin dalam.
Bagas menggenggam kunci mobilnya dengan geram, lalu berjalan cepat ke arah pintu.
“Aku pergi. Aku butuh udara!” katanya tajam tanpa menoleh pada Aruna.
Aruna mengejar langkah suaminya. Dadanya sesak, emosinya sudah di ambang batas.
“Pergi? Setelah semua yang kamu lakukan? Kamu pikir kamu bisa terus kabur kayak gitu, Bagas?!”
Bagas tetap membuka pintu, tapi langkahnya terhenti saat Aruna berteriak, “Kamu tuh cuma tahu ngabisin uang hasil perkebunan! Hasil jerih payahku! Tanpa tahu gimana aku bangun semuanya dari nol!”
Bagas membalikkan badan perlahan. Senyum miring menghiasi wajahnya, tajam, menghina.
“Jerih payahmu?” Ia tertawa pendek. “Kamu kayaknya lupa, Aruna... itu semua tanah atas nama siapa...? Perkebunan itu warisan keluargaku. Kamu cuma numpang nama dan pura-pura berperan besar!”
Mata Aruna membelalak, dadanya seperti dihantam palu. Tapi ia tak tinggal diam.
“Kalau bukan karena aku yang turun tangan, yang urus semuanya saat kamu sibuk kejar ambisi dan lupa pulang, tempat itu nggak akan jadi apa-apa! Jangan cuma liat nama di sertifikat, lihat siapa yang benar-benar berjuang!”
Langkah Bagas mendekat cepat. Aura kemarahan memuncak.
“Kamu juga lupa, ya, kamu itu siapa dulu?” bisiknya tajam. “Perempuan kampung miskin, yang aku angkat derajatnya! Kalau bukan karena aku, kamu masih tinggal di rumah reyot pinggir sawah.”
BRUUG!!
Tangan Bagas mendorong dada Aruna. Tidak kuat, tapi cukup membuat tubuh Aruna limbung dan jatuh terduduk di lantai. Suara benturan tubuhnya menggema, lalu diikuti oleh suara napas tercekat.
Seketika, suara bentakan keras dari luar rumah memecah ketegangan.
“BAGAS!”
Pintu rumah terbuka lebar, dan Raka muncul dengan wajah merah padam, rahangnya mengeras menahan emosi. Ia berdiri di ambang pintu dengan napas tersengal, matanya tertuju pada Aruna yang terduduk di lantai dengan rambut sedikit berantakan.
“Kau masih pantas disebut suami setelah ini?!” katanya tajam.
Bagas tampak terkejut. “Apa urusanmu?!”
Raka melangkah masuk tanpa ragu. “Urusanku adalah aku tak akan diam melihat perempuan diperlakukan kayak binatang oleh suaminya sendiri!”
Ia menatap tajam Bagas, tubuhnya tegang menahan dorongan untuk melayangkan tinju.
Sementara itu, Aruna menunduk. Air mata menetes diam-diam, bukan hanya karena sakit di tubuhnya tapi karena luka yang jauh lebih dalam di hatinya.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor