Di SMA Gemilang, geng syantik cemas dengan kedatangan Alya, siswi pindahan dari desa yang cantik alami. Ketakutan akan kehilangan perhatian Andre, kapten tim basket, mereka merancang rencana untuk menjatuhkannya. Alya harus memilih antara Andre, Bimo si pekerja keras, dan teman sekelasnya yang dijodohkan.
Menjadi cewek tegas, bukan berarti mudah menentukan pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benar Perjodohan itu
Bab12
Rina, Sari, Siska, dan Gea terdiam kaget saat melihat Arga mendekat. “Oh tidak!” bisik Sari dengan panik.
Arga terpeleset dan jatuh dengan keras, membuat keributan di sekitar tangga. Siswa-siswa lain segera berkumpul melihat apa yang terjadi. Beberapa dari mereka membantu Arga berdiri, yang terlihat kesakitan dan bingung.
Geng syantik berusaha menyembunyikan keterkejutan mereka dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Rina berbisik, “Kita harus pergi dari sini. Jangan sampai ada yang curiga.”
Mereka segera pergi dengan langkah cepat, meninggalkan keramaian. Namun, Alya yang melihat kejadian itu dari kejauhan hanya bisa tersenyum tipis. Dia tahu bahwa rencana mereka gagal lagi dan itu memberinya semangat lebih untuk terus melawan.
Arga dibantu oleh teman-temannya termasuk Bimo, setelah Arga duduk dengan baik di kelas, kemudian Bimo menghampiri Alya. “Kamu lihat tadi, Alya? Arga jatuh di tangga. Kayaknya ada yang sengaja pasang minyak di sana.”
Alya mengangguk. “Iya, aku lihat. Kita harus lebih hati-hati, Bimo. Geng syantik pasti ada di balik ini.”
Bimo menatap Alya dengan serius. “Kamu benar. Kita harus lebih waspada dan cari cara untuk mengungkap mereka.”
Pulang sekolah Lita mengajak Alya jalan-jalan ke mall, kebetulan selama Alya di kota belum sekali pun ke tempat-tempat ramai. “Aku izin Bibi dulu ya, nanti mereka nyariin,” ucap Alya.
“Kalau gitu, kamu ikut mobilku aja pulangnya. Kita ke rumahmu dulu. Pasti diizinin deh. Dari rumahmu kita langsung ke mall. Kalau aku sih gak perlu izin mama, papah,” pinta Lita menwarkan pada Alya.
“Lalu Bimo?”
“Tanya aja ke orangnya. Ikut gak?”
Bimo menggeleng. Katanya dia harus bantu ibunya belanja dan persiapan buat dagangan besok. Bimo juga harus belajar. Ada hal besar, yang Bimo kejar untuk masa depannya.
Setelah bel sekolah berbunyi, Alya dan Lita berjalan menuju gerbang sekolah. SMA Gemilang sore itu ramai dengan siswa-siswi yang pulang, beberapa masih berkumpul dan mengobrol di lapangan. Alya tersenyum saat Lita membuka pintu mobilnya, sebuah sedan hitam yang selalu terawat dengan baik.
"Yuk, Alya, kita langsung ke rumah kamu dulu buat izin ke paman dan bibimu," kata Lita sambil tersenyum, menunjukkan lesung pipitnya yang manis.
Alya mengangguk, "Iya, Lit. Harus izin dulu, biar nggak dikhawatirin."
Perjalanan menuju rumah Alya tak terlalu lama. Mereka melewati jalan-jalan kota yang ramai dengan anak-anak sekolah dan pekerja yang baru pulang. Di dalam mobil, mereka bercanda dan berbincang ringan, membicarakan rencana mereka di mal.
Sesampainya di rumah Alya, suasana tampak berbeda. Mobil yang tidak dikenali Alya terparkir di halaman. Hati Alya berdebar saat dia keluar dari mobil. Dia segera berlari masuk ke dalam rumah, meninggalkan Lita yang masih di mobil.
"Alya, ada apa?" Lita bertanya dengan heran, mengikuti Alya masuk.
Begitu masuk ke dalam rumah, Alya terdiam sejenak. Di ruang tamu, dia melihat orang tuanya duduk bersama paman dan bibinya. Ibunya tersenyum hangat melihatnya.
"Nak, kami datang lebih awal. Kamu sehat kan, Nak?" kata ibunya, memeluk Alya erat.
Alya merasa sangat bahagia. Sudah dua bulan dia tidak bertemu orang tuanya sejak pindah ke SMA Gemilang. Namun, kebahagiaan itu berubah menjadi kebingungan saat melihat seorang wanita paruh baya yang dikenalnya sebagai ibu Bimo, duduk bersama beberapa wanita lainnya yang sebaya dengan ibunya.
"Ada apa ini?" Alya bertanya-tanya dalam hati.
Alya menyapa mereka semua dengan sopan, tetapi pikirannya terus menerka-nerka maksud kedatangan tamu-tamu tersebut. Setelah berbincang sebentar, ibunya meminta Alya untuk ikut ke kamar.
"Ada yang mau Ibu bicarakan sebentar," kata ibunya dengan lembut.
Alya mengikuti ibunya ke kamar dengan perasaan was-was. Di dalam kamar, ayahnya sudah menunggu. Wajah mereka terlihat serius.
"Alya, kamu tahu kan, Ibu dan Ayah sayang sama kamu," ibunya memulai pembicaraan dengan nada yang lembut.
"Iya, Bu. Tapi kenapa ada banyak orang di luar? Ibu Bimo juga ada di sini," tanya Alya, langsung ke inti permasalahan yang mengganggu pikirannya.
Ayahnya menarik napas panjang. "Nak, Ibu dan Ayah memang punya rencana untuk menjodohkan kamu dengan salah satu anak teman Ibu."
Mendengar itu, hati Alya seperti tersentak. Dia merasa dadanya sesak. "Jadi... aku benar dijodohkan?" tanyanya pelan, menahan rasa kecewa dan marah yang mulai muncul.
"Ini untuk kebaikan kamu juga, Alya. Kami hanya ingin yang terbaik," kata ayahnya dengan tenang.
Alya merasa kacau. Ia ingin menolak dan marah, tetapi melihat wajah penuh harap dari orang tuanya, ia hanya bisa terdiam. Ia keluar dari kamar dengan langkah gontai, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.
Di ruang keluarga, Lita menunggu dengan sabar melihat wajah Alya yang murung. "Alya, kamu kenapa? Kok kayaknya ada yang nggak beres?" tanyanya setelah Alya ke luar dari kamar.
Alya berusaha tersenyum, walau sulit. "Nggak apa-apa, Lit. Yuk, kita jalan."
Dengan hati yang gundah, Alya akhirnya mengikuti Lita ke mobil. Di perjalanan menuju mal, Alya duduk diam, pikirannya berkecamuk. Ia merasa bingung dan kecewa.
Sementara itu, Lita yang menyadari ada yang tidak beres mencoba menghibur Alya dengan cerita-cerita lucu, tetapi Alya hanya menjawab dengan senyum tipis. Sepertinya memang ada sesuatu yang mengganggu Alya, Lita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi jika begitu.
Saat mereka tiba di mal, keramaian dan gemerlap lampu-lampu sedikit mengalihkan perhatian Alya, tetapi hatinya masih terasa berat. Di dalam pikirannya, ia terus bertanya-tanya tentang perjodohan itu. Dan entah kenapa, pikiran tentang Bimo yang tadinya membuatnya nyaman, kini justru membuatnya merasa ilfil.
Mereka berjalan di antara kerumunan orang, mengunjungi beberapa toko. Lita terus bercerita dengan ceria, berusaha membuat Alya tertawa, tapi Alya masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Di sebuah kafe, mereka duduk untuk beristirahat. "Alya, kamu kenapa? Kamu bisa cerita kok sama aku," kata Lita akhirnya.
Alya memandang sahabatnya itu. "Nggak apa-apa, Lit. Cuma lagi banyak pikiran aja," jawabnya, mencoba menenangkan diri.
Lita meraih tangan Alya, menggenggamnya erat. "Kalau ada apa-apa, cerita aja ya. Aku selalu ada buat kamu."
Alya tersenyum tipis, merasa sedikit lega mendengar kata-kata sahabatnya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa tantangan besar sudah menantinya di depan. Bagaimana ia akan menghadapi semuanya, masih menjadi teka-teki yang membuat hatinya gundah.
Malam itu, di tengah keramaian mal, Alya dan Lita berusaha menikmati waktu mereka. Namun, Alya tahu bahwa hidupnya tidak akan sama lagi setelah mendengar rencana perjodohan itu. Dan entah mengapa, bayangan Bimo kini justru membuat hatinya semakin berat.
Bersambung...