NovelToon NovelToon
Mahar Pengganti Hati

Mahar Pengganti Hati

Status: tamat
Genre:Perjodohan / Pengganti / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Ibu Pengganti / Tamat
Popularitas:8.7k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan.
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29

Di kamar yang sepi, hanya suara hujan rintik di luar jendela yang terdengar.

Arkan duduk di tepi ranjangnya, tubuhnya sedikit membungkuk, kedua tangannya menutupi wajah. Air matanya mengalir tanpa bisa ia bendung lagi.

“Kenapa, Na…” suaranya serak, hampir seperti bisikan yang dipenuhi sesal.

“Kenapa kamu memilih lelaki lain…?”

Ia menatap foto lama yang tergantung di dinding dimana foto dirinya dan Husna ketika masih bersama, sebelum semua tragedi terjadi.

Senyum mereka di foto itu terasa begitu hangat, tapi kini hanya membuat luka di dadanya semakin dalam.

Arkan meraih bingkai itu dengan tangan gemetar, mengusap perlahan wajah Husna di foto.

“Aku pikir, aku masih punya waktu. Aku pikir, kalau aku sembuh, semuanya bisa kembali seperti dulu…”

Tangisnya pecah lagi, bahunya terguncang hebat.

“Tapi ternyata, waktu nggak berpihak padaku. Kamu sudah milik orang lain, Na…”

Ia menatap kosong ke arah jendela, menatap hujan yang turun deras.

“Aku kehilanganmu dua kali. Pertama karena takdir dan sekarang karena cinta yang bukan lagi untukku.”

Arkan menggenggam erat foto itu di dadanya, seolah tak ingin melepaskan kenangan terakhir yang ia punya.

“Semoga kamu bahagia, Na. Meskipun bukan bersamaku.”

Pintu kamar perlahan terbuka, dan Nadia melangkah masuk dengan langkah hati-hati.

Di tangannya, ada secangkir teh hangat yang asapnya masih mengepul tipis.

Ia melihat kakaknya duduk di tepi ranjang dengan mata bengkak, wajahnya sembab karena menangis.

“Kak…” panggil Nadia pelan, suaranya lembut.

Arkan tidak menjawab, hanya menunduk, memegang erat bingkai foto yang berisi gambar dirinya bersama Husna.

Nadia mendekat perlahan, meletakkan cangkir di meja, lalu duduk di sampingnya.

Ia menatap kakaknya dengan mata yang ikut berkaca-kaca.

“Udah, Kak. Jangan nyalahin diri sendiri terus,” ucapnya lembut.

“Aku tahu Kakak sayang banget sama Mbak Husna. Tapi, keadaan udah berubah.”

Arkan menarik napas dalam-dalam, suaranya parau.

“Dia pilih orang lain, Nad. Padahal aku masih cinta dia.”

Nadia menggenggam tangan kakaknya, menatapnya penuh kasih.

“Aku tahu. Tapi cinta itu, Kak, kadang nggak cukup buat mengubah takdir. Mbak Husna juga berhak bahagia dan Kakak juga berhak sembuh, bangkit lagi.”

Arkan menggeleng pelan, air mata kembali menetes.

“Aku cuma nggak bisa bayangin dia sama orang lain, Nad. Rasanya sesak di sini…” katanya sambil menepuk dada.

Nadia menarik napas panjang, lalu memeluk bahu kakaknya dengan lembut.

“Kalau Kakak terus kayak gini, Kakak malah nyakitin diri sendiri. Husna pasti nggak mau lihat Kakak menderita. Sekarang yang Kakak butuh bukan dia, tapi ketenangan. Waktu akan bantu Kakak lupa, pelan-pelan.”

Arkan menatap adiknya, matanya basah tapi ada sedikit senyum getir di bibirnya.

“Kamu selalu tahu cara nenangin aku, ya…”

Nadia tersenyum kecil sambil menyeka air mata kakaknya.

“Ya iyalah. Aku adikmu, Kak. Selama aku masih di sini, kamu nggak sendirian.”

Arkan menatap ke luar jendela dimana hujan sudah berhenti, dan cahaya sore mulai menembus awan.

Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang hancur.

“Mungkin kamu benar, Nad. Mungkin ini waktunya aku belajar ikhlas…”

Nadia mengangguk pelan, menepuk bahunya lembut.

“Itu baru kakakku.”

Sementara itu di tempat lain dimana mobil Jovan berhenti perlahan di halaman rumah.

Sore itu langit tampak cerah, tapi suasana hati Husna masih redup.

Ia baru saja melewati hari yang melelahkan emosional, penuh rasa bersalah dan simpati.

Jovan keluar lebih dulu, kemudian membuka pintu untuk istrinya.

Dengan lembut, ia menggenggam tangan Husna yang dingin.

“Sudah, sayang. Jangan sedih lagi,” ucapnya pelan sambil menatap wajah istrinya yang masih murung.

Husna menatap Jovan sejenak, lalu mengangguk pelan.

“Aku cuma nggak tega lihat Arkan seperti itu, Van.”

Jovan langsung mengelus punggung tangannya lembut.

“Aku tahu. Tapi kamu udah jujur sama dia, dan itu hal yang paling benar yang bisa kamu lakukan. Sekarang, fokuslah sama kita dan Ava, ya?”

Begitu mereka melangkah masuk ke ruang tamu, suara kecil yang ceria langsung menyambut mereka.

“Mamaaa… mamaaa…”

Ava, bayi mungil mereka, menggapai-gapai dari pelukan Mama Riana yang tersenyum hangat.

Husna langsung tersenyum untuk pertama kalinya hari itu. Ia segera menghampiri, lalu menggendong Ava yang tertawa kecil.

“Ya ampun, anak mama. Kangen banget, ya?” katanya sambil menciumi pipi bayi itu yang lembut.

Ava terkekeh lucu, suaranya membuat suasana rumah terasa hangat kembali.

Jovan tersenyum melihat keduanya, lalu berdiri di belakang Husna, memeluk bahunya dari belakang.

“Lihat, Na. Senyum Ava aja udah cukup buat bikin dunia kita lengkap lagi.”

Husna menoleh, menatap suaminya dengan mata yang mulai tenang.

“Iya, kamu benar…” katanya pelan sambil tersenyum.

“Selama ada kamu dan Ava, aku nggak perlu takut kehilangan apa pun lagi.”

Jovan mencium keningnya lembut. “Itu baru istriku.”

Ava menatap kedua orang tuanya dengan mata berbinar, lalu menepuk-nepuk pipi ibunya seolah ikut mengerti kehangatan yang kembali hadir di antara mereka.

Mama Riana yang sejak tadi memperhatikan dari sofa tersenyum hangat melihat kebersamaan kecil itu.

Ia mendekat pelan, lalu menepuk lembut bahu menantunya.

“Husna, Jovan. Kalian berdua pasti capek. Sudah, istirahatlah dulu di kamar,” ucapnya lembut.

Husna menatap Ava di pelukannya, lalu menoleh ke arah Mama Riana.

“Tapi, Ma. Ava baru saja tenang. Aku takut nanti dia rewel lagi.”

Mama Riana tersenyum dan mengulurkan tangan.

“Biar Mama yang gendong, ya? Sudah, kalian berdua perlu tenang dulu. Ava sama Mama, nggak usah khawatir.”

Jovan menatap istrinya sejenak, lalu mengangguk pelan.

“Ava aman sama Mama, Na. Yuk, kita istirahat sebentar.”

Dengan hati-hati Husna menyerahkan Ava ke pelukan Mama Riana.

Bayi mungil itu tampak nyaman, bahkan tersenyum kecil sambil menggenggam jari neneknya.

“Nah, lihat? Dia malah tambah senang digendong Mama,” ucap Mama Riana sambil menatap cucunya penuh kasih.

Husna tersenyum lembut, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Jovan.

“Terima kasih, Ma…”

“Sudah, sana. Kalian butuh waktu berdua,” jawab Mama Riana sambil mengayun pelan Ava yang mulai menguap kecil.

Jovan menggenggam tangan istrinya, mengajaknya naik ke kamar.

Sementara di ruang tamu, Mama Riana duduk di kursi goyang, menimang-nimang Ava dengan penuh kasih.

Suasana rumah sore itu terasa damai dan hanya terdengar suara lembut bayi dan detak jam dinding yang berdetak perlahan.

Sore mulai beranjak malam. Aroma masakan buatan Mama Riana memenuhi seluruh rumah ada sup ayam hangat, tumis sayuran, dan ikan bakar kesukaan Jovan.

Dari arah tangga, Jovan turun sambil menggandeng tangan Husna yang masih tampak sedikit lemah tapi sudah tersenyum cerah.

Di ruang makan, Burak dan Mama Riana sudah menyiapkan meja makan yang tertata rapi.

Ava duduk di pangkuan neneknya, tertawa kecil sambil memainkan sendok plastik.

“Wah, akhirnya lengkap juga kita makan malam bersama lagi,” ujar Burak dengan senyum lega.

Husna duduk di samping Jovan, menatap sekeliling dengan mata berkaca-kaca.

“Aku kangen suasana kayak gini, Pa, Ma. Rasanya… seperti rumah yang benar-benar hangat.”

Mama Riana tersenyum sambil menyendokkan nasi ke piring Husna.

“Sekarang yang penting kamu makan yang banyak ya, biar cepat pulih. Lihat tuh, Jovan sampai kurus karena ikut jagain kamu terus.”

Husna menatap Jovan sambil tersenyum malu, sementara Jovan menimpali dengan nada menggoda, “Kalau makan masakan Mama terus, kayaknya aku bisa gemuk lagi deh.”

Semua tertawa ringan. Suasana makan malam itu terasa begitu hangat dan penuh kebersamaan.

Ava sesekali tertawa kecil saat Jovan membuat ekspresi lucu di depannya, sementara Husna menatap kedua orang tuanya dengan rasa syukur yang mendalam.

“Kita sudah melewati banyak hal, tapi malam ini, lihatlah. Kita masih bersama, masih lengkap, dan masih saling punya. Itu yang paling berharga.”

Husna menunduk, air matanya menetes pelan. Ia menatap Jovan.

"Terima kasih sudah tidak menyerah, Van.”

Jovan menggenggam tangannya erat di bawah meja, menatapnya dengan senyum lembut.

“Selama kamu dan Ava ada, aku nggak akan pernah menyerah, Na.”

Husna menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!