Salahkah apabila seorang ayah—walaupun tidak sedarah—mencintai anak yang diasuhnya, dan cinta itu adalah cinta penuh hasrat untuk seorang pria pada kekasihnya.
"Akhiri hubungan kita! setelah itu Daddy bebas bersama Tante Nanda dan Hana juga akan bersama dengan pria lai ..."
Plakkkkkkkkk...! suara tamparan terdengar. Wajah Hana terhempas kesamping dengan rambut yang menutupi pipinya, karena tamparan yang diberikan Adam begitu kuat.
Hana merasa sangat sakit terlebih pipinya yang
sudah ditampar oleh Adam. Serasa panas di pipi itu,
apalagi dihatinya.
"Jangan pernah katakan hal itu lagi, sampai kapanpun kamu tetap milik Daddy, siapa pun tidak berhak memiliki kamu Hana." teriak Adam dengan amarah yang memuncak menatap tajam wanitanya. Ia menarik Hana dalam pelukannya.
"Daddy egois, hiks hiks." Hana menangis sembari memukul dada bidang Adam.
Apakah mereka akan tetap bersatu disaat mereka tak direstui? Bagaimana Adam mempertahankan hubungan mereka?
Nantikan kisah mereka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaylakay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pertengkaran antara Adam dan papinya
Mobil yang dikendarai Aryo sudah memasuki rumah kakek Barack, saat satpam membukakan gerbang untuk mereka.
Tampak di-sana sudah terlihat mobil Adam dan juga satu mobil lainnya. Aryo kemudian menghentikan mobilnya. Pria itu lalu berlari pelan kearah pintu mobil Hana, lalu membukakan pintu untuk Nona-nya.
Saat turun dari mobil itu, Hana menatap mobil yang satunya lagi dengan bertanya tanya. Apakah ada tamu selain dirinya dan Adam.
"Saya langsung balik, Nona dan Tuan Adam yang akan balik bersama saat pulang nanti." ucap Aryo kepada Hana.
"Tapi Om .... Temenin Hana masuk kedalam ya, please!" ucap Hana dengan wajah memohon sambil mengatupkan kedua tangannya didepan.
Karena ia masih merasa canggung berada di rumah kakek Barack dan ini pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di rumah itu. Selama ini kakek dan juga Oma Ani memang yang paling sering berkunjung ke rumah Adam, jadi tak heran jika Hana baru pertama kali ke rumah itu.
"Tapi Nona, ini makan malam keluarga dan saya tidak diwajibkan untuk bergabung." ucap Aryo.
"Tapi Om Aryo juga udah dianggap sebagai keluarga Daddy. Ayolah temenin Hana kedalam!" Hana masih juga memohon.
"Maaf Non, saya tetap nggak bisa." Aryo tetap menolak permintaan Hana.
Hana tak menyerah begitu saja ia terus membujuk pria dewasa itu agar mau menemaninya masuk. "Om bantuin Hana ya please, Hana belum terbiasa dan takut masuk kedalam, Hana mohon bantuin Hana!" bujuk Hana dengan tangannya sudah memegang telapak tangan Aryo, mencoba membujuk pria itu.
Lantas Aryo membulatkan matanya terkejut. Ia takut jika nantinya Adam melihat Hana memegang tangannya, ia bisa kena amukan oleh pria bertubuh kekar itu. Membayangkan pukulan waktu itu saja, sudah membuatnya bergidik ngeri.
Saat Aryo akan melepaskan tangan itu, suara bariton dengan nada dingin mengejutkan mereka berdua. Aryo terpaku dan tidak bisa lagi menggerakkan tubuhnya karena sudah begitu gugup. Ia sudah mengenal asal suara itu milik siapa.
Sementara Hana mengalihkan pandangannya kearah pria yang berada tak jauh dibelakangnya. Karena posisi mereka membelakangi pintu masuk rumah itu.
"Hana! Kalian sedang apa?" satu pertanyaan terlontar dari mulut pria tegap itu, yang sedang berdiri dengan tatapan tajamnya.
Adam yang tadinya berada didalam menunggu Hana tapi wanita itu tak kunjung tiba, hingga membuatnya melangkah ke-depan untuk melihat apakah Hana sudah tiba atau belum. Dan saat keluar Adam melihat Hana memegang tangan Aryo.
"Daddy!." satu kata itu keluar dari bibir Hana saat melihat daddy-nya sudah berdiri didepan pintu rumah tersebut. Hana dengan cepat melepaskan tangan Aryo. Ia takut Adam menjadi salah paham atas apa yang ia lihat.
Adam menatap tajam kedua manusia itu. "Kalian ngapain disitu? Dan kamu Hana! kenapa kamu nggak masuk kedalam dan malah berdiri disini sama Aryo di depan rumah." sahut Adam dengan nada membentak.
Hana dengan cepat berlari mendekati Adam. "Hana bukan nggak mau masuk Dad, tapi Hana takut." ucap Hana dengan suara yang sudah terdengar ingin menangis.
Adam menarik nafasnya kasar melihat wajah hana yang sudah seperti itu, pria matang itu tidak akan bisa jika melihat Hana yang sudah menampakkan wajah sedihnya seperti ini.
Adam Kemudian mengarahkan pandangannya kearah Aryo, yang masih berdiri kaku di tempatnya. "Dan kamu! kenapa masih di sini? Cepat kembali!" usir Adam dengan nada membentak.
"Iy .... iyah Tuan." sahut Aryo dengan gugup, lalu dengan cepat melangkah masuk kedalam mobilnya untuk pergi.
Saat Aryo sudah menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah besar itu, Adam lalu menatap Hana dengan tatapan menyelidik. "Kalian ngapain tadi, pake pegangan tangan segala." ucap Adam tidak suka.
"Daddy salah paham, tadi Hana takut masuk sendirian. Makanya Hana bujuk om Aryo, buat temenin Hana kedalam. Tapi Om Aryo nya nggak berani, makanya Hana terus maksa sampai pegang tangan Om Aryo kayak tadi." Hana menjelaskan panjang lebar.
Adam hanya diam mendengarkan penjelasan Hana. "Dad .... Daddy marah?" tanya Hana menatap daddy-nya dengan wajah yang sudah terlihat khawatir.
"Ayo masuk, kakek sama Oma udah nungguin kamu dari tadi." sahut Adam menarik tangan Hana, untuk masuk kedalam.
Hana mengikuti langkah kaki daddy-nya dengan satu tangannya dipegang oleh Adam. Mereka terus melangkah hingga sampailah mereka di dalam dining room tersebut.
Oma Ani yang sedang asik berbicara sesekali tertawa dengan Nanda di ruangan tersebut, menghentikan pembicaraan mereka. Oma menatap Hana dengan senyum senang.
"Cucu Oma udah datang, ayo ke sini!" ucap Oma Ani menyambut Hana dengan wajah senang.
Nanda mengalihkan kan juga matanya kearah gadis yang baru saja masuk bersama Adam. Ia menatap dari ujung kepala dengan wajah menelisik, hingga kedua matanya jatuh pada kedua tangan yang saling bertautan.
Ia menatap dengan wajah yang sudah terlihat bertanya tanya. Ia lalu menatap Oma Ani meminta penjelasan dari semu ini. Oma Ani yang mengerti dengan tatapan itu dengan cepat menjelaskan.
"Dia Hana, anak angkatnya Adam. Sini Hana kenalan sama Tante Nanda!" panggil Oma dengan senyum senang.
"Jadi yang dimaksud Hana itu, adalah anak angkatnya Adam?" batin Nanda sambil menatap Hana.
Tatapan Hana yang sedari tadi tertuju pada Nanda, kini Hana mengarahkan pandangannya kearah Adam dengan wajah yang sudah terlihat bertanya tanya.
"Ayo, kita duduk!" Adam menarik tangan Hana pelan untuk bergabung dengan mami dan juga Nanda di meja makan itu.
Hana bergeming di tempatnya saat tangannya ditarik oleh Adam. "Dad! ... satu kata itu terucap oleh Hana pelan, dengan nada yang sudah terdengar sendu.
"Tidak apa apa, ayo!" ucap Adam tersenyum kecil kepada Hana. Ia lalu menuntun tubuh Hana berjalan kearah kursi makan itu. Ia menarik satu kursi tepat disampingnya untuk Hana.
"Ayo duduk!" ucap Adam dengan nada lembut.
Gerak gerik Adam diperhatikan sedari tadi oleh Nanda. "Apa sebegitu perhatiannya, Adam sama anak angkatnya?" batin Nanda bertanya tanya.
Terlihat seperti perhatian seorang pria pada kekasihnya. "Atau jangan-jangan? ...." hal hal negatif sudah menghantui pikiran Nanda.
"Emang gitu Nan, Adam memang begitu sayang sama anaknya." ucap Oma Ani pada Nanda sambil tersenyum menggelengkan kepalanya.
"Oh Iyah? Adam sebegitu sayangnya, sama anak angkatnya?" tanya Nanda kepada Oma.
"Hem .... jadi nggak usah heran." ucap Oma Ani.
"Mi aku dengar loh kalian ngomongin aku." ucap Adam tiba tiba. Sedari tadi ia mendengar percakapan keduanya karena posisi mereka saling berhadapan.
"Hahaha, soalnya calon istri kamu pengen tahu sayang." ucap Oma Ani tertawa.
Deg
Hana langsung terpaku ditempatnya saat mendengar pernyataan Oma Ani. "Calon istri? jadi memang benar? kalau Tante yang didepan ini, adalah wanita bernama Nanda yang akan dijodohkan dengan Daddy?" diam diam Hana tersenyum kecut ditempatnya.
Malang sekali nasibnya. Ia pikir Daddy-nya akan menghentikan perjodohan mereka, tetapi apa sekarang? Ia malah diundang makan malam hanya untuk melihat seperti apa rupanya, calon istri Daddy-nya itu.
Adam melirik kearah Hana, ia menatap wajah Hana yang sudah terlihat sendu. Adam lalu meraih tangan Hana dibalik meja tersebut. Ia mengeratkan genggaman tangannya dibawah sana.
Hana mengalihkan pandangannya kearah bawah dimana tangannya yang sudah digenggam oleh daddy-nya.
Lalu memindahkan lagi arah matanya di-wajah pria itu. Tampak satu senyuman terukir untuk dirinya dari pria itu. Adam mencoba meyakinkan dirinya dari senyuman yang ia berikan.
Hana tidak membalas dan mengalihkan pandangannya kearah depan. Adam tahu jika Hana akan pasti kecewa dengan apa yang ia lihat ini.
"Dia sudah datang." suara pria tua terdengar saat memasuki ruangan itu.
Tampak kakek Barack baru saja kembali karena sedang menerima telepon dari teman lamanya.
Keempat orang itu mengalihkan matanya kearah kakek Barack. "Udah selesai telponnya Pi?" Oma Ani menanyakan suaminya.
"Udh." jawab kakek Barack lalu duduk di kursi tepat di dekat istrinya.
Pria tua itu kemudian menatap Hana. "Lain kali jangan buat orang menunggu kayak tadi." ucap pria tua itu dengan nada mengintimidasi. Ucapannya itu ditujukan oleh Hana semata.
Adam menatap daddy-nya tidak suka. "Pi ... Jangan mulai! Hana juga nggak sengaja lakuin itu. Ini semua karena Adam makanya, Hana agak terlambat datang ke rumah papi." ucapnya tak kalah dingin.
"Terus aja manjain anak kamu tu. Kalau terus kayak gitu, anak kamu nggak akan bisa bertanggung jawab atas segala masalah yang dia perbuat." ucap kakek Barack dengan nada kesal.
"Pi_" ucapan Adam disela cepat oleh Hana.
"Dad .... udah! emang benar kata kakek, aku yang salah karena buat kalian jadi menunggu. Maafin Hana kek." ucap Hana dengan wajah bersalah.
"Kamu nggak salah, untuk apa minta maaf." Adam menatap kesal kearah Hana, karena Hana memilih menyalakan dirinya sendiri.
"Udah udah, kalian kenapa jadi berantem gini sih? ngga enak sama tamu loh, Nanda jadi bingung kan lihatin kalian berantem kayak gitu." Oma Ani menghentikan perdebatan mereka.
Sementara Nanda menyaksikan perdebatan mereka dengan tatapan yang sudah terlihat tidak suka. Ia bukan mempermasalahkan Adam dan papinya berdebat, tetapi karena Hana. Karena kedatangan Hana membuat kekacauan itu terjadi.
Padahal sebelum Hana datang semuanya baik baik saja dan tidak terjadi masalah apapun tapi kedatangan Hana malah membuat semuanya menjadi kacau. Rasanya ia begitu kesal dengan gadis berusia sembilan belas tahun itu.
Diam diam ia memberikan tatapan tidak suka pada Hana.
Perdebatan dari kedua pria itu terhenti saat Oma Ani menghentikan perdebatan mereka. "Ayo kita lanjutkan dulu makannya!" ucap Oma.
Mereka pun melanjutkan makan mereka tanpa adanya obrolan. "Maafin kami ya Nanda! karena kamu diharuskan melihat perdebatan tadi." ucap Oma tidak enak pada Nanda.
Nanda Kemudian menghentikan makannya, "Nggak apa apa kok Tante, Nanda nggak permasalahkan itu." ucap Nanda tersenyum kearah Oma.
Adam, kakek dan juga Hana menatap kearah keduanya. "Kayaknya Oma sayang banget sama Tante Nanda." gumam Hana dalam hati. Hana merasa bersalah melihat hal itu, sekaligus iri.
Apa Oma akan kayak gitu juga sama aku? kalau tahu Daddy sama aku punya hubungan lebih dari anak dan ayah angkat?" hatinya begitu bertanya tanya.
"Kamu kenapa? Hmm." Adam menatap Hana yang terlihat murung.
"Nggak." ucap Hana lalu tangannya meraih sendok dan menyuapkan makanan ke-mulutnya. Ia sebenarnya tidak ingin makan tetapi karena untuk mengalihkan pertanyaan daddy-nya, membuat ia terpaksa menyuapkan makanan kedalam mulutnya.
Barack memperhatikan sikap Adam kepada Hana sedari tadi. "Mengenai tanggal pertunangan kalian, om Kendra dan juga papi sudah memutuskan untuk diadakan bulan depan." ucap kakek Barack tiba tiba.
Kalimat itu berhasil menghentikan pergerakan keempat orang di meja itu, dengan reaksi yang berbeda beda. Oma dan Nanda terlihat begitu senang atas keputusan itu. Sementara Adam terkejut dengan apa yang diputuskan Daddy tanpa membicarakan dulu dengannya, jangan ditanya reaksi Hana seperti apa.
Yang jelas wanita itu menahan perasaan sakit bercampur hancur saat itu juga. Cinta yang selama ini ia pertahankan akan terlepas begitu saja karena Daddy-nya akan menjadi milik orang lain.
Ia berusaha agar tidak menangis didepan mereka. Hana memaksakan senyuman penuh luka itu menghiasi wajahnya. Ia berusaha mati matian agar tidak terlihat rapuh didepan mereka.
"Keputusan macam apa yang Daddy lakukan! Tanpa menanyakan aku setuju atau tidaknya, Pi! apa itu cara kamu memaksakan sesuatu!" Adam dengan nada yang sudah terdengar emosi.
"Bukannya kamu udah setuju waktu itu, lalu apa lagi yang harus ditanyakan sama kamu?" beliau menatap Adam dengan tersenyum meledek.
"Tapi tidak dengan keputusan Daddy yang memutuskan melakukan pertunangan itu bulan depan. Adam nggak pernah bilang kayak gitu papi!" Teriaknya dengan amarah yang memuncak.
Sontak ketiga wanita itu tersentak kaget sekaligus takut dengan amarah Adam. Hana sudah begitu gelisah ditempatnya menatap daddy-nya yang dipenuhi amarah.
Kakek Barack menatap Adam dengan tersenyum sinis, tidak menyangka Adam akan seperti ini. Ia melirik ke arah Hana yang berada di samping Adam.
"Karena kedatangan anak itu di dalam kehidupan kamu, membuat kamu jadi Adam yang tidak papi kenali lagi. Itu semua karena anak itu, karena dia! kamu jadi bersikap kurang ajar sama papi kamu sendiri. Anak itu membawa dampak buruk sama kamu!" ucap kakek Barack menunjuk kearah Hana dengan nada yang sudah meninggi.
"Pelan kan suara papi didepan Hana! Adam nggak suka siapapun membentak Hana, termasuk papi!" ucap Adam dengan nada yang sudah terdengar berat. Tatapan elang itu ia berikan kepada daddy-nya.
Oma Ani yang menyaksikan pertengkaran suami dan anaknya, menjadi sedih. Harapan ingin makan malam bersama dengan tenang, malah menjadi berantakan seperti ini. Nanda mencoba mengelus pundak Oma Ani untuk menenangkan beliau.
Nanda juga tidak tahu harus melakukan apa dengan pertengkaran mereka. Yang jelas ia sudah merasa emosi pada satu wanita yang berada di samping Adam.
"Dad .... Hana mohon, jangan lakuin itu. Ini semua karena Hana, karena kedatangan Hana di makan malam kalian makanya jadi kacau kayak gini. Harusnya Hana ngga datang." ucapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Adam menatap manik wajah Hana. Ia merasa ikut terluka melihat Hana.