NovelToon NovelToon
Naura, Seharusnya Kamu

Naura, Seharusnya Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Menikah Karena Anak
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Fega Meilyana

"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"

***

"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."

***

Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kepergian dan Kehadiran

Ia mengangkat tubuh Rania dengan susah payah, pikirannya kosong. Hanya satu hal yang terngiang - jangan sampai kehilangan.

Sirene ambulans meraung memecah malam.

Bani duduk di samping Rania, menggenggam tangannya erat. Darah terus mengalir. Napas Rania tersengal.

“Mas…” Rania membuka mata setengah. “Kalau… kalau terjadi sesuatu…”

“Jangan bicara begitu!” suara Bani pecah. “Kamu bakal baik-baik aja. Dengar?”

Rania tersenyum tipis. Senyum yang membuat dada Bani seperti diremas.

Ruang IGD berubah menjadi dunia asing.

Perawat berlarian. Dokter memeriksa cepat. Suara monitor berdetak keras. “Pasien pendarahan hebat. Usia kandungan tiga puluh empat minggu,” ujar dokter tegas. “Kita harus operasi sesar darurat. Sekarang.”

“Dok,” suara Bani bergetar, “istri saya, tolong selamatkan istri saya dok. Istri saya-"

Dokter menatapnya lurus. “Kami butuh persetujuan.”

Bani menelan ludah.

“Risikonya tinggi. Bisa saja hanya satu yang selamat.” Kalimat itu menghantam lebih keras dari apa pun. “Siapa yang harus kami prioritaskan?” tanya dokter.

Dunia Bani runtuh.

Ia memandang Rania yang sudah setengah tak sadar. “Istri saya,” jawabnya dengan suara patah. “Kalau darurat… selamatkan istri saya.”

Dokter mengangguk cepat.

Saat Rania didorong menuju ruang operasi, tangannya tiba-tiba menggenggam pergelangan Bani. “Mas…”

“Iya, sayang. Mas di sini.”

Dengan sisa tenaga, Rania berbisik lirih, namun jelas—

“Kalau… dokter harus memilih… tolong… pilih anak kita…”

Air mata Bani jatuh tanpa bisa ditahan. “Rania, jangan. Mas gak mau kehilangan kamu.”

Rania tersenyum lemah. “Mas… aku bahagia… sama kamu…”

Pintu ruang operasi tertutup. Dan Bani jatuh terduduk di lantai.

Tangisnya pecah—keras, hancur, tanpa sisa. Dengan tangan gemetar, Bani mengeluarkan ponsel. Ia menekan nama Nafisah.

“Mbak Nafisah…” suaranya tercekat. “Rania… Rania masuk ruang operasi. Darurat.”

Di seberang sana terdengar isakan tertahan. “Kami ke sana sekarang,” jawab Zaki mengambil alih. “Tenang, Ban. Tenang.”

Telepon terputus.

Bani menatap pintu ruang operasi yang tertutup rapat. Di kepalanya hanya satu doa—Tuhan, ambil apa saja… asal jangan mereka berdua.

***

Lampu-lampu putih itu terasa terlalu terang. Bau antiseptik menusuk hidung. Rania terbaring di atas ranjang operasi, tubuhnya lemah, darah terus mengalir meski perawat berusaha menghentikannya. Nafasnya tersengal, tangannya dingin.

“Bu Rania,” suara dokter terdengar cepat dan tegas, “pendarahannya hebat. Kami harus segera melakukan operasi caesar darurat.”

Rania mengangguk lemah. “Dok…” suaranya nyaris tak terdengar. “Tolong…”

Dokter mendekat. “Kami harus jujur. Kondisinya kritis. Ada kemungkinan kami hanya bisa menyelamatkan satu.”

Rania memejamkan mata. Air mata lolos begitu saja. “Mana yang ingin Ibu selamatkan?” tanya dokter, suara profesionalnya sedikit goyah.

Rania membuka mata perlahan. “Anak saya,” jawabnya tanpa ragu. “Tolong… selamatkan anak saya.”

“Tapi Bu, masih 34 minggu. Bayinya harus masuk NICU, peluangnya—”

“Tidak apa-apa,” potong Rania lirih. “Dia lebih kuat dari saya.”

Tangannya meraba perutnya yang sudah dibersihkan.

“Nak…” bisiknya dengan sisa tenaga. “Maaf ya… Mama gak bisa lama-lama sama kamu.”

Air mata mengalir ke sisi wajahnya. “Dokter,” katanya lagi, memaksa dirinya fokus, “suami saya… jangan bilang apa-apa ke dia dulu. Saya yang minta.”

Dokter menelan ludah. “Baik, Bu.”

Rania tersenyum tipis—senyum terakhir yang penuh keikhlasan. “Dan satu lagi, Dok…”

“Kalau saya tidak sadar… tolong bilang ke suami saya…”

Napasnya terputus-putus. “…saya bahagia.”

Monitor mulai berbunyi lebih cepat. “Siapkan operasi sekarang!” seru dokter.

Tirai ditutup. Pisau bedah bergerak.

Dan di ruang tunggu—Bani terduduk lemas di kursi besi. Kepalanya tertunduk, kedua tangannya gemetar hebat. Bajunya masih bernoda darah Rania.

“Ya Allah…” suaranya pecah. “Ambil aku saja… jangan dia.”

Ia mengangkat ponsel dengan tangan gemetar, menekan nomor Nafisah.

Di dalam ruang operasi, tangisan bayi terdengar.

“Alhamdulillah… bayinya hidup!” seru seorang perawat.

Seorang bayi perempuan mungil diangkat, tubuhnya kecil, kulitnya kemerahan.

“Tapi prematur. Langsung NICU.”

Bayi itu dibawa pergi dengan inkubator. Sementara di meja operasi—Monitor Rania mulai melemah.

“Dok, tekanan darah turun!”

“Bu Rania! Tolong bertahan!”

Namun Rania sudah terlalu lelah.

Di antara kabut kesadarannya, ia seolah melihat wajah Bani—tersenyum padanya. “Maaf…” bisiknya dalam hati. “Terima kasih sudah mencintaiku.”

Bunyi monitor berubah panjang.

Datar.

Sunyi.

“Kami… kehilangan ibunya.” Dokter menunduk, menutup mata Rania dengan lembut. “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…”

Di luar ruang operasi, Bani bersandar di dinding, dadanya sesak oleh firasat yang tak mampu ia tolak.

Dan pada saat itu—di satu ruangan lain, seorang bayi mungil menangis untuk pertama kalinya,

sementara ibunya pergi untuk selamanya.

Di luar, pintu ruang operasi terbuka. Bani berdiri dengan harapan yang rapuh. “Dok… istri saya?”

Dokter menghela napas panjang. “Bayinya selamat. Putri Anda lahir dengan selamat dan sedang di NICU.”

Bani tersenyum—lalu runtuh saat kalimat berikutnya keluar. “Namun… kami tidak bisa menyelamatkan istri Anda.”

Dunia Bani runtuh seketika. Ia jatuh berlutut.

Menangis bukan seperti lelaki dewasa—melainkan seperti anak kecil yang kehilangan seluruh dunianya.

Dan di NICU, bayi mungil itu tidur dalam inkubator.

Tanpa tahu—bahwa hidupnya dibayar dengan nyawa seorang ibu yang sejak awal sudah bersiap untuk pergi.

***

Lampu NICU menyala putih, dingin, dan sunyi.

Bani berdiri kaku di balik kaca bening. Tubuhnya masih gemetar, jas rumah sakit masih berbau darah dan antiseptik. Tangannya mengepal di saku celana—bukan untuk menahan dingin, tapi untuk menahan runtuh.

Di balik kaca itu, sebuah tubuh mungil terbaring di dalam inkubator.

Naura.

Anaknya.

Anak Rania.

Selang kecil terpasang di hidung mungil itu. Dadanya naik turun pelan, seolah masih belajar bernapas di dunia yang terlalu cepat menyambutnya.

“Pak Bani,” suara perawat terdengar pelan, “bayinya stabil, tapi masih harus di NICU. Usia kandungannya belum cukup.”

Bani hanya mengangguk. Tenggorokannya terkunci.

Ia melangkah masuk dengan langkah pelan. Setiap langkah terasa berat, seperti berjalan membawa seluruh dunia di punggungnya.

Di samping inkubator, Bani berdiri lama. “Assalamu’alaikum,” ucapnya akhirnya, suaranya serak.

Tangannya gemetar saat menyentuh kaca inkubator. “Naura…” suaranya pecah. “Ini Papa.”

Ia tertawa kecil—tawa kosong yang bercampur isak. “Kamu mirip Mama kamu,” bisiknya. “Kecil… tapi keras kepala.”

Air mata jatuh satu-satu, membasahi masker yang ia kenakan.

“Maafin Papa,” katanya lirih. “Papa nggak bisa nyelametin Mama kamu.”

Dadanya terasa seperti diremas dari dalam. Setiap napas menyakitkan.

Di luar ruangan, langkah kaki tergesa terdengar. “Bani…”

Suara itu.

Bani menoleh.

Nafisah berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat, matanya sembab. Di sampingnya, Zaki menahan bahu istrinya yang hampir runtuh.

“Rania…?” suara Nafisah bergetar, meski ia sudah tahu jawabannya.

Bani menunduk. Hanya satu anggukan kecil.

Nafisah menutup mulutnya, tangisnya pecah tanpa suara. Zaki memeluknya erat. “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” ucap Zaki pelan, suaranya berat.

Bani kembali menatap inkubator. “Dia titipkan anak ini ke aku,” katanya lirih. “Sampai detik terakhir, yang dia pikirkan cuma Naura.”

Nafisah mendekat perlahan. Ia berdiri di sisi Bani, menatap bayi kecil itu dengan mata berkaca.

“Bani,” katanya pelan tapi tegas, “Rania pergi dengan tenang. Karena dia tau… anaknya masih hidup.”

Bani menggeleng, napasnya tercekat. “Dia terlalu baik. Terlalu kuat. Dan aku…” suaranya runtuh, “…aku kehilangan segalanya dalam satu malam.”

Zaki menepuk bahu Bani. “Kamu tidak sendirian,” katanya mantap. “Naura tidak sendirian.”

Nafisah menatap bayi itu, lalu berbisik—lebih seperti doa. “Tenanglah, Nak,” katanya. “Ibumu sudah berjuang. Sekarang… giliran kami menjaga kamu.”

Di balik kaca NICU, Naura bergerak kecil. Jemarinya yang mungil menggeliat pelan.

Bani menahan napas.

Di tengah kehilangan yang tak terkatakan, ia menyadari satu hal—Rania telah pergi. Namun ia meninggalkan hidup. Dan hidup itu kini berada di dalam inkubator kecil, bernama Naura.

Naura Meisya Alzafira Atmadja.

***

Langit mendung seakan ikut berkabung. Tanah pemakaman itu basah oleh hujan semalam. Bau tanah bercampur doa-doa yang terucap lirih. Rania telah terbaring tenang di liang lahatnya—putih, bersih, seolah hanya tertidur.

Bani berdiri kaku di tepi makam. Matanya kosong.

Sejak pagi, ia nyaris tidak berbicara. Tidak menangis. Tidak pula pingsan seperti yang dikhawatirkan orang-orang. Ia hanya berdiri—seperti tubuh tanpa jiwa.

“Bani…” Nafisah memanggil pelan.

Tidak ada jawaban.

Zaki menepuk bahu sepupunya itu, namun Bani tak bereaksi. Pandangannya tertuju pada papan kayu nisan yang masih baru.

Rania binti…

Kalimat itu seperti pisau.

“Mas…” suara lirih terdengar dari belakang.

Bani menoleh perlahan.

Laras berdiri beberapa langkah darinya. Wajahnya pucat, matanya sembab. Ameera memeluk kaki ibunya erat-erat, matanya menatap makam itu dengan polos—belum sepenuhnya mengerti apa arti kehilangan.

Laras menunduk hormat. “Saya turut berduka cita, Mas.”

Kata-kata itu seharusnya biasa.

Namun dari Laras, perempuan yang begitu dekat dengan Rania, kalimat itu terasa seperti pengingat bahwa dunia benar-benar sudah berubah. Bani menatap Laras lama.

Lalu… runtuh.

Tubuhnya gemetar. Napasnya tersengal. Ia berlutut di tanah basah itu, tepat di sisi makam istrinya.

“Ran…” suaranya pecah. “Bangun… jangan bercanda…”

Tangannya mencengkeram tanah. “Kamu janji nunggu aku tua… kamu janji lihat anak kita besar…”

Tangisnya akhirnya tumpah—keras, hancur, tanpa sisa harga diri.

Zaki dan beberapa laki-laki mencoba menahan tubuh Bani agar tidak roboh sepenuhnya.

“Bani… sabar, Ni…” Zaki ikut terisak.

Namun Bani tak mendengar apa pun selain gema suara Rania di kepalanya.

Mas, jaga diri kamu baik-baik…

Laras menutup mulutnya, menangis dalam diam. Ameera menatap Bani dengan mata besar yang berkaca-kaca.

“Om kenapa nangis?” bisik Ameera polos.

Pertanyaan itu menghantam Laras.

Ia memeluk Ameera erat, air matanya jatuh ke rambut anak itu.

“Karena Om kehilangan orang yang sangat dia cintai, sayang.”

Pemakaman selesai.

Orang-orang mulai beranjak pergi, menyisakan tanah merah, bunga tabur, dan seorang laki-laki yang separuh jiwanya ikut dikuburkan hari itu. Bani masih duduk di sana.

Tidak bergerak. Tidak ingin pulang. Tidak siap menerima kenyataan bahwa rumahnya nanti akan sunyi tanpa suara Rania, tanpa langkah kecil istrinya di dapur, tanpa senyum yang selalu menyambutnya.

Laras melangkah mendekat—ragu.

“Mas…” suaranya hampir tak terdengar. “Naura… masih butuh ayahnya.”

Nama itu.

Naura.

Anak yang Rania pertaruhkan nyawanya.

Bani menutup wajahnya dengan kedua tangan.

“Aku belum siap,” bisiknya lirih. “Aku benar-benar belum siap ditinggal dia…”

Laras menunduk, air matanya jatuh ke tanah. “Saya tau,” katanya pelan. “Tidak ada yang pernah siap kehilangan Rania.”

Di bawah langit mendung itu, di antara doa dan air mata, satu hal menjadi nyata—kepergian Rania bukan hanya meninggalkan duka, tetapi juga amanah yang kelak akan mengikat hidup mereka semua.

1
Anak manis
😍
cutegirl
😭😭😭
anakkeren
authornya hebat/CoolGuy/
just a grandma
nangis bgt/Sob/
cutegirl
plislah nangis bgt ini/Sob/
anakkeren
siapa si authornya, brani memporakan hatiku dgj ceritanya😭
just a grandma
nangis banget😭
cutegirl
bagus laras💪
just a grandma
sedihnya sampe sini /Sob/
just a grandma
kasian laras, ginggalin aja si rendra
anakkeren
kasian laras
just a grandma
suka sm ceritanyaaa
anakkeren
kapan kisah nauranya kak?
Fegajon: nanti ya. kita bikin ortunya dulu biar nanti ceritanya enak setelah ada naura
total 1 replies
anakkeren
lanjut
just a grandma
raniA terlalu baik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!