Zahira terpaksa menerima permintaan pernikahan yang diadakan oleh majikannya. Karena calon mempelai wanitanya kabur di saat pesta digelar, sehingga Zahira harus menggantikan posisinya.
Setelah resepsi, Neil menyerahkan surat perjanjian yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi suami istri selama 100 hari.
Selama itu, Zahira harus berpikir bagaimana caranya agar Neil jatuh cinta padanya, karena dia mengetahui rencana jahat mantan kekasih Neil untuk mendekati Neil.
Zahira melakukan berbagai cara untuk membuat Neil jatuh cinta, tetapi tampaknya semua usahanya berakhir sia-sia.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Ikuti terus cerita "100 Hari Mengejar Cinta Suami" tentang Zahira dan Neil, putra kedua dari Melinda dan Axel Johnson.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.22
Dengan perasaan kesal dan terpaksa, Maureen menemani Nathan menyusuri jalanan tempat tinggalnya. Hanya untuk mencari cctv, Maureen membuang napasnya dengan kasar.
Ada rasa sesal, karena telah mengusir Cherry. Yang ternyata bernama asli Zahira.
"Cepat, kenapa jalanmu lama." Omel Nathan, membuat Maureen jadi cemberut dibuatnya.
"Iya, iya. Sabar," ketusnya, lalu mengejar langkah Nathan. Sampai pada akhirnya dia menemukan cctv, di dekat salah satu toko yang menjual souvenir.
"Hey! Tuan, disana ada cctv." Maureen menunjuk ke salah satu bangunan.
Tanpa kata Nathan langsung menuju toko tersebut, Maureen pun mengikuti dari belakang. Semuanya sangat mudah bagi Nathan hanya dengan uang, Maureen menatap Nathan yang sangat serius menatap laptop.
Seketika Maureen pun terpesona, tapi jika di ingat Nathan sangat dingin dan tak banyak bicara. Nathan pun berbincang dengan pemilik toko, dan pemilik toko tersebut memberitahu memang pernah ada yang mencari pekerjaan lalu tak pernah terlihat lagi.
Setelah mengucapkan terima kasih, Nathan keluar dari toko tersebut. Dan menuju ke arah utara sesuai arahan si pemilik toko.
"Kenapa, kita tidak memakai mobil saja. Tuan?" tanya Maureen, bukan apa-apa hanya saja kakinya sudah pegal.
Nathan menatap Maureen dengan datar, lalu melanjutkan langkahnya tak peduli dengan keluhan Maureen.
"Astaga, ya Tuhan ku. Apa ini hukuman mu karena aku mengusir Zahira?" gumamnya dalam hati, ingin rasanya dia meninggalkan lelaki yang mengaku sebagai kakak ipar Zahira.
"Heh ... Kemana dia? Keterlaluan sekali, aku di tinggal." Gerutu Maureen, dia pun duduk di pinggir jalan sambil memijat kakinya.
Tak lama Nathan datang dengan sepeda, yang di belakangnya terdapat boncengan.
"Ayo naik," titah Nathan, Maureen mengerjapkan matanya dan menatap sepeda dan Nathan bergantian.
"Atau, kamu mau berjalan kaki saja. Hem?"
"Ba-Baiklah, Tuan." Dengan segera, Maureen duduk di boncengan belakang, dia memeluk pinggang lelaki tersebut membuat keduanya merasakan debaran aneh. Untuk pertama kalinya.
Nathan mematung sejenak, memang dia tak pernah dekat dengan perempuan manapun. Tak seperti Neil, yang sering gonta ganti perempuan. Maureen pun tak jauh beda, dia tak pernah berpacaran karena Julian yang protektif padanya. Dulu lelaki yang mencoba dekat dengan Maureen, selalu di tanya aneh-aneh oleh sang kakak sampai lelaki tersebut mundur.
Mereka berdua menyusuri jalanan desa penghasil anggur tersebut, pemandangan yang indah menjadikan mereka berdua seperti sedang berkencan saja.
****
Sementara itu di apartemen Livia, Neil sudah beberapa hari ini menjadi pengangguran dan Livia juga sudah tahu, tentang cafe Neil yang diambil alih oleh Ana. Livia juga selalu mengingatkan Neil tentang uang yang sudah Neil pinjam.
"Sayang, coba kamu cari kerja." Ujar Livia.
"Cari kerja itu, gak mudah Via." Balas Neil, bukan tidak mudah hanya saja dia enggan. Untuk apa cari kerja, jika dia sendiri sudah memiliki usaha. Bisa dipastikan jika dia mencari kerja, maka Axel tak akan memudahkan usahanya tersebut.
"Lalu, sekarang kamu numpang hidup. Gitu sama aku?" tanya Livia.
"Iya, hanya untuk sementara. Kalau Mommy dan Daddy kembali, aku akan meminta mereka mengaktifkan kembali kartu ku." Kata Neil, dengan tenang lalu kembali memainkan ponselnya.
Livia hanya berdecak kesal, duduk di sebelah sang kekasih dan mengusap perutnya yang kini sudah terlihat membesar.
"Gimana, kalau kita di rumah mu saja. Neil, setidaknya disana kita bisa mendapatkan makan. Kalau di sini, setiap hari kan beli." Kata Livia, membuat Neil meliriknya sekilas.
"Baiklah, kita pulang ke rumah ku. Tapi, kamu harus bersikap baik, Via." Ujar Neil, dijawab anggukan oleh Livia. Setidaknya dia akan merasakan kemewahan di rumah keluarga Johnson.
"Ya sudah, aku bersiap dulu." Dengan semangat, Livia masuk ke dalam kamar membereskan barang-barangnya.
Neil menghela napas dengan pelan, dia ingat kata Erik saat itu.
"Gue bantu lo, karena gue peduli." Celetuk Erik, saat itu setelah keluar dari cafe Erik mengantar Neil ke tempat Livia.
"Ya, lo emang sahabat gue. Yang bisa diandalkan, Rik. Walau lo harus mengkhianati kepercayaan adik gue." Papar Neil.
"Udah gue transfer buat sehari-hari lo aja, setidaknya lihat bagaimana perangai Livia yang sebenarnya? Tanpa harta lo!" Pungkas Erik, Neil pun menerima perkataan Erik dan melakukan dengan baik. Dia ingin membuktikan pada orang tuanya dan seluruh keluarga, bahwa Livia bukan wanita materialistis.
"Sayang ayo, aku udah siap."
Membuat lamunan Neil buyar, dan menatap Livia yang terlihat cantik dengan dress hamil. Ada dua koper di dekatnya, membuat Neil mengerutkan keningnya.
"Kamu mau, pindah atau gimana sayang?" tanya Neil.
"Engga sih, sampai kamu dapat kerja lagi. Ini semua keperluanku, baju, dress, make-up, alat mandi, skincare." Ucap Livia, menyebutkan semua barang bawaannya.
"Sudah cukup sayang, ayo. Aku sudah pesan taxi online,"
Neil membantu Livia membawa kopernya, sedangkan dirinya hanya satu saja. Karena satu lagi bersama Zahira.
"Zahira, semoga kamu baik-baik saja." Ucap Neil dalam hati, setiap malam dia selalu mengingat Zahira. Dia tak pernah menanyakan kabarnya pada sang Oma, yang diyakini Zahira pasti baik-baik saja.
"Neil, ayo." Teriak Livia, karena Neil tiba-tiba melamun sedangkan dia sudah pegal menahan pintu lift.
Neil pun mengangguk, semoga keputusannya mengajak Livia ke rumah adalah yang terbaik.
"Tuan, mereka pergi meninggalkan apartemen." Kata Egi melaporkan, pada Miller. Egi selalu mengawasi Livia dan Neil, dan baru kali ini mereka turun ke bawah.
"Ikuti mereka, kemana mereka pergi. Aku tidak ingin Livia ingkar janji," balas Miller.
"Baik, Tuan. Anda tenang saja."
Egi menyimpan ponselnya, setelah Miller mematikan sambungannya. Dia mengikuti taxi yang keluar dari kawasan apartemen, Egi heran mengapa Neil tidak menggunakan mobil.
Livia sadar bahwa Egi mengikutinya, dia harus tenang menghadapi masalahnya dengan Miller. Tentang janjinya pada lelaki tersebut, Livia mana bisa memberikan sebagian harta Neil pada Miller lebih baik dia yang menikmatinya sendiri.
****
Berpuluh menit kemudian, taxi yang membawa Neil dan Livia sudah sampai. Satpam yang menjaga rumah tersebut memandang rekannya.
"Gimana ini, No. Nyonya dan Tuan gak ada, nona Ana dan den Nathan juga." Kata Pak Maman pada Jono.
"Gak tau, mereka gak ada kasih pesan lagi." Sahutnya.
"Jadi gimana, mau kasih masuk? Entar kita yang kena lagi,"
"Pak, buka pintunya." Pinta Neil dengan berteriak.
Pak Maman dan Pak Jono pun melangkah keluar dari pos jaga, mereka memandang Neil dengan lekat.
"Mas Neil, bukannya ada di Swiss?" tanya Pak Jono.
"Sudah Pak, buka saja. Saya lelah berdiri terus," sela Livia, dengan nada ketus.
Pak Maman dan Pak Jono saling pandang, dan menatap Neil.
"Maaf ya Mas, saya diperintahkan untuk tidak membiarkan anda masuk." Beritahu Pak Jono.
"Kenapa? Saya anak pemilik, rumah ini Pak. Apa bapak ingin saya pecat?" tanya Neil.
"Pecat saja, sayang." Kata Livia mengompori.
"Maaf Mas, sekali lagi. Saya tidak bisa membiarkan
anda dan nona Livia masuk," kata Pak Jono dengan tegas, toh yang menggaji mereka adalah Axel bukan Neil.
"Pak, saya mohon izinkan saya masuk." Pinta Neil, kini dengan wajah memelas penuh permohonan.
"Sudah sayang, buka saja." Titah Livia, Neil pun membuka paksa pagar rumahnya dua penjaga tak bisa berbuat banyak. Dia tidak bisa melukai wanita hamil dan anak dari majikannya.
"Siapa, yang menyuruhmu, masuk?" celetuk Ana dari belakang Neil dan Livia.
"Ana, Mo-mommy, Daddy." Gumam Neil, dia merasakan kebencian dari mata kedua orang tuanya. Bahkan dia bisa melihat wajah Melinda yang pucat.
Bersambung ...
Maaf typo
emang enak