NovelToon NovelToon
DEWA SAHAM

DEWA SAHAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Genius
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Junot Slengean Scd

Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KEBRANGKATAN

Ketika pesawat mulai melaju di landasan, Lanang memegang tangan Sari erat—terlalu erat sampai perawat yang mendampingi harus menegurnya perlahan.

“Mas, pelan saja… Ibu bisa merasa sakit.”

Lanang buru-buru melepas genggamannya sedikit. “Maaf, Bu…”

Sari tersenyum lemah. “Nggak apa-apa, Nak… Nang takut ya?”

Lanang menunduk. “Takut, Bu… Nang takut kehilangan Ibu.”

Sari mengangkat tangan satunya dan menyentuh pipi anaknya.

“Kamu… anak yang kuat, Nang. Ibu… Ibu bangga sama kamu.”

Kalimat itu membuat dada Lanang seperti dihantam sesuatu. Ia menunduk dan mencium tangan ibunya lama sekali. Air matanya jatuh di punggung tangan Sari.

Di kursi belakang, Pak Aldo memperhatikan keduanya dengan mata yang ikut berkaca. Ia tidak pernah membayangkan murid paling jenius yang pernah ia bimbing ternyata memikul beban seberat ini sejak kecil.

Ruang kabin terasa sunyi. Lampu redup memantulkan bayangan di wajah Sari yang tertidur kembali.

Saat pesawat mulai terbang menembus awan, Lanang menyandarkan kepala di dinding kabin dan menutup mata.

Ia membayangkan wajah Rengganis yang menjauh dari balik kaca mobil bandara. Jilbabnya berkibar, matanya berkaca-kaca tetapi tetap tersenyum. Senyum yang menyimpan ribuan doa yang tak pernah diucapkan keras-keras.

Beberapa jam setelah pesawat stabil di ketinggian, Lanang tidak bisa tidur. Matanya memandang layar monitor yang redup, tapi pikirannya berkelana.

Tiba-tiba, Pak Aldo berbicara pelan dari kursinya.

“Nang, kamu belum tidur?”

Lanang menggeleng. “Nggak bisa, Pak.”

Aldo mengangguk pelan, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit.

“Ada sesuatu yang mau Bapak tanya.”

Lanang menatapnya.

“Selama ini… kamu tahu sesuatu tentang masa lalu Ibu kamu?”

Lanang menggeleng cepat. “Nggak ada, Pak. Ibu cuma bilang kami pindah dari Solo ke Pemalang waktu aku masih kecil. Setelah itu… cuma kehidupan desa biasa.”

Pak Aldo tampak berpikir dalam.

“Bapak merasa… mimpi-mimpi itu bukan hal sederhana. Ibumu seperti menyimpan sesuatu yang sangat besar.”

Lanang menelan ludah. “Saya juga mikir gitu, Pak. Tapi setiap saya nanya… Ibu selalu bilang dia nggak ingat. Dan kalau dia maksa buat ingat… kepalanya sakit.”

Pak Aldo memandang jendela. “Mungkin… operasi ini bukan cuma menyelamatkan hidupnya. Tapi juga membuka kebenaran yang sudah lama terkunci.”

Lanang menunduk. Ia takut. Takut pada sesuatu yang tidak ia mengerti.

“Pak…”

“Ya?”

“Kalau… kebenaran itu malah nyakitin Ibu gimana?”

Aldo menarik napas panjang. “Kebenaran memang selalu punya harga. Tapi ketidaktahuan… kadang lebih buruk.”

Lanang tidak menjawab. Ia hanya menatap langit malam dari jendela pesawat—hitam, luas, dan penuh ketidakpastian. Sama seperti masa depannya.

Sementara pesawat membawa Lanang dan Sari menjauh, di Pemalang, Rengganis masih berdiri di teras rumah Sari.

Ia datang bersama ibu kandungnya untuk membantu membersihkan rumah. Tidak ada yang meminta. Tidak ada yang memerintah. Rengganis hanya ingin melakukannya.

Ia menyapu lantai kamar Sari perlahan, berhenti sejenak ketika melihat baju-baju longsleeve yang sering dipakai Sari digantung rapi.

“Bu Sari… semoga cepat sembuh,” gumamnya.

Ibunya memperhatikan putrinya dengan tatapan hangat. “Kamu sedih ya, Nis?”

Rengganis menghela napas. “Ibu Lanang itu sosok yang baik banget, Bu. Aku sayang sama beliau…”

Ibunya tersenyum kecil. “Dan kamu sayang sama Lanang juga.”

Rengganis terdiam. Pipi putihnya memerah.

“Bu… jangan gitu, ah.”

“Tapi benar kan?”

Rengganis menggigit bibir, tidak menyangkal.

“Lanang butuh kamu, Nak. Anak itu memikul beban hidup yang nggak ringan.”

Rengganis berhenti menyapu. Ia menatap jendela yang mengarah ke sawah yang kini hanya diterangi lampu-lampu jauh dari rumah tetangga.

“Aku cuma berharap… dia pulang suatu hari. Pulang dengan ibunya yang sembuh.”

Ibunya mengusap punggung Rengganis.

“Nanti kalau waktunya tepat, kamu bilang aja perasaanmu ke Lanang.”

Rengganis menggeleng cepat. “Aku nggak mau bikin dia terbeban, Bu. Dia sudah terlalu banyak mikir…”

Ibunya tersenyum. “Kamu benar-benar suka sama anak itu ya?”

Rengganis menutup wajahnya dengan jilbab. “Iya, Bu… tapi cukup Allah dan Ibu saja yang tahu.”

Setibanya di Boston, angin dingin menusuk tulang. Ini bukan dingin yang biasa ditemui Lanang di dataran tinggi Dieng atau malam-malam di Yogyakarta. Ini dingin yang asing, dingin yang menghilangkan aroma tanah basah dan menggantikannya dengan bau garam laut dan salju tipis.

Rumah sakit tempat Sari dirujuk adalah sebuah pusat medis modern yang luas dan tinggi. Setiap pintunya otomatis, setiap koridornya berkilau.

Lanang terpukau dan ketakutan sekaligus.

Saat mereka memasuki lobi besar, seorang dokter wanita berambut pirang menyambut mereka dengan senyum profesional.

“Welcome, Mrs. Sari. We’ve been expecting you.”

Lanang menelan ludah. Ia merasa seperti tidak ada di dunia yang ia kenali.

Perawat mendorong ranjang Sari masuk lift.

Sari memegang tangan putranya. “Nang… jangan tinggalin Ibu.”

Lanang menggenggamnya erat.

“Nggak akan, Bu. Lanang di sini.”

Lift naik perlahan, membawa mereka ke lantai di mana ruangan operasi mikro tersedia. Pak Aldo mengikuti dari belakang sambil mengurus dokumen dengan sibuk.

Operasi tidak bisa dilakukan hari itu juga. Tubuh Sari harus distabilkan dulu selama beberapa hari.

Lanang menggunakan waktu itu untuk menjaga ibunya tanpa henti.

Ia duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Sari setiap malam, kadang tertidur di sofa, kadang terbangun karena ibunya mengigau pelan.

“Lanang… jangan pergi…”

“Lanang… Ibu… pusing…”

“Ada… cahaya… ada seseorang… ada suara…”

Setiap kali Sari mengigau, Lanang merasa dunia runtuh lagi.

Suatu malam, ketika Sari tidur dan mesin monitor berdetak pelan, Pak Aldo datang membawa dua cangkir kopi.

“Lanang, minum dulu. Kamu pucat sekali.”

Lanang menerima kopi itu. “Terima kasih, Pak…”

Pak Aldo duduk. “Rengganis sering nanya kabar kamu.”

Lanang menunduk. “Ganis… selalu perhatian.”

“Iya,” jawab Aldo sambil tersenyum. “Gadis itu… hatinya bersih. Dia tulus menyayangi kamu, Lanang.”

Lanang terdiam.

Ia tidak menjawab. Tidak tahu harus menjawab apa.

Karena pikirannya hanya satu:

Ibu. Ibu. Ibu

Suatu sore, ketika Lanang keluar sebentar ke taman kecil di samping rumah sakit, ponselnya bergetar.

Video call.

Rengganis.

Lanang buru-buru menggesek layar.

Wajah Rengganis muncul—hangat, lembut, dan sedikit berkabut karena sinyal.

“Lanang…”

“Ganis…”

“Kamu kelihatan capek banget…”

“Kamu juga kelihatan kurusan,” Lanang membalas pelan.

Rengganis tersenyum tipis. “Aku… kangen ibu kamu. Kangen kamu juga.”

Lanang terdiam. Kata-kata Rengganis datang seperti hantaman lembut yang justru membuat dadanya sesak.

“Ganis…”

“Iya?”

“Tolong… doakan Ibu aku, ya.”

Rengganis mengangguk. “Setiap sujud, Lanang. Setiap sujud aku minta Allah jaga kalian.”

Lanang menghelas napas, bahunya turun sedikit.

“Terima kasih…”

“Dan Lanang…”

“Ya?”

“Kamu juga harus jaga dirimu. Jangan cuma mikirin Ibu sampai lupa makan.”

Lanang tersenyum kecil. “Iya… Iya.”

Rengganis menatapnya lama. “Aku percaya kamu kuat, Lanang.”

Lalu panggilan berakhir.

Lanang tetap menatap layar hitam ponselnya lama sekali, sebelum akhirnya ia mengusap wajahnya dan kembali ke ruang rawat.

Tiga hari kemudian, dokter bedah masuk ke ruangan dengan ekspresi serius.

“Mas Lanang, kami sudah siap melakukan operasi. Ini operasi rumit. Prosedurnya bisa berlangsung 10 sampai 15 jam.”

Lanang berdiri. “Apa… apa risikonya?”

Dokter menarik napas dalam.

“Beberapa risiko tinggi. Kehilangan ingatan. Lumpuh. Kehilangan kemampuan bicara. Bahkan… risiko terburuknya adalah beliau tidak bangun lagi.”

Ruangan seperti memantul.

Lanang merasa lututnya goyah.

Ia memegang pinggiran ranjang Sari, sementara napasnya terengah.

“Dok… ada pilihan lain?”

Dokter menggeleng. “Ini satu-satunya pilihan yang kita punya.”

Lanang menatap wajah ibunya.

Sari membuka mata perlahan dan memanggil.

“Lanang…”

Lanang menggenggam tangannya.

“Iya, Bu.”

“Ibu… capek…”

Air mata Lanang jatuh perlahan.

“Aku tahu, Bu.”

“Ibu mau… Ibu mau sembuh. Tapi… Ibu takut.”

Lanang menunduk. Suaranya pecah.

“Nang juga takut, Bu. Nang takut banget.”

Sari mengangkat tangannya, menyentuh wajah Lanang.

“Kamu… harus berani, Nak. Kamu harus buat keputusan.”

Lanang menggigit bibir.

“Kalau Ibu meninggal…?”

“Nang…”

“Ibu jangan tinggalin Nang…”

“Nggak akan,” jawab Sari. “Ibu akan berusaha. Kamu… tanda tangani saja, Nak. Ibu pasrah sama Allah…”

Lanang menutup mata lama.

Lalu membuka kembali dengan mata merah,

Ia menatap dokter.

“Saya tanda tangan, Dok.

Sari dibawa menuju ruang operasi. Lanang berjalan di samping ranjang hingga batas pintu steril.

“Bu… Lanang tunggu di luar. Ibu kuat ya…”

Sari tersenyum samar.

“Lanang… anakku…”

Pintu menutup.

Dan dunia Lanang menjadi sunyi.

Pak Aldo memegang bahunya.

“Nang… ayo kita duduk. Operasi panjang.”

Lanang mengguncang kepala. “Saya mau di sini. Saya mau tunggu di depan pintu ini.”

Dan ia berdiri di sana.

Satu jam.

Tiga jam.

Enam jam.

Sepuluh jam.

Perawat lewat berkali-kali. Dokter masuk keluar. Namun tak ada kabar.

Menjelang jam ke-13, Lanang mulai gemetar karena kelelahan. Pak Aldo berdiri di sampingnya, menjaga agar ia tidak jatuh.

“Lanang… duduk dulu.”

“Tiap kali aku duduk… aku takut kalau Ibu keluar pas aku nggak lihat…”

Aldo menghela napas dan tetap menemaninya berdiri.

Sampai akhirnya…

Pintu ruang operasi terbuka.

Dokter keluar dengan masker masih menempel.

Lanang membeku.

Dokter menatapnya dengan mata yang sulit dibaca.

“Mas Lanang…”

Lanang menelan ludah.

“Ibu Anda…”

1
Retno indriyawati
trus nanti bakalan ktemu dimana.. apa si arif bakalan nusulin dan mncari informasi
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
☕ biat selalu semangat dalam berkarya💪💪💪
Retno indriyawati
wahh mantapp nih. . sudah aroma2 wangiiiii
Retno indriyawati
😍😍😍😍😍
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
☕ untuk tetqp semangat 💪💪💪💪💪
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
tetap semangat dalam berkarya
Retno indriyawati
wah. kapan nih bisa ktemuunya. 😍😍😍
Retno indriyawati
wah seru bgt. lanjut thor
Retno indriyawati
aku suka2
Retno indriyawati
makin sukses thor ..
Retno indriyawati
tambah seru aja nih
Rendy Budiyanto
semangat min
menarik
Rendy Budiyanto
💪💪💪
Junot Slengean Scd: terimakasih
total 1 replies
Retno indriyawati
lanjut
Junot Slengean Scd: siap👍
total 1 replies
Retno indriyawati
keren si ini
Retno indriyawati
🤣🤣🤣🤣
Junot Slengean Scd: dukung terus
total 1 replies
Kevin Leonardus
up lagi thor ga sabar💪💪
Junot Slengean Scd: wkwkwkwkkwkw💪
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!