Hanna Mahira adalah seorang wanita berumur 27 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan staff keuangan pada sebuah cabang dari perusahaan ternama. Anna panggilannya, menjadi tulang punggung keluarga. Setelah ayahnya meninggal dunia, semua kebutuhan hidup ada di pundaknya.
Dia memiliki adik perempuan yang sekolah dengan biaya yang di tanggungnya.
Anna mencintai atasannya secara diam-diam. Siapa sangka jika sang atasan mengajaknya menikah. Anna seperti mendapatkan keberuntungan, tentu saja dia langsung menerima lamaran sang bos tersebut.
Namun, di hari pertamanya menjadi seorang istri dari seorang David Arion Syahreza membawanya pada lubang kedukaan.
Sebab di hari pertamanya menjadi seorang istri terungkap fakta yang amat menyakitkan. Bahwa David sang suami yang sangat Anna cintai mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan terbesar yang dia lakukan.
Ada apa sebenarnya?
Anna berusaha menyingkap tabir rahasia David dan berusaha tegar atas pernikahan tersebut.
Baca kisahnya dan temani Anna mengungkap rahasia besar David
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 30
Menjelaskan semua kesalahpahaman kepada ibu menjadi sesuatu yang paling menyedihkan.
Tersenyum di kala hati merasakan sakit, menjadi kekuatan tersendiri. Aku bukanlah orang yang kuat, tapi terus berusaha menjadi kuat menerima kesakitan yang mendera.
Ibu merasa sangat terpukul dan merasa bersalah, karena semua yang terjadi adalah karena kesalahpahaman ibu.
"Semua telah terjadi, Bu. Sebenarnya, Anna yang salah paham, bukan Ibu. Sekarang yang terpenting, semuanya telah terkuak. Tidak ada yang perlu disesali. Anna merasa lega bisa terungkap secepat ini." Aku berusaha menjelaskan kepada ibu, aku tidak apa-apa.
Namun, mungkin begitulah seorang ibu. Saat anaknya merasa sedih, tanpa ada kata yang terucap. Hati ibu telah merasakannya, aku yakin ibu lebih sedih dari yang aku kira.
"Maafkan ibu atas kesalahpahaman ini." Ibu terisak.
Aku mendekat, memeluk pinggangnya. Ibu duduk di tepi ranjang. Sementara aku, duduk bersimpuh di lantai, menyandarkan kepala di pangkuannya.
"Ibu tidak salah. Alina mungkin juga sangat tersiksa atas keadaan ini."
"Kamu sepanjang waktu selalu mengalah pada adikmu itu. Alina terlalu dimanja, seharusnya dia bisa menahan diri. Bukankah dia sendiri yang tidak berbicara di awal-awal dulu?"
"Bu ...."
"Baiklah ...." Terjeda hening sejenak di antara kami. Aku menikmati belaian di pucuk kepala. Ini saja telah membuatku bahagia, maka akupun tidak membutuhkan yang lainnya.
***
Akhirnya, perceraian itu pun terjadi. Butuh perjuangan ekstra agar Bang David mau menceraikanku.
Karena, mama menolak perceraian ini. Aku ingat saat merayu mama kala itu.
"Ma, Anna akan tetap menjadi anak Mama walaupun berpisah dengan Bang David. Pernikahan ini akan menyakiti banyak orang jika dilanjutkan. Biarkan Bang David bahagia bersama wanita yang dicintainya."
Mama menangis, memelukku. Kami sama-sama menumpahkan tangis. Aku sangat beruntung pernah mengenal mama, dia sangat baik dan menyayangiku.
"Bagaimana denganmu?"
"Tentu saja, Anna bahagia sekarang. Setidaknya tidak akan ada sandiwara lagi."
Tentang Pak Adrian, tidak hubungan di antara kami. Aku masih ingin sendiri, setelah keluar dari perusahaan bang David aku pulang ke Malang.
Hubunganku dengan Alina, biasa saja. Dia telah lulus, tentu saja.
Sekitar enam bulan proses perceraian yang aku jalani, enam bulan pula usia pernikahanku.
***
Saat ini aku bekerja di sebuah toko skincare, pekerjaan ini tentu sangat bermanfaat bagiku. Selain aku belajar tentang bagaimana cara berpenampilan yang menarik, aku juga belajar tentang perawatan wajah yang sehat.
Hari aku aku dan Nadia, membuka stand di mal. Sedari pagi kami telah sibuk mempersiapkan semuanya.
Perasaan bahagia menepis segala lelah di raga. Itulah yang aku rasakan.
Ramainya pengunjung stand membuat kami kualahan meladeni mereka. Bahagianya hari ini, banyak yang membeli produk kami.
Seperti tak ada waktu istirahat, waktu pun tak terasa telah menjelang sore. Jika dituruti, tentu saja mal ini buka sampai malam.
Namun, aku dan Nadia memutuskan menutup stand di jam lima sore.
Tempat aku bekerja saat ini bukanlah perusahaan besar seperti dulu. Namun, sudah cukup membuatku puas.
Kami berpisah, Nadia dijemput suaminya. Sedangkan aku menunggu di angkutan umum.
Samar pandanganku melihat Alina berjalan menuju mal, sepertinya dia bersama bang David.
Alina dan bang David tampak semakin mendekat. Ingin rasanya mengalihkan pandangan, berpura - pura tidak melihat mereka. Terlambat. Kami telah saling bertatapan.
Alina bergelayut manja di lengan bang David.
"Kak Anna, mau pulang, ya?"
"Iya ...."
"Mau bareng kita aja, biar sekalian. Bang David mau ke rumah, kok. Iya, kan ... Bang?"
"Ah--iya. Bareng aja."
Bang David menatapku dengan tatapan yang entah.
"Enggak usah, nanti masih mau mampir tempat lain, kok. Kalian langsung aja."
Aku memberhentikan sembarang angkutan umum. Yang terpenting saat ini aku bisa menghindari mereka.
Masih terasa aneh bagiku, bertemu dengan mantan suami tersebut.
Mobil terus melaju, entah sampai mana. Aku masih duduk, sampai semua penumpang telah turun.
"Mbak mau ke mana?" Sopir angkutan tersebut menanyakan dengan suara agak tinggi. Aku bingung harus menjawab apa. Karena selama di dalam aku tidak memikirkan mau turun di mana.
"Di sini saja, Pak." Aku segera turun, ternyata mobil telah sampai terminal.
Beberapa saat berkeliling, mencari angkutan yang melewati rumahku. Setelah dapat, segera aku naik. Hari telah gelap.
Sesampainya di rumah, tampak mobil berwarna putih terparkir di depan. Aku terus berjalan, mengabaikan rasa was-was dalam dada.
Benarlah, Bang David dan Alina tengah asyik mengobrol di ruang tamu.
Aku berniat langsung masuk kamar tanpa menyapa, sialnya suara Alina membuat langkahku berhenti. Ditambah, tatapan bang David yang menyorot tajam.
"Kakak baru pulang? Katanya tadi mau langsung pulang, kok baru sampai. Kak Anna dari mana?"
"Jalan-jalan," jawabku datar.
"Kok sampai malam begini, Kak?" pertanyaan Alina terdengar seperti menuntut dan mengejek.
"Sudah ya Alina, aku capek banget. Mau istirahat." Aku benar-benar lelah. Bukan karena dua manusia di hadapan ini, melainkan karena tadi harus naik angkutan yang salah.
"Kakak berubah." Alina terdengar seperti menggerutu.
Sudahlah, terserah. Aku tidak menghiraukannya, ingin segera masuk kamar dan tidur.
"Lho, baru pulang. Udah makan?" tanya ibu khawatir.
"Nanti aja, Bu. Capek," jawabku lemah.
"Mereka memang gak tau malu." Aku mengikuti pandangan ibu, melihat manusia yang tengah dimabuk kepayang itu. Mereka sedang berpelukan.
"Biarlah, Bu. Ingatkan saja, jangan aneh-aneh di rumah ini."
sungguh menyebalkan
terus adiknya juga kenapa gak sopan gitu , rasanya gak mungkin ada yg gitu amat , gak ada segen² nya sama kaka sendiri
semangat