Dara, seorang detektif yang menangani kasus pembunuhan berantai harus menelan kenyataan pahit. Pasalnya semua bukti dan saksi mengarah padanya. Padahal Dara tidak kenal sama sekali dengan korban maupun pelaku, begitu juga dengan anggota keluarga dan saksi-saksi yang lain.
Dalam keadaan yang terpojok dan tanpa bantuan dari siapapun, Dara harus berusaha membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam aksi pembunuhan keji tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pertiwi1208, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Huft.
"Kenapa jadi aku yang harus diawasi seperti ini," kesal Amelia, saat mendapati dia selalu dibuntuti oleh sebuah mobil, sejak dia keluar dari rumah orang tuanya.
"Itu pasti teman-temannya Dara."
"Apa mereka pikir aku akan menyembunyikan Dara!" Amelia terus menggerutu di dalam mobil.
Baru saja dia sampai di parkiran kantor, tapi mood nya sudah diacak-acak lagi, padahal dia sudah berusaha untuk tidak terlalu memikirkan tamparan ibunya pagi tadi. Hal-hal mengenai Dara seakan tiada hentinya mengganggu hidupnya sejak dulu.
Amelia mengatur nafas terlebih dahulu sebelum dia keluar dari mobil, tidak lupa juga dia memeriksa riasannya sembari melihat ke arah spion, juga dia berlatih tersenyum.
"Memangnya kemana sih dia ini, kenapa juga belum menghubungiku," gumam Amelia dengan suara yang sangat lirih, sembari tetap mempertahankan senyum ramahnya dan berjalan ke arah kantor.
***
Bugh.
Sesampainya di ruangan, Amelia langsung menghempaskan tubuhnya dengan sedikit kasar di atas kursi. Keadaan ini benar-benar sangat menguras emosinya, terlebih dia datang ke perusahaannya sedikit lebih siang, semua karyawan pun sudah aktif bekerja, sehingga dia harus sabar menunggu lift di lantai satu tadi.
"Apa kamu sudah menemukannya?" tanya Amelia pada Marcel yang merupakan sekretarisnya. Marcel sudah berada di ruangan Amelia sejak pagi.
"Sinyal terakhirnya ada di parkiran apartemen," jawab Marcel yang memang diperintahkan untuk mencari keberadaan Dara.
"Apa?" tanya Amelia sembari mengerutkan keningnya.
"Apa kamu yakin?" tanya Amelia.
"Iya Bu, saya sangat yakin," jawab Marcel.
"Apa ada kemungkinan untuk kita mencari ponselnya disana?" tanya Amelia.
"Tidak mungkin Bu, polisi pasti akan mencurigai anda," jawab sekretaris.
"Lalu aku harus bagaimana?" geram Amelia.
"Coba hubungi teman-teman Nyonya Dara," ucap Marcel mencoba memberi usul.
"Ah, benar juga, aku harus menghubungi semua temannya yang merupakan polisi itu," ucap Amelia sembari memainkan bibirnya karena kesal.
"Hmb, iya benar juga," keluh Marcel sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia baru ingat bahwa teman Dara semuanya adalah anggota kepolisian.
Amelia segera beranjak dari kursinya, dia berjalan ke arah jendela kaca dan melihat ke luar. Disana Amelia melihat mobil teman Dara yang merupakan detektif masih menetap di parkiran kantor. Terlihat saat ini raut wajah Amelia sedang gelisah sembari menggigit kecil kuku-kukunya. "Padahal sudah aku peringatkan agar dia tidak sampai duduk di kursi tersangka. Sebenarnya apa yang ada di pikiran anak bodoh itu," gumam Amelia yang suaranya masih bisa didengar oleh Marcel.
***
"Astaga!"
"Kamu ini mengagetkanku saja," ucap Sasa.
Siang itu Dara sengaja menunggu Sasa di parkiran tempatnya bekerja. Tentu saja Dara menyamar saat ini, dia memakai baju serba hitam, jaket hitam, topi hitam, dan juga masker hitam. Saat mobil Sasa baru terparkir, Dara segera menerobos masuk, sehingga sangat mengejutkan Sasa.
"Stttt..." Dara pun segera meletakkan jari telunjuknya di atas bibir, lalu dia mematikan kamera dashboard.
"Kemana saja kamu ini?"
"Apa kamu tahu, bahwa kamu saat ini sedang dicari oleh semua orang?" Sasa langsung saja mencecar Dara.
"Iya, aku tahu," jawab Dara.
"Lebih baik kita mengefisienkan waktu pertemuan kita ini dengan sebaik mungkin," ucap Dara.
"Apa kamu sudah menerima potongan kuku dan juga anting milik Dita?" tanya Dara.
"Tentu saja sudah," jawab Sasa.
"Apa kamu sudah mengidentifikasinya?" tanya Dara.
"Belum, aku baru akan mengerjakannya hari ini, karena memang barang-barang tersebut baru sampai kemarin malam," jawab Sasa.
"Oke, apa aku bisa minta tolong padamu?" tanya Dara.
"Apa?" sahut Sasa.
"Bisakah kamu memberikan hasil tes DNA kepadaku sebelum kamu mengirimkannya ke kantor polisi?" tanya Dara.
"Tentu saja aku bisa melakukan hal itu, itu juga karena kamu yang meminta," jawab Sasa.
"Baguslah," ucap Dara.
"Apa kamu yakin, bahwa kamu bukan pelakunya?" tanya Sasa yang sudah sangat penasaran sejak berita di televisi beredar.
"Tentu saja bukan, aku ingin mengirimkan potongan kuku itu padamu, tapi malam itu tiba-tiba saja aku diserang," jelas Dara.
"Okelah, aku percaya padamu. Lalu sekarang kamu tinggal di mana?" tanya Sasa.
"Itu kamu tidak perlu tahu dulu, yang penting aku harus membuktikan bahwa aku tidak bersalah dan bukan aku pelakunya," ucap Dara.
"Aku pasti akan membantumu sekuat tenaga," ucap Sasa.
"Aku harus mengirimkan hasil itu ke mana?" tanya Sasa.
"Kirim saja ke emailku yang biasanya, nanti jika aku ada ponsel, aku akan membukanya," jawab Dara.
"Oke," jawab Sasa singkat.
"Ya sudah kalau begitu, aku nggak bisa lama-lama, aku harus segera pergi sebelum kamu juga dicurigai dan dituduh bersekongkol denganku," ucap Dara.
"Iya, pergilah," ucap Sasa yang terlihat mengusir. Dara pun hanya bisa mencebikkan bibirnya. Dara segera membuka pintu mobil dan segera meninggalkan Sasa.
***
"Apa sudah selesai?" tanya Ardi pada Dara. Saat itu Dara pergi ke tempat kerja Sasa diantar oleh Ardi, dengan imbalan Dara akan memberitahu tempat tinggal Pak Krisna pada mereka semua.
"Sudah," jawab Dara singkat sembari memasang sabuk pengaman dan menunduk.
"Lalu kita sekarang akan kemana?" tanya Ardi.
"Kita pulang dulu saja, aku belum bisa memikirkan langkah selanjutnya," jawab Dara.
"Oke kalau begitu," ucap Ardi. Ardi pun segera menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
***
Beberapa saat kemudian, setelah mereka berdua meninggalkan tempat kerja Sasa.
"Aku harus memanggilmu apa?" tanya Dara mencoba membuka pembicaraan.
"Terserah kamu saja, kamu boleh memanggil namaku, atau Paman, atau Bapak, atau apapun, sesukamu saja," ucap Ardi.
"Kalau begitu aku panggil kamu Paman saja, sama seperti Arum, sepertinya aku dan Arum sepantaran," ucap Dara.
"Suka-suka kamu sajalah." Seperti biasa, Ardi selalu saja menanggapi orang baru jangan sedikit cuek.
"Apa aku boleh bertanya?" tanya Dara.
"Tanya saja," jawab Ardi sembari terus fokus pada kemudinya.
"Saat aku melihat kalian berlatih tembak di halaman belakang, sepertinya aku melihat ada batu nisan di sana," ucap Dara.
"Salah satu batu nisan tersebut adalah teman kami, sedangkan yang lainnya adalah musuh kami," jawab Ardi, Dara pun segera menoleh ke arah Ardi.
"Rumah kami pernah diserang oleh adiknya Aditya, beruntung Febri segera mengetahui dan menyadari akan adanya penyerangan tersebut, sehingga kita bisa dengan segera melindungi diri, meskipun Maria harus terkena tembakan lagi dan lagi."
"Kami membantai semua musuh dan menguburkannya dengan layak," jelas Ardi.
"Jadi teman kalian meninggal saat penyerangan tersebut?" tanya Dara.
"Tidak, dia meninggal di kastil, Febri yang membunuhnya," jawab Ardi.
"Kenapa seperti itu?" tanya Dara.
"Dulu Clara yang menjebak Febri hingga terkurung di kastil, Clara dulu adalah orangnya Aditya. Dia sudah bertaubat dan ingin menyelamatkan anak-anak yang tersisa."
"Ah, sebelumnya kami sudah menyelamatkan anak-anak dibawah umur yang belum sempat tersentuh laki-laki bejat dan hidung belang."
"Saat kami kembali lagi dan ingin menyelamatkan sisanya, Febri langsung menyerang Clara hingga dia meninggal di tempat, Maria membawanya pulang beserta gadis-gadis yang kami selamatkan itu."
"Saat acara pemakaman Clara itulah kami diserang, karena kami memang sudah menghancurkan Kastil, serta juga membantai anak buah Aditya yang tersisa di sana," jelas Ardi.
"Kalian seperti film mafia saja," ucap Dara.
"Kamu coba saja hidup dengan kami selama beberapa bulan, nanti kamu pasti akan tahu, bahwa dunia itu sangat banyak. Bukan hanya dunia yang penuh dengan kepalsuan ini," ucap Ardi.
"Setelah jadi mafia, malah sekarang jadi pujangga," ejek Dara seraya melihat ke arah luar jendela dengan menahan senyum.
"Jangan senyum-senyum aja, jangan lupa dengan janjimu nanti kalau sudah sampai rumah," ucap Ardi yang sempat melirik ke arah Dara.
"Iya, aku bukan orang yang suka ingkar janji," ucap Dara.
"Lagian kenapa kita gak langsung ke sana aja sih," ucap Ardi.
"Sekarang aku tidak bisa banyak bergerak, karena banyak orang yang sedang mengejarku. Teman-temanku juga pasti sedang mencariku saat ini," ucap Dara.
"Jadi nanti kalian kesana sendiri saja dan juga pastikan, apa aku berbohong atau tidak," imbuh Dara.
"Aku dengar kamu punya kakak," ucap Ardi.
Dara segera menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kasar. "Dia sangat tidak bisa diharapkan," ucap Dara dengan malas.
"Setidaknya keluargamu harus tahu, kalau kamu masih hidup," ucap Ardi.
"Biarlah, mereka juga tidak pernah melihatku saat aku berada di sekitar mereka. Mungkin sekarang mereka juga tidak memikirkanku."
"Aku yakin Ibu saat ini sedang marah, karena kejadian yang menimpaku sekarang. Ibu selalu memintaku berhenti jadi detektif dan mengikuti jejak kakakku untuk menjadi pebisnis," jelas Dara.
"Kalau kamu tidak segera membuktikan kamu tidak bersalah, bisa-bisa kamu dipecat secara tidak terhormat," ucap Ardi.
"Aku tahu, aku akan memikirkan cara untuk memecahkan kasus ini," jawab Dara.
"Sayang sekali saat itu Aditya bisa lolos, seharusnya hal ini tidak akan menimpamu jika saja kami berhasil melenyapkannya," ucap Ardi, tapi Dara hanya diam saja, dia tidak tau harus merespon apa..
Ardi pun berhenti berbicara, dia saat ini hanya terus fokus pada kemudinya. Karena Ardi bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Dara, pasti sangat tidak nyaman sekali, saat tidak ada orang-orang sekitar yang mendukungnya. Beberapa kali Ardi juga mencuri pandang dan melihat ke arah Dara, untuk melihat keadaannya, karena dia pasti sekarang sedang tidak baik-baik saja.