"Kamu tahu arti namaku?" Ucap Acel saat mereka duduk di pinggir pantai menikmati matahari tenggelam sore itu sembilan tahun yang lalu.
"Langit senja. Akash berarti langit yang menggambarkan keindahan langit senja." jawab Zea yang membuat Acel terkejut tak menyangka kekasihnya itu tahu arti namanya.
"Secinta itukah kamu padaku, sampai sampai kamu mencari arti namaku?"
"Hmm."
Acel tersenyum senang, menyentuh wajah lembut itu dan membelai rambut panjangnya. "Terimakasih karena sudah mencintaiku, sayang. Perjuanganku untuk membuat kamu mencintaiku tidak sia sia."
Air mata menetes dari pelupuk mata Zea kala mengingat kembali masa masa indah itu. Masa yang tidak akan pernah terulang lagi. Masa yang kini hanya menjadi kenangan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang mengingatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Zea di culik
Zea tidak tahu apa yang terjadi padanya. Saat dia hendak menuju toilet, tiba tiba saja seseorang memukul tengkuknya dari belakang hingga dia tak sadarkan diri. Kini matanya mulai terbuka dan yang dia lihat untuk pertama kalinya pantulan dirinya dalam cermin yang berada tidak jauh tepat didepannya.
"Apa yang terjadi?" batinnya.
Mulutnya dilakban, tangannya diikat kebelakang dan kakinya juga dikat. Dia terbaring meringkuk dilantai kotor, berdebu dan bau di sebuah ruangan pengap yang sangat dingin.
"Dimana ini?" matanya mencoba melirik sekeliling ruangan persegi dengan dinding beton yang tampak lembab. Ada banyak karung yang terlihat seperti karung pupuk yang menumpuk di setiap sudut ruangan.
Tap
Tap
Samar samar Zea mendengar suara langkah kaki yang menggema dan semakin mendekat ke arah pintu kayu usang ruangan ini.
Ceklekkk
Driiit
Suara derit pintu itu saat seseorang membukanya. Dan Zea hanya bisa melihat sepatu yang dia pastikan pemiliknya seorang pria.
"Sudah bangun?" tanya pria itu yang mulai berjongkok tepat di depan kepala Zea.
Dengan susah payah Zea mendongak untuk melihat siapa pria itu. Matanya melotot merah saat melihat ternyata pria itu adalah Dandi.
"Hmppppp... Mmmppp..." jerit Zea berontak.
"Tenang, cantik. Om tidak akan menyakitimu. Om hanya meminjam kamu sebentar untuk bermain dengan Akash."
"Mmmppp... mmmppp..." Zea menggeleng cepat terus menerus.
"Hei, gadis baik. Aku tau kamu akan mencoba melindungi Akash. Tapi, kamu harusnya tidak melakukan itu. Kita harus bersama untuk membalas bocah sombong itu."
"Mmmppp..." Zea terus menggeleng, bahkan dia sampai menangis.
"Tuan, mereka sudah bergerak menuju kantor kejaksaan." lapor anak buahnya yang baru saja berlari masuk keruangan ini.
"Lakukan seperti rencana!"
"Baik Tuan."
Pria itu merekam video Zea dalam keadaan seperti itu dan mengirimnya pada Lui. Kemudian dia mengirim pesan ancaman bahwa Zea akan mati jika Lui masih melanjutkan rencana.
Lui yang menerima video itu pun langsung menghentikan mobilnya. Segera dia memberitahu Acel dan jawaban Acel sangat mengejutkan.
"Aku tidak peduli. Tetap lakukan sesuai rencana!" titahnya.
"Tuan muda, Nona dalam bahaya..."
"Aku tidak peduli, Lui. Lagi pula dia sama saja seperti om Dandi, mereka pengkhianat."
"Tapi..."
"Aku tidak akan mengulangi perintahku untuk kesekian kalinya, Lui!" teriaknya lantang yang membuat Lui terpaksa harus patuh dan mengabaikan Zea.
.
.
.
Zea sudah tidak dalam posisi menyedihkan seperti beberapa jam yang lalu. Kini dia duduk di kursi kayu dengan tubuhnya diikat erat sementara mulutnya sudah tidak dilakban lagi.
Dandi terlihat cemas, terlebih setelah dia mendapat kabar bahwa Acel tetap melaporkannya. Berita itu membuat Zea tertawa geli.
"DIAM!" teriak Dandi sambil menodongkan pistol tepat di pelipis Zea. "Aku bisa membunuhmu sekarang."
"Kalau begitu bunuh saja!" jerit Zea lebih lantang. "Om pikir dengan membunuhku Acel akan menderita? Tidak. Dia tidak mencintaiku. Dia hanya memperalatku. Aku tidak berarti apapun baginya, Om. Bunuh saja aku!"
Ujung pistol itu ditekan kuat oleh Dandi hingga membuat Zea sedikit gemetar tapi dia tidak pernah memperlihatkan bahwa saat ini dia sangat ketakutan.
"Hah, ternyata kamu sama sekali tidak berharga bagi Acel. Sungguh menyedihkan," ejek Dandi yang kemudian menjauhkan pistolnya dari Zea dan melemparnya kedinding. "Acel sialan! Aku salah memperhitungkan kelemahannya. Satu satunya kelemahannya hanya Alia. Ya, harusnya aku menculik Alia, bukan wanita murahan sepertimu!"
Zea membalas tatapan mengejek Dandi dengan tatapan sinisnya dan dia juga tersenyum penuh kemenangan melihat betapa bodohnya seorang Dandi Ceilo Sandrio.
"Kamu mengejekku!" amarahnya kembali terpancing. Dengan tanpa aba aba, dia menendang kaki kursi kayu itu hingga tubuh Zea yang duduk diatasnya pun ikut ambruk.
"Akh..." rintih Zea saat merasa punggung tangannya yang terikat kebelakang tertindih sandaran kursi dan punggungnya. Rasanya sangat perih dan sepertinya tulangnya patah atau mungkin sampai mengeluarkan darah.
"Awasi dia. Jangan memberinya makan sampai Acel berhenti melawanku!"
"Baik Tuan."
"Dia tidak akan peduli bahkan jika Om Dandi membunuhku sekalipun!" teriaknya lantang yang ternyata sedikit mengganggu Dandi.
