Lionel Danny, adalah pria berpengaruh yang kejam. Karena dendam ia terpaksa menikahi putri musuhnya sendiri.
Namun, tepat setelah pernikahan selesai dilangsungkan, ia justru menghabisi seluruh keluarga istrinya, Maura.
Karena benci dan dendamnya akhirnya Maura sengaja mendekati pria kaya raya bernama Liam. Siapa sangka jika Liam benar-benar jatuh hati kepada Maura.
Mungkinkah Danny luluh hatinya dan berusaha merebut kembali miliknya?
Bagaimana jadinya jika ternyata Liam justru pria yang lebih kejam dari Danny?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Tak Pantas
'Langkahku terdiam di batas cahaya, antara ragu dan rasa percaya. Suara hatiku setiap hari saling bersahutan, tapi arah tak juga kutemukan.' Batin Danny, ketika menemukan Maura mencoba berdiri dan berpegangan di sisi tembok.
Hatinya terasa remuk. Ia hancur atas keegoisan yang ia ciptakan sendiri.
Pakaian wanita itu basah kuyup oleh air bathtub yang meluap. Langkah Danny berubah pelan setelah sampai di ambang pintu. Ingatannya tentang masa lalunya kembali diputar, layaknya kaset lama yang usang.
Ia bingung haruskah peduli, atau meninggalkan. Ia mulai jatuh hati, tetapi merasa menjadi manusia paling kejam.
'Maju—mungkin luka, mungkin cahaya. Mundur—mungkin aman, tapi sia-sia. Namun waktu tak mungkin sudi menunggu. Ia terus berjalan walaupun aku ragu.'
Danny masih menatapnya, kali ini ia berhenti melangkah. Bebenar-benar mematung saja. Iris mata hazel itu berubah berembun, saat menatap wanita di hadapannya lemah. Entah mengapa, rasa itu perlahan berubah.
Namun, beberapa detik setelahnya, pemuda itu tak lagi berpikir panjang. Ia melangkah maju, lalu mengangkat tubuh istrinya yang masih basah kuyup dan menyelimutinya dengan jas miliknya yang baru saja ia lepaskan.
Maura menatap haru, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Maura, maafkan aku ya. Bisakah kau sedikit memberiku pertanda? Sebuah isyarat, walau samar tak nyata. Aku tak minta peta sempurna, hanya satu cahaya, agar aku tak buta." Embun itu akhirnya terjatuh, banjir di setiap sudut pelupuk mata.
Tak ada jawaban dari bibir mungil itu. Selain suara isakan tangis dari bibir mungilnya. Semakin lama, suaranya semakin menyesakkan dada.
Danny tak lagi menuntut jawaban, ia memeluknya erat, sangat erat seraya melangkah menuju menuju kamar tempat Maura di rawat.
"Tuan, Nyonya belum sembuh, tapi pakaiannya basah kuyup. Biar saya membantunya, biar bisa cepat pulang." Suara maid itu, membuat Danny tersentak.
"Oh, kau masih menunggu kami di sini? Baiklah, bantulah. Jangan lama, aku akan memanggil perawat untuk melepas infusnya," tukas Danny.
Lalu ia sedikit tersenyum, dan berlalu pergi setelah mendaratkan kecupan singkat di puncak kepala istrinya.
Sang maidpun tersenyum melihatnya, lalu menggelengkan kepalanya.
"Nyonya muda, saya sudah menjadi maid di rumah Tuan Danny sekitar delapan tahun terakhir. Tetapi baru kali ini saya melihatnya tersenyum, apalagi pada saya yang hanya seorang maid ini," ujarnya.
Maura hanya mengangguk dengan sedikit senyum. Masih wajar ia bersikap seperti itu. Luka di hatinya mungkin masih basah.
***
Seorang perawat dengan cekatan membuka jarum infus yang semula tertancap di punggung salah satu telapak tangan Maura. Dan Danny, memilih berdiri di dekatnya.
"Sudah selesai, sudah boleh pulang. Untuk obat silahkan diambil di apotek atas nama Nyonya Maura," kata perawat itu setelah memasang plester luka bening di bekas jarum infus.
Danny sedikit tersenyum lalu membungkuk. "Terimakasih."
Kalimat langka bernama maaf akhirnya keluar dari bibir pria dingin yang biasanya selalu dirasuki amarah itu dalam dirinya.
Mungkin hanya sekitar lima menit berselang, setelah sang maid membantu membereskan beberapa barang milik Maura. Dan Julio telah kembali dari apotek untuk mengambil obat. Danny langsung mengangkat istrinya sendiri, dan membawanya menuju lokasi parkir.
"Tuan, izinkan saya membantu," pinta Julio.
"Dia istriku, Julio. Mana mungkin aku membiarkan pria lain menyentuhnya?" Pria itu terus melangkah gesit.
Sedangkan Julio dan Maid, melangkah tergesa-gesa mendahului. Bukan tanpa sebab, tetapi rupanya ia ingin menunjukkan rasa baktinya.
Saat sampai di mobil, Julio segera membukakan pintu untuk mereka berdua. Maura mendongak terperangah.
"Biarkan aku duduk di kursi dekat kemudi," pintanya. Tatapannya sedikit sendu.
Tetapi Danny mengerti jika istrinya hanya ingin menjaga jarak darinya. Dan ia langsung menggeleng sebagai pertanda penolakan.
"Aku tidak bisa, Maura. Kamu harus selalu berada di sisiku. Senang, ataupun tidak," katanya.
"Jalan, Pak. Antar kami menuju hotel pusat kota!" perintah Danny.
Bukan hanya Maura yang ternganga, tetapi juga Julio dan seorang maid yang ikut serta bersama mereka.
Maura menelan ludah. "Kenapa tidak pulang saja?"
"Selama menikah, aku belum pernah membuatmu bahagia. Layaknya semestinya pasangan, selama ini aku memberimu penjara, bukan rumah." Lalu Danny mengeratkan pelukannya sambil melirik Julio dan seorang maid yang rupanya masih berdiri memperhatikan di dekat mobil.
Danny membuka sedikit kaca jendela mobilnya sembari menyipitkan mata.
"Kau tidak pergi memeriksa kondisi rumah seperti perintahku, Julio?" tanya Danny menyelidik.
"Sudah, aman terkendali. Berbahagialah dengan Nyonya sekitar seminggu ini. Saya bisa mengambil alih pekerjaan Anda sementara waktu. Setelah itu, segera kembali bekerja, Tuan Danny."
Ucapan Julio yang bernada perintah itu, benar-benar membuat Danny tersenyum getir.
"Kau mencuri gayaku, Julio. Sialan!" Danny melambaikan tangannya lalu melemparkan senyuman pada maid dan Julio sebelum akhirnya mobil itu melaju kencang.
Entah mengapa, hanya bersama Danny di dalam mobil membuat Maura merasa canggung? Ia mengingat tentang momen di saat Danny membantunya di kamar mandi. Tiba-tiba saja pipinya bersemu merah.
"Kau kenapa? Membayangkan momen di mana kita hanya berdua di kamar hotel?" Danny mencoba menggodanya. Berharap ada senyum yang melengkung indah di bibir ranum itu.
Tetapi sayangnya tidak. Wajah Maura kembali terlihat sedih.lalu memalingkan wajahnya ke arah luar jendela. Menikmati jalanan ramai disertai suara klakson mobil, dan juga suara deru mesin mobil.
"Kau ingin makan apa?" tanya Danny berusaha mencari perhatian.
"Terserah saja," kata Maura.
"Kau tidak memiliki alergi apapun?" tanya Danny lagi.
Maura menghela napas berat. "Kau mengingatkan aku pada Ayah, Danny. Ya, akh alergi seafood."
Sedikit senyum di wajah Danny pun akhirnya memudar. "Maafkan aku."
Entah mengapa hari ini ia sering mengucapkan kalimat maaf. Entah berapa kali, tetapi Maura merasa suaminya sedikit berubah.
Ada rasa aneh menjalar di sekujur tubuhnya, ia melirik Danny yang ternyata terus memperhatikannya.
'Haruskah aku menjadi istrimu seutuhnya, Lionel Danny? Kau tak pantas mendampingiku. Bukankah darah pembunuh di dalam dirimu itu terus mendidih tanpa henti? Bagaimana jika seandainya nanti kamu berubah kembali menjadi monster seperti dulu itu. Seperti saat kamu membantai seluruh keluargaku, tahukah kamu ... aku masih menyimpan luka itu sebagai dendam.' Batin Maura, lalu ia memejamkan matanya.
Danny berusaha meraih tubuh itu dan memeluknya erat. Entah apa yang ada di benak mereka masing-masing. Tapi yang jelas, keduanya seperti larut dalam pikiran mereka sendiri.
Di saat kecepatan mobil mulai melambat, Maura melihat wajah familiar sedang berjalan kaki di trotoar.
"Hentikan mobilnya!" teriak Maura, saat pria itu membalas tatapannya dari kejauhan sana.
"Ada apa, Maura?" tanya Danny cemas.
"Aku melihat Liam di luar sana, Danny. Dia menatapku, aku sangat takut. Aku takut sekali. Ayo tangkap dia, aku takut." Maura histeris.
Danny langsung memeluk dan mengelus punggungnya, berusaha menenangkan istrinya. Matanya nyalang membiak sekitar jalanan yang ramai.