Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 30 Boleh Saya Mencium Anda?
Andini membuka paperbag yang Edwin berikan padanya. Matanya seketika berkaca-kaca saat melihat isi didalamnya. Edwin membelikan ikat rambut yang harganya tak seberapa namun yang membuat Andini terharu ialah tulisan didalamnya.
"Happy birthday," kata Edwin seraya tersenyum.
"Pak ...."
"Kamu suka?" tanya Edwin.
"Dari mana anda tahu kalau saya ulang tahun hari ini?" tanya Andini menatap Edwin ya masih tersenyum padanya.
"Saya pernah melihat CV kamu di kantor."
"Jadi anda diam-diam memperhatikan saya?"
"Tidak sengaja."
"Benarkah tidak sengaja? Bukan karena anda tertarik pada saya?" tanya Andini menggoda.
Edwin tersenyum, dia mencubit hidung kecil Andini. "Sedikit," ucapnya lalu memeluk Andini yang duduk disebelahnya.
Andini juga tersenyum dia membenamkan wajahnya didada Edwin. Rasa rindunya pada pria itu kini sudah terbayarkan dengan Edwin yang memeluknya erat.
Edwin mengusap rambut panjang Andini, lalu merogoh saku celana sebelah kanan dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.
"Saya punya oleh-oleh buat kamu," ucap Edwin seraya mengurai pelukannya pada Andini.
"Apa itu?" tanya Andini menatap Edwin lekat.
Edwin lalu memberikan benda kotak berisi sepasang anting berlian pada Andini.
"Kamu yang buka." Edwin menyerahkan benda kotak itu pada Andini.
Andini mengangguk, lalu membuka benda kotak yang Edwin berikan padanya.
"Ya ampun, Pak, ini cantik sekali," ucap Andini seraya mengambil anting berlian itu dan mengangkatnya.
"Silau saya melihatnya, Pak," kata Andini saat anting itu terkena sorot cahaya lampu diruangan itu. Andini bahkan menyipitkan matanya karena pantulan dari silaunya anting itu mengenai matanya.
Edwin tertawa, dia menggelengkan kepala merasa lucu dengan reaksi Andini diberi anting-anting itu.
"Kenapa Anda tertawa? Ini pasti mahal ya, Pak?" tanya Andini.
"Tidak juga. Sini saya pakai kan," kata Edwin lalu mengambil alih anting-anting ditangan Andini.
"Masa tidak mahal, sih, Pak? Berapa harganya?" tanya Andini.
"Seharga motor kamu," jawab Edwin lalu menyingkap rambut Andini yang menutupi telinga.
Edwin melepas lebih dulu anting emas yang ada ditelinga Andini lalu menggantinya menggunakan anting-anting yang baru saja diberikan.
"Cantik," puji Edwin mengusap pipi Andini yang memerah karena mendapat pujian darinya.
"Terima kasih ya, Pak, anda baik sekali. Tidak terhitung sudah berapa uang anda yang saya habiskan. Anda terlalu memanjakan saya dengan materi."
"Tak apa, An, saya senang bisa menyenangkan kamu."
"Selalu kalimat itu yang anda katakan," ucap Andini membuat Edwin tertawa lagi.
Memang benar kalimat itu yang selalu Edwin katakan pada Andini bila gadis itu merasa tidak enak menerima pemberian darinya. Andini sampai hafal karena terlalu sering mendengarnya.
"Saya akan makan malam disini. Bisa nanti kamu masakan sesuatu yang lezat untuk saya?" tanya Edwin.
"Tentu, Pak," jawab Andini cepat. Dia bahkan langsung bangkit dari duduknya.
"Mau kemana?" tanya Edwin menahan tangan Andini.
"Masak."
"Nanti saja, sekarang saya ingin ditemani nonton televisi," kata Edwin.
Andini mengangguk lalu kembali duduk disebelah Edwin. Edwin tersenyum senang karena Andini tak pernah menolak apa yang dia inginkan.
...****************...
"Sudah Papa katakan, jangan punya anak dari Edwin, kenapa kamu malah bulan madu dengannya?" tanya Pak Wisnu pada Mona yang datang ke rumahnya mengantarkan oleh-oleh.
"Edwin suami aku, Pa, hal yang wajar aku punya anak darinya," ucap Mona menyahuti.
"Tapi Papa tidak ingin memiliki cucu darinya, Mona."
"Pa, please, jangan larang aku punya anak dari Mas Edwin. Papa tahu karena masalah ini aku hampir bercerai dengan Mas Edwin. Aku tidak mau bercerai dengannya."
"Bukannya bagus kalau kalian bercerai. Kamu bisa nikah lagi dengan pria yang memang sudah Papa jodohkan denganmu dan kamu bisa punya anak darinya."
"Tidak, Pa, aku tidak mau itu terjadi. Aku mencintai Mas Edwin."
"Lalu bagaimana dengan karir dan hobi kamu?"
"Aku tetap diperbolehkan bekerja tapi untuk melukis sementara aku akan berhenti."
"Berhenti? Bukannya kamu sangat menyukai melukis kenapa kamu berhenti?" tanya Pak Wisnu.
"Aku terpaksa melakukannya, Pa, lagi pula hanya sementara," jawab Mona.
"Jangan bilang Edwin yang melarang kamu melakukannya?"
"Tidak, Pa, ini keinginan aku."
"Jangan bohong, Mona, Papa tahu Edwin banyak mengekang kamu. Kamu tak akan bahagia bila terus bersama dia, Mona."
"Mas Edwin memang mengekang aku, Pa, tapi aku lebih tidak bahagia bila kehilangan dia."
Pak Wisnu geram mendengar apa yang Mona katakan. Pak Wisnu ingin Mona memiliki suami setara dengan dirinya dan membebaskan Mona melakukan apa saja yang Mona inginkan karena karir dan hobi sudah melekat pada diri Mona.
Bukan seperti Edwin yang mengekang Mona melakukan ini dan itu.
"Sebentar lagi kamu akan menjadi direktur utama dan kamu akan lebih disibukkan dengan pekerjaan kamu. Papa tidak mau karena kekangan dari Edwin kamu mundur dari jabatan kamu, Mona."
Mona menggangguk. "Papa tidak perlu khawatir aku akan tetap berkarir dan tidak akan pernah mundur dari jabatanku. Hanya saja aku minta sedikit waktu untuk meyakinkan Mas Edwin. Aku tidak mau kehilangan dia aku juga tidak mau meninggalkan karir dan hobiku. Jadi ku mohon Papa mengertilah."
...****************...
Edwin merebahkan kepalanya dipangkuan Andini dengan pandangan menatap ke layar televisi. Mereka sedang menikmati siaran berita. Andini mengusap rambut Edwin yang sudah panjang dari terakhir kali dia menyentuhnya.
"Rambut anda minta dicukur, Pak," kata Andini menunduk menatap Edwin yang memejamkan matanya.
Edwin tersenyum Andini sangat memperhatikan dirinya sementara Mona selama satu minggu pergi bulan madu saja bahkan tak pernah memperhatikannya seperti ini.
"Saya belum sempat cukur," kata Edwin lalu membuka matanya yang tadi terpejam.
Edwin memposisikan tubuhnya jadi terlentang, menarik tangan Andini lalu ia sentuhkan ke rahangnya yang terdapat rambut-rambut disana.
"Ini juga belum saya cukur," kata Edwin.
"Iya, Pak, sudah terlihat panjang," kata Andini mengusap rahang Edwin.
Edwin kembali memejamkan matanya menikmati sentuhan Andini yang mengusap rahangnya. Tangan Andini lalu menyusuri wajah Edwin, menyentuh alisnya, hidungnya dan juga bibirnya. Andini menghentikan tangannya saat menyentuh bibir Edwin, jarinya mengusap bibir pria itu.
"Pak, boleh saya mencium anda?" tanya Andini kemudian.
Edwin membuka matanya, menatap wajah Andini dari bawah lalu tersenyum. Dia mendudukkan tubuhnya disebelah Andini, mengangkat tubuh gadis itu untuk duduk di pangkuannya.
"Cium saya sesuka kamu, Andini," kata Edwin memberi izin.
Andini tersenyum, dia mendekatkan bibirnya pada bibir Edwin, menempelkan lebih dulu barulah menciumnya. Andini membuka mulutnya, menggerakkan lidah, mellumat, menyesap bibir Edwin dan menggit kecil bibir itu. Ini pertama kalinya Andini mencium Edwin lebih dulu. Meski malu namun Andini menginginkannya.
Mereka saling berpagut cukup lama, tubuh mereka saling berdesir menginginkan lebih dari itu namun Andini menghentikannya.
"Terima kasih, Pak, sudah mengizinkan saya mencium anda," kata Andini seraya mengusap bibir Edwin yang basah.