Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Tragedi Danisha
Hari itu senja jatuh perlahan di rumah sakit, sinar keemasan dari matahari sore menembus kaca jendela dan turun menyinari wajah Sabil yang masih serius menatap laptop. Sementara Darmono dapat tertidur pulas dalam penjagaan menantunya. Ia menjaga Darmono seperti menjaga balita yang sedang demam, penuh perhatian dan kasih sayang.
Sikap tenang dan sabar Sabil sejak usia remaja saat mengurus ibunya yang sakit gangguan jiwa, membuat Darmono jatuh hati padanya, lalu menjadikan Sabil sebagai anak angkatnya.
Baru tadi pagi Darmono mengetahui bahwa pernikahan Sabil dengan putrinya adalah sebuah perjanjian pernikahan kontrak demi menyelamatkan mukanya dari rasa malu, karena Danisha sudah mengandung anak dari Jordi. Bukan seperti alasan Danisha saat meminta ijin menikah dengan Sabil, Danisha mengatakan sudah jatuh hati pada kaka angkatnya sejak masih remaja.
Darmono percaya.
Darmono merasa tertipu oleh ulah putrinya sendiri, hingga jantungnya tidak kuat menerima kenyataan yang sebenarnya. Ia sangat terpukul dengan masalah yang dihadapi putra angkatnya juga putri kandungnya yang sulit diatur itu.
Getar ponsel menggeliat di atas meja, di samping laptop yang sedang menyala, menginterupsi perhatian Sabil. Keningnya mengernyit saat melihat layar ponselnya, sebuah nomer tidak dikenal memanggil. Ia menekan tombol hijau untuk menerima panggilan. Khawatir dari rumah sakit atau pasien VIP yang sedang rawat jalan, memanggil darurat.
"Selamat siang, kami dari pihak kepolisian, apa betul saya terhubung dengan saudara Sabil, suami dari Nyonya Danisha?"
"Maaf dengan siapa saya bicara?" tanyanya hati-hati
"Saya Iptu Jarot dari polsek Neglasari. Ingin memberitahukan jika istri saudara yang bernama Maudy Danisha dan satu rekannya yang bernama Jordi Maeshehar mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol Bandara. Kami mohon keluarga segera datang ke rumah sakit... Untuk mengidentifikasi dan penjelasan lebih lanjut."
"Baik, saya akan segera ke sana."
Sabil mematikan panggilan lalu menatap layar ponsel dengan wajah berkerut. Ia menoleh ke arah papa mertuanya yang masih tidur pulas di atas ranjang pasien. Tampak wajahnya berpikir dengan keras. Ia lalu menghubungi sebuah nama dari daftar kontaknya.
"Wina, sorry aku mengganggu waktumu, aku tahu saat ini kamu harus pulang. Tapi aku mohon bantuan. Barusan kepolisian memberi kabar kalau Danisha kecelakaan. Aku harus ke sana."
"Ya Allah, dimana Bil?"
"Informasinya di jalan tol Bandara. Tolong jaga Presdir di sini. Hanya kamu orang yang bisa aku dan Presdir percaya."
"Oke, kamu bisa segera pergi, aku sudah sampai di rumah sakit Jantung. Tadinya aku memang mau mampir sebelum pulang."
"Terima kasih Wina."
Sabil segera bangkit dari duduknya lalu gegas keluar dari rumah sakit.
Tiba di rumah sakit terdekat dari tempat kecelakaan, polisi mengarahkan Sabil ke ruang IGD untuk melihat kondisi Danisha.
"Pasien belum sadarkan diri, cidera di kepala membuatnya kehilangan banyak darah. Kami mohon pihak keluarga menandatangani tindakan medis lainnya." dokter jaga menjelaskan kondisi pasien.
Sabil menunjukkan wajah prihatin dan kesedihan yang mendalam. Walaupun ia dan Danisha seringkali berselisih paham, tapi ia menyayangi Danisha seperti adik kandungnya sendiri.
"Dokter Sabil bisa kita bicara?" tanya Iptu Jarot
"Silahkan pak," jawab Sabil mengalihkan perhatiannya dari surat persetujuan tindakan pasien.
"Kami ingin anda mengidentifikasi barang-barang korban juga rekan korban yang sudah dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit. Mari ikuti kami ke kamar jenazah."
Di sebuah ruangan yang bersuhu khusus, tubuh jordi sudah terbujur kaku di atas brankar jenazah. Wajahnya hancur, tubuhnya penuh luka.
"Apa benar korban adalah saudara Jordi, karena berdasarkan temuan barang-barang korban, berupa passport, korban bernama Jordi Maeshehar."
"Benar, dia teman sejawat kami."
"Barang-barang ini kami temukan di mobil korban, silahkan bapak periksa sebelum kami bawa ke kantor untuk dijadikan barang bukti."
"Tunggu pengacara saya datang sebelum barang-barang korban dibawa, kami mohon waktu, pak," pintanya.
Puluhan menit Sabil habiskan untuk mencerna apa yang terjadi, apa yang Danisha dan Jordi rencanakan. Ia semakin pusing ketika menemukan sepuluh lembar surat gadai dari lembaga keuangan ilegal. Dengan bukti transfer dari lembaga keuangan ilegal yang sudah masuk rekening Danisha dan Jordi mencapai ratusan milyar. Bukti penjualan jam tangan miliknya di sebuah toko jam tangan terkenal di Jakarta Selatan. Paspor perjalanan ke Kamboja dan Thailand juga bukti sewa apartemen di Bangkok untuk satu bulan.
Pengacara mencatat, mengkalkulasi kerugian dan menghubungi beberapa lembaga keuangan yang terlibat.
Sabil meremas rambutnya dengan kuat, ia terpukul, kecewa sekaligus bingung dengan apa yang sedang ia alami. Di saat ia juga harus merasakan iba pada kondisi Danisha di ruang ICU, semua bukti yang ia temukan menunjukkan pengkhianatan Danisha yang luar biasa di ujung pernikahannya.
"Apa yang harus aku lakukan padamu, Nisa. Kamu bukan hanya memeras aku tapi juga mengkhianati papamu," gumam Sabil seraya menutupi wajahnya yang memerah dengan kedua telapak tangannya.
Pengacara menepuk pundak Sabil dengan pelan seakan mencoba memberi kekuatan dan ukuran tangan bantuan tanpa kata.
"Semua akan kami tangani dengan baik, lebih baik kamu fokus pada kesembuhan Pak Darmono dan istrimu. Barang bukti ini akan kami kawal ke kantor kepolisian untuk tindakan lebih lanjut. Saya permisi pak Sabil."
"Baik, terima kasih. Mohon bantuannya pak Raymond."
Di depan kaca besar ruang ICU, Sabil memandang Danisha dengan sorot mata yang tidak terbaca, kesedihan, kemarahan, kekecewaan berkumpul jadi satu dalam dadanya. Ia memasukkan kedua telapak tangannya yang tergenggam ke dalam saku celana. Kondisinya saat itu sangat berantakan, rahangnya mengeras, rambut acak-acakan, lengan kemejanya digulung satu sisi dan membiarkan lengan kemeja sisi lainnya masih terkancing, ujung kemeja sudah keluar dari pinggang.
Di lorong rumah sakit, seorang perempuan muda menggendong batita dengan hipseat berjalan tergesa beriringan dengan seorang perempuan paruh baya. Mereka mencari keberadaan Sabil dan Danisha. Saat menemukan keberadaan Sabil, mereka segera menghampiri.
"Jalu, bagaimana Danisha?" tanyanya seraya mengusap punggung Sabil.
Sabil menoleh dan mendapati kedatangan Bude Sunti dan Hania juga Jordan. "Bude, siapa yang memberitahu?"
"Sebelum menelpon kamu, pihak kepolisian menghubungi nomer bude, saat itu Danisha masih bisa berbicara dengan bude di telepon. Dia menitipkan Jordan, Bil," ungkapnya dengan nada getir.
"Tadi pagi dia datang ke rumah berdua dengan Jordan tanpa supir dan baby sitter. Bude tidak tahu apa yang terjadi, dia meninggalkan anaknya begitu saja. Menjelang siang, bude ke ruang kerjamu untuk kebersihan, kondisinya sudah berantakan sepertinya dia mencari sesuatu di sana."
"Iya bude, aku sudah tahu."
Hania mengambil sebelah tangan Sabil lalu membantu menggulung lengan kemejanya yang masih terkancing hingga siku. Merapihkan kerah yang tidak tertekuk sempurna. Dengan lembut dan hati-hati ia berkata, "Mas, aku bawakan makanan untuk mengisi perut. Mas, makan dulu ya."
Sabil menggeleng, lalu membawa Hania untuk duduk di kursi panjang. "Duduklah, kamu pasti pegal menggendongnya. Bulan ini berat badannya naik satu kilo, dia tambah gemuk," ucapnya sambil mengelus pipi Jordan.
Bayi berumur satu tahun setengah itu masih lelap dalam gendongan Hania. Sabil memandangnya dengan iba dan tatapan sendu.
"Apa hari ini dia rewel?" tanyanya.
"Dia menemukan pelukan hangat dari Hania, pagi setelah ibunya pergi dia nangis terus sulit ditenangkan, mungkin bocah ini sudah punya firasat. Setelah Hania gendong, dia bisa tidur dan sempat makan lahap sebelum dibawa ke sini," ungkap bude
"Terima kasih Hania."
"Mas juga makan ya, wajah mas terlihat lelah dan kurang sehat," bujuk Hania menyodorkan lunch box dengan kedua tangannya.
Tatapan Sabil jatuh pada tangan Hania, ia tidak bisa makan dalam kondisi seperti itu, ia hanya butuh genggaman tangan Hania yang hangat. Ia mengambil lunch box, lalu ia letakkan di meja. Telapak tangan Hania yang kosong ia genggam dengan erat, sambil bersandar pada sandaran kursi, duduk merapat di samping Hania.
"Aku hanya butuh ini untuk menenangkan gelisah dan amarahku." suaranya lelah, serak dan berat, matanya tertutup rapat berusaha mencari kenyamanan dari kedekatannya dengan Hania dan Jordan.
Di balik kaca ruang ICU, sosok makhluk menyeramkan mendekati ranjang pasien dimana Danisha berada. Wajahnya menyeramkan, matanya merah menyala, giginya runcing dan tajam, kulit tubuhnya bersisik tebal, telinganya lancip ke atas dan di kepalanya terdapat tanduk yang tajam, air liur terus keluar dari mulutnya, ia tersenyum licik, menyeringai penuh kemenangan.
"Inilah hukuman untukmu yang sudah menyakiti ratuku, Jika Hania tersakiti, maka siapapun harus menghadapi kematiannya... Hahaha... "
Tawa itu menggema memekakkan telinga Danisha hingga mata perempuan yang sedang koma itu melotot dengan sorot ketakutan yang sangat, tubuhnya mengejang hebat dengan lidah yang menjulur keluar dengan paksa. Makhluk itu menarik lidah Danisha dengan sekali hentak.
Senyum menyeringai tampak di wajahnya, tanda kepuasan yang telah pecah dan api kemenangan berkobar di mata merahnya.