Uwais menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, Stela, setelah memergokinya pergi bersama sahabat karib Stela, Ravi, tanpa mau mendengarkan penjelasan. Setelah perpisahan itu, Uwais menyesal dan ingin kembali kepada Stela.
Stela memberitahu Uwais bahwa agar mereka bisa menikah kembali, Stela harus menikah dulu dengan pria lain.
Uwais lantas meminta sahabat karibnya, Mehmet, untuk menikahi Stela dan menjadi Muhallil.
Uwais yakin Stela akan segera kembali karena Mehmet dikenal tidak menyukai wanita, meskipun Mehmet mempunyai kekasih bernama Tasya.
Apakah Stela akan kembali ke pelukan Uwais atau memilih mempertahankan pernikahannya dengan Mehmet?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Keesokan paginya, aroma disinfektan samar-samar tercium di kamar mereka.
Stela merasakan kepalanya pusing, dan ada rasa nyeri di punggung tangannya. Perlahan, Stela membuka matanya.
Hal pertama yang ia lihat adalah wajah Mehmet. Suaminya duduk di kursi samping tempat tidur, kepalanya tertunduk di tepi kasur.
Mehmet yang tidak tidur sama sekali, terlihat dari matanya yang merah dan kantung mata yang menghitam.
Jasnya sudah dilepas, dan ia hanya mengenakan kemeja yang kusut.
Mendengar pergerakan Stela, Mehmet segera mengangkat kepalanya.
Ekspresi lelahnya seketika digantikan oleh kelegaan yang luar biasa.
"Sayang, syukurlah kamu sudah sadar," bisik Mehmet, segera meraih tangan Stela yang satunya dan menciumnya berkali-kali. Suaranya serak karena khawatir.
Stela melihat tangannya yang terpasang selang infus.
Ia ingat samar-samar kejadian tadi malam: konfrontasi, kata-kata Tasya, dan rasa sakit yang menghantamnya sebelum ia jatuh pingsan.
"Bayi kita..." Stela berusaha berbicara, suaranya lemah.
Rasa mual dan kecewa kembali menyeruak, meskipun rasa sakit di pipinya sudah hilang.
Mehmet mengangguk cepat. "Dia baik-baik saja, Sayang. Dokter sudah memeriksanya. Kalian berdua aman. Itu hanya syok dan kelelahan hebat. Kamu harus istirahat total, Sayang."
Mehmet dengan hati-hati membantu Stela minum air putih.
Setelah Stela terlihat lebih tenang, Mehmet meletakkan gelas itu dan menatap mata istrinya dengan tatapan yang sangat serius, penuh kejujuran.
"Kita perlu bicara, Sayang. Tentang tadi malam. Tentang apa yang Tasya katakan," kata Mehmet, suaranya rendah dan tegas. "Aku tahu Tasya menemuimu. Aku tahu dia membuatmu percaya kebohongan besar."
Ia meraih tangan Stela yang tidak terinfus.
"Dengar, Sayang. Aku bersumpah. Tasya tidak hamil. Dia berbohong. Hasil USG yang dia tunjukkan itu palsu. Aku yakin itu rekayasa Tasya dan Uwais."
"Tapi, dia bilang setelah di Bali..." Stela menahan air matanya, suara tertuduh itu kembali menyakiti hatinya.
"Ya, aku bertemu Tasya di kafe kemarin. Tapi aku menemuinya untuk mengakhirinya secara permanen. Aku mengancamnya agar dia menjauh dari hidup kita. Tidak ada kontak fisik, Sayang. Tidak ada 'setelah di Bali', tidak ada 'di mana pun'. Aku hanya mencintaimu dan hanya ingin kamu."
Mehmet membungkuk, menempelkan dahinya ke dahi Stela.
"Aku minta maaf karena aku tidak jujur dan tidak memberitahumu tentang pertemuan itu. Aku hanya ingin menyelesaikan sampah masa lalu itu dengan cepat agar tidak mengganggu kebahagiaan kita. Tapi aku salah. Aku seharusnya memberitahumu. Maafkan aku."
"Dia berbohong, Stela. Demi Tuhan, aku hanya punya kamu. Dokter mengatakan syok emosionalmu bisa berbahaya bagi bayi kita. Jangan biarkan kebohongan murahan mereka merusak keajaiban yang ada di perutmu. Tolong percaya padaku."
Mehmet menghela napas panjang, menatap Stela dengan tekad yang membara.
Ia mengerti bahwa kata-kata saja tidak cukup untuk menghapus racun kecurigaan yang ditanamkan Tasya.
"Aku mengerti, Sayang. Kata-kataku tidak cukup. Tapi aku tidak akan membiarkan kebohongan ini merusakmu lagi, apalagi sampai menyakiti bayi kita," ujar Mehmet.
Mehmet menghela napasnya perlahan, lalu ia membuat keputusan.
"Aku akan berikan bukti, Stela. Bukti mutlak bahwa aku tidak melakukan hubungan intim dengan Tasya."
Ia mengambil ponselnya dari meja di samping tempat tidur.
Meskipun Stela masih terinfus, ia mencondongkan tubuh sedikit, penasaran dengan apa yang akan dilakukan suaminya.
Mehmet mengambil ponselnya dan berpura-pura ingin bertemu dengan Tasya.
Ia mengetik pesan, sengaja membiarkan layar ponselnya sedikit terlihat oleh Stela.
"Aku akan buat Tasya kembali berulah, dan kamu akan melihat kebenarannya sendiri," bisik Mehmet pada Stela.
Ia menekan tombol panggil. Setelah beberapa dering, Tasya menjawab.
Mehmet menyalakan loudspeaker dengan volume rendah agar Stela bisa mendengar, tetapi ia segera meletakkan jari di bibirnya, meminta Stela untuk tetap diam.
"Halo, Tasya. Aku ingin bertemu. Ada hal penting yang harus kita bicarakan mengenai kehamilanmu. Aku tidak mau ada keributan. Aku akan menunggumu di sana," ujar Mehmet dengan nada suara yang tenang, terdengar seperti sedang menyerah pada situasi.
Terdengar suara Tasya yang langsung bersemangat di ujung telepon,
"Benarkah, Met? Terima kasih! Aku tahu kamu akan bertanggung jawab. Kita bertemu di..."
"Baik, kita bertemu di kafe biasa kita. Dua jam dari sekarang," potong Mehmet, mengakhiri panggilan dengan cepat.
Ia mematikan loudspeaker dan menyimpan ponselnya.
Ia menoleh ke arah Stela, tatapannya tajam namun penuh cinta.
"Aku tahu kondisimu, Sayang. Tapi aku butuh kamu. Kamu harus ikut aku ke sana. Kamu harus melihat wajahnya ketika dia berbohong, dan kamu harus melihat bagaimana kebohongannya terungkap." Mehmet menatap Stela, meminta persetujuan.
"Aku tidak bisa memaksamu ikut, Sayang. Kamu masih lemah," ucap Mehmet.
Ia menarik selimut Stela ke atas. "Tapi jika kamu setuju, dengarkan janjiku."
Mehmet membungkuk mendekati wajah Stela.
"Kalau aku bohong, kalau ternyata Tasya benar hamil anakku, kamu boleh pergi. Aku tidak akan menahanmu dan aku akan menanggung semua dosaku. Tapi kalau aku benar, jalau ternyata Tasya hanya berbohong untuk menghancurkan kita. Aku akan menghukummu, Sayang," ucap Mehmet dengan nada rendah dan menggoda, sambil mengedipkan sebelah matanya.
Stela menatap Mehmet. Air matanya sudah kering, digantikan oleh percikan api amarah dan semangat untuk membuktikan kebenaran.
Melihat tekad Mehmet dan taruhan yang ia ajukan, Stela mengangguk lemah namun pasti. Ia butuh kejelasan ini.
"Aku ikut, Met," jawab Stela, mencengkeram tangan Mehmet.
"Aku ingin melihatnya sendiri."
Mehmet membantu Stela bersiap. Meskipun Stela bersikeras, Mehmet memaksanya untuk mengenakan pakaian yang longgar dan mantel tebal, dan ia menyembunyikan bekas selang infus di balik lengan baju.
Mereka mengambil mobil biasa, tidak ingin menarik perhatian.
Sesampainya di kafe, Mehmet memilih meja yang terbuka, menghadap langsung ke pintu masuk.
Kemudian, dengan hati-hati, ia memimpin Stela ke bagian belakang kafe, di balik tirai tanaman hias besar dan deretan rak buku.
Area itu cukup tersembunyi, tetapi memberikan pandangan jelas ke meja Mehmet.
Stela duduk di kursi lain di sudut tersembunyi itu, masih terlihat pucat, agar Tasya tidak melihatnya.
"Ingat, Sayang. Tetap di sini. Tonton pertunjukannya. Dan jangan bergerak sampai aku selesai," bisik Mehmet sebelum ia kembali ke mejanya yang terbuka.
Tak berselang lama, Tasya datang. Ia tersenyum penuh harap, berjalan anggun menuju meja Mehmet. Ia tampak jauh lebih cerah dan percaya diri dibandingkan tadi malam.
"Hai, Met. Aku senang kamu mengambil keputusan yang benar," sapa Tasya, duduk di seberang Mehmet.
Mehmet tidak membalas senyum itu. Wajahnya keras dan dingin.
"Aku sudah memikirkannya," kata Mehmet, suaranya pelan dan rendah, namun memiliki daya tekan yang kuat.
"Tapi sebelum aku bertanggung jawab, aku ingin tahu kebenarannya. Kamu yakin itu anakku?"
Tasya tersenyentak mendengar nada dingin Mehmet. Ia berusaha memasang wajah sedih lagi.
"Tentu saja, Met. Kenapa kamu meragukanku? Aku tidak akan berbohong tentang hal seserius ini."
"Aku tidak bicara tentang kehamilanmu," potong Mehmet tajam.
"Aku tahu itu bohong. Aku sudah menghubungi kliniknya. Kamu memalsukan hasil USG itu."
Wajah Tasya langsung memucat. Ia melihat ke sekeliling, cemas.
"Apa yang kamu bicarakan, Met? Aku tidak mengerti—"
"Jangan membuang waktuku," desak Mehmet, suaranya naik satu oktaf, membuat beberapa pengunjung menoleh.
"Aku sudah tahu kamu dan Uwais bekerja sama. Katakan yang sebenarnya sekarang. Tasya mengatakan kalau ia melakukannya agar Stela mundur?"
Tasya tersudut. Merasa tidak ada jalan keluar, ia menjatuhkan bahunya dan menghela napas pasrah.
Matanya yang tadi berkaca-kaca kini menunjukkan kekesalan.
"Ya! Aku melakukannya! Aku hamil karena aku ingin kamu kembali! Dia tidak pantas untukmu, Met! Aku hanya ingin dia pergi darimu!" akunya, mengabaikan fakta bahwa ia baru saja membongkar kebohongannya.
Mehmet mengangguk, hatinya terasa sakit melihat betapa jahatnya Tasya, tetapi ia lega bahwa dugaannya benar.
Sekarang, ia harus menyelesaikan inti masalah yang membuat Stela hampir kehilangan nyawa.
Mehmet mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya mengunci Tasya.
"Sekarang jawab aku dengan jujur, Tasya. Kamu mengklaim aku bertanggung jawab karena kita bersama di Bali. Apakah kita melakukan hubungan intim?" Tanya Mehmet dengan suara yang sangat rendah dan mengancam.
Tasya menatap mata Mehmet, mencari jejak keraguan, namun tidak menemukannya.
Ia tahu, jika ia berbohong tentang hal ini, Mehmet akan menghancurkannya.
Tasya menundukkan kepalanya. Ia tidak berkata apa-apa.
Tasya menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Met. Kita tidak melakukannya," bisik Tasya, menelan ludah.
"Aku hanya mencoba meyakinkanmu dan Stela bahwa kamu punya kewajiban lain."
Di balik tirai tanaman hias, Stela, yang tadi menahan napas, meremas tangannya erat-erat.
Air mata yang sempat menggenang kini berubah menjadi air mata lega dan amarah.
Mehmet tidak berbohong. Dia tidak mengkhianatinya.