Bayangan indahnya hidup setelah sah menjadi seorang istri, tidak dirasakan oleh Mutia Rahma Ayunda, ternyata ia hanya dijadikan alat untuk mencapai ambisi suaminya , Rangga Dipa .
Setelah menikah, Rangga yang berasal dari keluarga kaya,berusaha mewujudkan semua mimpinya untuk memiliki fasilitas mewah dengan mengandalkan istrinya. Rangga hanya menafkahi Mutia dengan seenaknya, sebagian besar uangnya ia pegang sendiri dan hanya ia gunakan untuk kepentingannya saja, Rangga tidak peduli dengan kebutuhan istrinya. Sampai mereka dikaruniai anakpun, sikap Rangga tidak berubah, apalagi ia masih belum bisa move on dari mantan pacarnya, Rangga jadi lebih mengutamakan mantan pacarnya dari pada istrinya.
Kehidupan Mutia sering kali diwarnai derai air mata. Mampukah Mutia bertahan, dan akankah Rangga berubah?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cicih Sutiasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semua Ada Waktunya
"Mas...Mas...sudah..., kita sedang buru-buru kan?", Mutia mencoba mencegah Rangga untuk turun dari mobil.
Namun semua itu tidak mempan, Rangga sudah keburu keluar dan menghampiri pengendara itu.
"Kalau mau keluar itu tengok ksnan kiri dulu, jangan main nyelonong saja, kalau sampai kenapa-kenapa, aku tetap yang disalahkan", cerocos Rangga, ia bertolak pinggang dihadapan pengendara itu.
Tanpa banyak bicara, si pengendara itu membuka helmnya . Tampak rambut panjangnya tergerai bebas, ia tersenyum kepada Rangga.
"Maafkan saya Pak..., saya terburu-buru, saya harus segera sampai di kantor untuk interview, sekali lagi maafkan saya", tunduk wanita itu.
Melihat kecantikkan wanita dihadapannya, seketika hati Rangga luluh. Yang awalnya marah, kini berubah menjadi ramah.
"Kamu mau interview?, memangnya di kantor mana?, oh iya..., kenalkan saya Rangga", senyum Rangga.
"Saya Minarti...", sambut pengendara motor yang ternyata bernama Winarti.
"Oh...,Winarti..., nama yang cantik, secantik orangnya", senyum Rangga, matanya memindai tubuh indah Minarti.
"Saya sedang terburu-buru, ini kartu nama saya, kamu bisa datang ke Kantor saya, jika interview hari ini gagal", ucap Rangga sambil memberikan kartu namanya kepada Winarti.
"Oh..., baik Pak..., terima kasih, sekali lagi, saya minta maaf", senyum Minarti lagi.
"Tidak usah dibahas lagi, kita anggap selesai masalah ini, saya tunggu di Kantor ya", ucap Rangga lagi sambil mengerlingkan matanya ke arah Minarti.
"Iya..., terima kasih sebelumnya Pak", Minarti menunduk.
Rangga kembali menuju mobilnya dengan mengukir senyuman dibibirnya. Hal itu jelas saja membuat Mutia mentautkan kedua alisnya.
"Sudah selesai...?", tatap Mutia.
"Sudah..., kirain siapa...", senyum Rangga. Ia kembali melajukan mobilnya.
"Memangnya Mas kenal siapa orang tadi?",
"Tidak..., tapi sudah kenalan tadi", senyum Rangga, ia bahkan melambaikan tangan begitu mobilnya melewati sepeda motor Minarti.
"Oh..., pantesan...,sekali ya Mas...", gumam Mutia, begitu ia melihat seorang wanita bersama sepeda motornya, wanita itu juga tampak tersenyum dan membalas lambaian tangan Rangga.
'Semoga hanya di sini saja, kamu boleh mempunyai banyak teman wanita, tapi jangan sampai jatuh cinta sama mereka Mas', batin Mutia bicara.
Perkenalannya yang singkat dengan Rangga, membuat Mutia tidak begitu mengenali sifat Rangga.
Mungkin ini yang disebut',seperti membeli kucing dalam karung',Mutia belum mengetahui baik dan buruknya, tetapi sudah berani membayarnya.
"Sepeda motor itu kan yang hampir menabrak mobil kita tadi?", tanyai Mutia.
"Iya..., hampir saja...", ucap Rangga datar, namun ia masih tampak melemparkan senyuman kepada Minarni.
"Rupanya seorang wanita...,cantik sekali dia", gumam Mutia , ia pun bisa melihat Minarti yang membalas senyuman suaminya.
Mutia melirik sekilas ke arah Rangga, ia melihat rona wajah gembira di sana.
"Oh...iya Mutia, sebaiknya kita harus pindah dari rumah Papi, aku ingin kita memiliki rumah sendiri",
"Oh..., bagus Mas, jadi kita bisa lebih mandiri kalau sudah tinggal berdua, tapi..., rencananya kita mau tinggal dimana?",
"Nanti aku tunggu keputusan dari Kantor dulu, rencananya aku mau dipindah ke kantor cabang, nah di sana kita bisa sekalian mencari rumah",
"Oh..., baik kalau begitu, aku manurut saja, dan soal kerjaan aku, aku bisa minta mutasi juga ke tempat yang dekat dengan Kantor Mas yang baru, masih bisa diatur",
"Baguslah kalau begitu..., semoga minggu-minggu ini sudah ada keputusan yang pasti, biar kita sekalian capenya, urus-urus pindah Kantor, sekalian pindah rumah juga",
"Aku ikut saja Mas, asal selalu bersama, kemanapun , dimanapun, aku ikut saja", ucap Mutia sambil tersenyum.
"Aku mau..., kamu jangan banyak bicara ini itu kepada orang tuamu, apalagi kepada Mami dan Papi",
"Tenang saja Mas, aku ini bukan tife pengadu, aku akan menutup rapat semua aibmu, karena sejatinya aib suami itu adalah aib istri juga, jadi tenang saja Mas, aku juga tidak mau membuat orang tuaku kecewa", ucap Mutia .
Mendengar ucapan Mutia, Rangga hanya melirik sekilas, ucapan itu telak membungkam Rangga. Dalam hatinya ia mengakui kalau Mutia itu wanita baik dan penurut. Tapi walau begitu, hatinya masih belum bisa menerima Mutia sepenuh hatinya, Mutia hanya ia jadikan sebagai pelarian dan pelampias dari rasa kecewanya terhadap Sinta.
'Sinta..., kemana dia?, ponselnya juga sudah tidak bisa dihubungi, apa dia kecewa soal kejadian semalam?', batin Rangga bicara, ia masih memikirkan Sinta.
****
Sementara Bu Anggi dan Rani sebelum sampai ke rumah, mereka disuruh menemui Pak Dwi dulu di Peternakan bebeknya.
Sebenarnya Bu Anggi paling tidak mau di ajak ke sana, karena ia merasa jijik dengan bebek- bebek itu yang dianggapnya kotor dan bau.
Namun karena Pak Dwi yang meminta, ia tidak berani menolaknya, karena Pak Dwi juga sudah menunggu mereka di kedai bebek goreng miliknya.
Pak Dwi langsung menyambut kedatangan anak dan istrinya , ia menggandeng Rani menuju ke dalam kedai.
"Wah..., sudah jadi juga Pi..., kapan launcingnya nih", Rani tampak senang.
"Nanti sayang, belum kelar semua, kamu tolong bantu promosi juga dong, sama teman-teman di sekolah, biar mereka pada datang ke sini",
"Siap Pi..., gampang itu, Rani pasti akan bantu",
"Bagaimana Mi..., Rangga dan Mutia?", tatap Pak Dwi, ia beralih kepada istrinya.
"Ya..., Mami rasa tidak ada masalah, walau sempat melihat Rangga bersama Sinta, tapi sepertinya mereka terlihat baik-baik saja", ucap Bu Anggi .
"Mutia sudah mengetahui soal Sinta Pi, tapi sepertinya dia bisa menerimanya,Mutia pikir itu sebagai konsekuensinya menikah dadakan dengan Rangga, ya..., kasihan juga sih, tapi mau bagaimana lagi", imbuh Bu Anggi.
Kini mereka bertiga duduk di dalam kedai yang masih dalam tahap penyelesaian.
"Papi sudah menyuruh Sinta untuk menjauhi Rangga, Papi harap dia tidak ingkar janji",
"Sinta saja dipercaya Pi..., paling hanya sesaat, nanti juga ngejar-ngejar Rangga lagi",
"Papi sudah memberinya penawaran, dan dia setuju",
"Maksudnya..., Papi ..., memberinya sesuatu agar menjauh dari Rangga?", tatap Bu Anggi.
"Ya..., begitulah..., karena hanya itu yang dia incar dari anak kita",
"Tidak apalah Mi..., yang penting kehidupan Rangga dan Mutia ke depannya baik-baik saja",
"Oh..., pantesan Mami dan Rani cari dia, tidak ketemu, rupanya dia sudah kabur dengan imbalan dari Papi, dasar mata duitan", gerutu Bu Anggi.
"Papi malu Mi sama si Yuda kalau sampai Rangga membuat menderita hidupnya Mutia",
"Iya sih..., mudah-mudahan saja Sinta tidak ingkar janji, takutnya setelah uang habis, dia balik lagi mengejar Rangga ",
"Itu soal lain, kalau sampai Sinta berani kembali, dia akan berhadapan lagi dengan Papi",
"Semoga saja Rangga dan Mutia cepat punya anak, Mi..., biar Rangga berubah, masa dia tidak sayang sama darah dagingnya sendiri", ucap Pak Dwi penuh harap.
"Wah..., ternyata rumit juga ya masalah orang dewasa, Rani jadi ingin tetap terus begini saja, apa-apa tinggal minta", celetuk Rani.
"Eit..., ya tidak bisa begitu Ran..., semua akan ada waktunya, roda hidup itu berputar, semua akan dapat giliran, tidak akan senang terus, dan tidak akan susah terus juga", senyum Bu Anggi.