Pesona Janda Sultan

"DIAM!"

Walau kondisinya belum terlalu pulih, pekikan yang Amber gaungkan terdengar sangat kuat dan tegas. Rautnya murka mendengar pengakuan penikahan sandiwara putra dan menantunya itu.

"Aku memang bodoh, Ma. Aku minta maaf telah membohongimu." Kaivan spontan berlutut lalu meminta maaf untuk meredam emosi Amber. 

"Kai ...," lirih Sofia seraya menilik terkejut ke arah sebelah tepat di mana Kaivan berlutut.

"Aku menyadari bahwa aku sangat mencintai Sofia," aku Kaivan tulus.

"Tidak, Bu." Sofia turut melakukan hal yang sama dengan Kaivan, berangsur turun berlutut. "Bukan Kaivan saja, tapi aku pun sangat mencintai putramu," ungkap Sofia menatap penuh kesungguhan ke arah Amber dengan netra yang berkaca-kaca.

Kaivan sontak mengalihkan pandangan kepada mantan istrinya. Ungkapan terkahir barusan rupanya sukses menghadirkan sensasi kebahagiaan yang luar biasa di sanubari terdalam.

Jantung sang pria berdebar lebih kencang. Hasrat mendekap tubuh mungil Sofia semakin menjadi-jadi. Sungguh, demi apapun Kaivan tak akan pernah melepaskan Sofia. 

Walaupun bukan yang pertama, hati pria pengusaha sukses itu telah menetapkan pilihan bahwa Sofia adalah cinta terakhirnya.

"Kebohongan tetaplah kebohongan. Aku sangat benci bila dibohongi." Di saat kedua insan yang tengah di mabuk cinta itu memohon, Amber tetap pada pendiriannya. "Kalian sudah bercerai, bukan? tanyanya lagi.

Tak ada yang menjawab. Gamang hebat tergambar jelas di raut Kaivan dan Sofia. Keduanya hanya bisa terdiam seakan tak rela untuk membuka kebenaran yang satu ini yang mungkin akan membuat Amber lebih murka lagi.

Terlebih, Kaivan tahu betul tabiat sang mama yang kelewat tegas darinya. Tak ada yang bisa mengalahkan jika sang tetua sudah memutuskan sesuatu.

"Ch! Bagus. Kalau begitu aku sudah memutuskan bahwa kalian harus menikah ulang secepatnya!"

Bagai petir menyambar di siang bolong, wajah kedua insan yang sempat tertunduk lesu, kini mendongak terperangah. Mereka masih tak percaya. Takut-takut pendengaran keduanya menangkap ucapan yang keliru.

"Kau ... tidak marah?" tanya Kaivan memastikan.

"Siapa bilang! Aku tetap marah." Amber menghela napas sesaat. "Tapi kau tau bukan jika waktuku sudah tak banyak, Kai. Aku tidak ingin membawa amarah ke tempat peristirahatan terakhir nanti," lanjut Amber dengan nada bicara yang terdengar sendu.

"Tidak, Ma. Kau tidak akan pergi secepat itu. Kumohon jangan bicara seperti itu." Sembari memegang tangan sang mama, Kaivan membenamkan wajah di atas selimut yang menutupi kaki Amber.

"Kai benar, Bu. Kau tidak akan kemana-mana. Kau akan selalu bersama kami. Kami menyayangimu." Sofia turut menggenggam jemari Amber, memberi semangat kepada mantan ibu mertuanya agar selalu kuat. Sofia berjanji bahwa akan selalu menjaga Amber.  

"Hahaha, kalian ini. Diberi ijin malah bersedih. Tidak diberi ijin malah protes. Dasar pasangan aneh," ledek Amber di tengah situasi pilu.

Baik Kaivan maupun Sofia sama-sama menerbitkan senyuman terbaik dari belah ranum masing-masing. Kedua tangan mereka pun merengkuh tubuh paruh baya di hadapannya setelah Amber memberi tanda bentangan kedua tangan.

"Aku tau semua. Aku tau bahwa pernikahan kalian hanyalah sandiwara. Tapi, ini adalah hasil akhir yang kuharapkan," ucap Amber seraya mengawang, kembali pada ingatan beberapa bulan yang lalu.

Tak seperti kebanyakan Konglomerat yang mengadakan resepsi besar-besaran, usai pernikahan sederhana dengan pemuka agama, Kaivan dan Sofia tetap mengadakan resepsi pernikahan walaupun sederhana. Hanya keluarga dekat saja yang hadir.

Hal ini mengundang kecurigaan Amber saat itu walaupun alasan sang putra masuk di akal. Kaivan berkilah menunda resepsi spektakuler dan juga bulan madu karena faktor pekerjaan yang sedang padat.

"Tersenyumlah sedikit, Sof. Setidaknya, kini kau telah resmi menjadi istri konglomerat se—Asia," tutur Kaivan secara tiba-tiba saat itu.

Sang suami menghampiri Sofia yang sedang menyendiri di sebuah bangku taman Mansion. Setelah mengikat janji suci, Kaivan memutuskan menggelar resepsi private di Mansion miliknya.

"Ch! Istri kontrak lebih tepatnya," sahut Sofia sinis. Jauh dalam lubuk hati, wanita itu sangat menyesal menikah secara kontrak dengan pria asing demi melunasi hutang Daniel sang ayah. Sofia bahkan harus meninggalkan kekasih hati bernama Crish Emanuel pada saat itu.

"Shuuh! Bukankah kau telah membaca klausul kesepakatan?" Kaivan mendesis angkuh seraya mengingatkan kembali isi perjanjian pernikahan yang telah disepakati—di mana salah satu poinnya menyatakan bahwa Sofia harus menjalankan sandiwara dengan maksimal sebagaimana istri sah seorang sultan Asia. Keduanya pun berakhir dengan saling berdebat kecil sehingga tanpa disadari seseorang mendengarkan percakapan keduanya.

Sudah kuduga, pernikahan kalian memang mencurigakan. Awas saja. Aku akan memantau kalian berdua.

Nyatanya, Amber lah yang mendengar semua yang Kaivan dan Sofia bicarakan. Namun, Amber yang terlanjur bahagia karena Kaivan akhirnya mau melepas lajang di usia nyaris menyentuh kepala empat, memutuskan untuk memantau dengan tujuan mempersatukan Sofia dan putranya secara diam-diam.

Amber akui, ia sempat kecolongan karena Kaivan berhasil menceraikan Sofia. Namun, setelah dipikir-pikir, begitu lebih baik untuk sekadar menguji apakah kedunya sama-sama merasa kehilangan atau tidak.

Tentu saja, Bowie sebagai asisten pribadi Kaivan yang menjadi double agent, mata-mata untuk Amber. Melalui pria jangkung dengan khas kacamata beningnya, Amber memerintahkan Bowie untuk memantau gerak-gerik pasangan Sofia dan Kaivan.

Amber pun mulai merancang rencana bulan madu untuk perlahan mempersatukan pasangan yang diam-diam telah resmi bercerai.

Wanita paruh baya itu kini dapat bernapas dengan lega bahwasanya putra dan menantunya memutuskan untuk mengungkap kejujuran serta meminta restu untuk menikah ulang atas dasar saling mencintai satu sama lain.

...***...

Beberapa hari kemudian.

Seusai mendapat restu dari Amber Mahacara, tanpa membuang waktu, Kaivan mengerahkan segalanya merancang pernikahan spektakuler abad ini untuk Sofia seorang.

Meskipun Sofia berkali-kali menolak pernikahan mewah, Kaivan dan Amber tidak ingin mendengar alasan. 

"You deserve the world, My Love," ungkap Kaivan mesra sesaat setelah mengecup singkat pundak tangan calon istrinya sembari mengemudikan setir. Senyuman manis terulas seiring rona merah yang mulai menguar di pipi Sofia saat menatap calon suami.

Keduanya sedang dalam perjalanan menuju Ballroom hotel mewah yang telah disewa untuk menggelar acara pernikahan ulang.

Sesampainya di tujuan, jantung Sofia seakan terjun bebas diiringi bibir yang gemetar. Sang puan tak percaya tempat ia berpijak saat ini sangat indah dan mengagumkan. Tempat yang akan menjadi saksi cintanya berlabuh secara nyata esok hari.

Walaupun konteksnya adalah pernikahan ulang, tetapi tetap saja Sofia merasa bahwa pernikahan kali ini seolah nyata dan pertama.

DRTT!

Getar ponsel milik Sofia mendadak mengalihkan angan. Cepat-cepat ia merogoh alat komunikasi itu dalam clutch. "Kai?"

"Kai, kau di mana? Apakah semuanya baik-baik saja?"

Sesaat sampai di Ballroom, Kaivan meminta Sofia masuk lebih dulu ke dalam sementara pria itu izin untuk memastikan sesuatu. Namun, sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Kaivan tak kunjung kembali dan malah menelepon Sofia.

^^^"Semuanya baik-baik saja, Sayang."^^^

"Lalu kenapa kau belum kembali dan malah menelponku?"

TIINNNN!

Suara ramai klakson serta laju kendaraan tertangkap dalam percakapan diseberang sana.

"Kau di jalan raya? Sedang apa di sana?"

^^^"Uhm, sebenarnya aku ingin membawakanmu sesuatu. Tapi aku lupa bertanya. Kau suka bunga apa?"^^^

"Hehe. Aku menyukai mawar tapi aku tidak membutuhkan bunga. Cepat kembali, aku hanya membutuhkanmu."

Bak remaja yang tengah dimabuk jatuh asmara, keduanya saling melemparkan gombalan dalam sambungan telepon, hingga tanpa diprediksi sesuatu pun terjadi.

Ditengah percakapan, suara hantaman keras tiba-tiba menyeruak cukup memekak telinga, tepatnya di tempat di mana Kaivan berada.

"Kai!"

Tak ada jawaban dari Kaivan melainkan suara berisik klakson dan pekikan beberapa orang di sana yang mulai menggantikan, seolah sesuatu buruk telah terjadi.

"Kau masih di sana kan, Kai? Jawab aku!"