Mengkisahkan Miko yang terjebak lingkaran setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Romi Bangun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TEGANG
Perjuangan belum berakhir, aku masih harus mengikuti tahap interview. Pada tahapan inilah komunikasi menjadi titik penting.
Pukul setengah satu, kami yang lolos mengantri di luar ruangan. Menunggu giliran interview satu per satu.
Aku dapat nomor urut delapan belas. Sesuai seperti yang ku perhitungkan tadi.
Satu per satu kandidat masuk dan keluar.
Ada yang terlihat gagah, namun setelah keluar malah menjadi lesu. Wajar saja. Karena mental juga berpengaruh.
Hingga akhirnya tiba giliranku.
Ceklekk
Aku membuka pintu perlahan-lahan. Berjalan masuk dengan tegak. Kemudian menutup pintu kembali sambil mengucapkan...
"Permisi pak.."
Pengawas tersenyum tipis dan mempersilahkan masuk. Aku berjalan menuju depan meja, menggeser kursi lalu duduk.
"Miko ya.."
"..langsung saja, perkenalkan diri kamu."
Nada pengawas kini berbeda dengan sebelumnya waktu tes. Terdengar lembut dan lebih santai.
Padahal pagi tadi saat tes nada bicaranya tegas dan dingin.
"Perkenalkan Pak.. nama saya Miko..."
"...sekian dari saya Pak. Maaf bila ada salah kata.."
Aku memperkenalkan diri singkat. Memberi informasi yang penting-penting saja. Seperti asal, usia, pendidikan, dan pengalaman.
"Kamu di perusahaan sebelumnya, gajinya berapa?" tanya pengawas penasaran.
"Lima juta pak, sesuai dengan UMR kabupaten Bekasi.." jawabku meyakinkan.
"Oke.. di perusahaan kami, gajinya lebih sedikit. Karena posisinya kamu berstatus magang. Apakah kamu keberatan?"
Aku kembali menjawab pertanyaannya dengan yakin, "Tidak pak. Saya tidak keberatan."
Dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan umum lainnya. Padahal waktunya singkat, tapi entah kenapa terasa lama.
Aku menenangkan kaki kiri ku yang sedikit bergetar. Serangan panik kecil. Ini tentang siapa yang bisa bertahan lama.
Rasa gatal karena baju yang entah dari kapan belum ku cuci menyerang. Tetapi sama sekali tak aku hiraukan.
"Oke, Miko. Kalau begitu nanti akan dikabari lagi maksimal jam enam sore.."
"...sekarang kamu boleh pulang. Hati-hati dijalan."
Sekarang aku paham kenapa kandidat sebelumnya berubah lesu. Keputusan pengawas tak langsung keluar siang ini.
Aku keluar dari ruangan, menutup pintu perlahan, lalu menghirup napas panjang.
Udara siang terasa lebih hangat dibanding dinginnya aula.
Namun hangatnya itu tak mampu menenangkan degup jantungku yang masih tak beraturan.
"Siang sampai petang bakal tegang banget nih…" gumamku sambil berjalan pelan menuju parkiran.
"Bodo amat lah…" lanjut ku, mencoba menyemangati diri sendiri.
Motor sudah menunggu. Jalan perlahan, mengikuti ritme lalu lintas yang padat.
Tapi meski jalanan ramai, pikiranku terus melayang pada interview barusan.
Aku mengingat semua pertanyaan yang diajukan pengawas. Nada lembutnya berbeda dari pagi tadi, tapi tetap menyelipkan ujian terselubung.
Siapa yang bisa tenang, siapa yang bisa menjawab yakin, siapa yang bisa menahan kegelisahan.
Setelah beberapa menit berkendara, aku memutuskan mampir ke warkop kecil dekat jalan.
Kopi hitam satu gelas ku pesan. Meja kayu panjang di sudut warung menjadi tempat sempurna untuk duduk sambil menenangkan pikiran.
Tangan ku letakkan di meja, jari mematuk kecil. Suara ketukannya sedikit menenangkan diri.
Aku mencoba mengingat satu per satu jawaban yang ku ucapkan. Apakah terdengar meyakinkan? Apakah pengawas menilai ada ketidakjujuran?
Gemericik suara gelas dan aroma kopi hangat membuat sedikit lega. Tapi ketegangan tetap menempel di pundakku.
Hari ini masih panjang. Hasil interview baru akan dikirim maksimal jam enam sore.
Batinku mulai menyusun strategi, meski tak bisa memastikan apa-apa.
"Kalau lolos, berarti hari ini berhasil melewati dua tahap. Kalau enggak... ya udah, cari cara lain. Tetap jalan terus..."
Aku menyeruput kopi, menatap jalan dari jendela warung. Hujan kecil mulai turun, menetes di kaca.
Aneh rasanya, hujan pagi terasa mengganggu, tapi hujan sore seperti sekarang membawa rasa tenang.
Ponsel di saku bergetar. Notif pesan dari Naila muncul. Aku tersenyum tipis, walau merasa bersalah karena belum membalas beberapa hari ini.
"Sayang, lagi di mana? Semoga tesnya lancar ya… jangan lupa makan siang."
Hati terasa hangat. Kepolosannya, perhatian kecilnya, seperti pelipur di tengah ketegangan yang menjeratku.
Aku mengetik balasan singkat, sambil tersenyum pahit.
"Makasih. Semoga siang ini semua lancar..."
Sedikit demi sedikit, rasa tegang perlahan mereda. Tapi tetap ada satu hal yang jelas.
Sore ini akan menjadi ujian terakhir, bukan hanya untuk pekerjaan, tapi juga untuk kesabaran dan ketahanan batinku sendiri.
Aku menyesap kopi terakhir. Gelap awan di langit sore menandai waktu yang berjalan.
Sementara aku, duduk di warung kecil itu, menunggu jam enam tiba. Menunggu hasil, menunggu jawaban yang akan menentukan langkahku selanjutnya.
-
Pukul lima sore, punggung rasanya terlalu bosan diajak duduk. Aku berdiri, beranjak menuju kasir.
Kopi ku bayar lalu pulang. Lalu lintas semakin ramai berpapasan dengan jam pulang kerja.
Tapi meski ramai, kepalaku lebih ramai. Sampai suara bising klakson terdengar samar-samar.
Aku tetap fokus, gas ku pelintir setengah. Kecepatan motor naik. Hembusan angin sore membisukan isi kepalaku.
Sampai di kosan aku meraih ponsel dari saku. Bahkan belum turun dari motor. Saat ku nyalakan.
Tak ada notif.
"Mungkin belum... tapi ini udah jam lima lebih." gumamku.
Berhenti protes, aku turun dari motor. Berjalan lesu masuk ke kosan yang berantakan. Malas rasanya untuk beberes.
Brukk
Badan ku jatuhkan tepat di atas kasur. Aku berbaring sejenak, menutup mata, sambil menunggu hasil yang seharusnya muncul maksimal jam enam.
Rasanya lelahnya menumpuk. Dua tahap hari ini membuatku hampir kehabisan energi.
Aku menghela nafas panjang, tubuh hangat oleh kasur tipis, yang akhirnya menundukkan kesadaran.
...
.....
Entah berapa lama aku terlelap. Suara hujan malam yang mulai deras di luar kosan membuat tidurku lebih nyenyak dari yang kuharap.
Ketika akhirnya membuka mata, ternyata sudah larut. Gelap mengejutkanku karena lampu bahkan belum ku nyalakan.
Aku melewatkan sore dan menunggu hasil dengan cara paling malas.
Ponsel di samping tempat tidur bergetar beberapa kali. Notifikasi menumpuk. Perlahan, aku meraih ponsel dan membuka layar.
"Anjir jam sepuluh..."
Satu persatu pesan masuk. Tapi yang paling mencuri perhatian adalah notifikasi dari BKK.
"Anda lolos seleksi dan akan dijadwalkan untuk tahap berikutnya. Detail akan dikirimkan besok. Terima kasih."
Dada terasa lega sekaligus berat. Lolos tes, tapi rasa bersalah karena ketiduran dan menunggu tanpa sabar tetap menghantui.
Aku menatap layar ponsel, menarik napas panjang. Malam yang gelap ini terasa hangat. Rasanya seperti kemenangan kecil, meski harus dinikmati sendirian.
Aku berdiri lemas, melangkah menyalakan saklar lampu.
"Ya… setidaknya hari ini aku lolos," gumamku lirih.
Di luar, hujan terus menetes, mengiringi malam yang panjang. Aku kembali ke kasur, menutup mata lagi, membiarkan rasa lega meresap.
Entah besok akan seperti apa, tapi untuk malam ini, aku merasa sedikit lebih baik.