NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Sang CEO

Istri Rahasia Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Cinta Seiring Waktu / Romansa / CEO
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rienss

“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keputusan Sepihak Alan

“Kau...!”

Tara refleks mundur selangkah begitu kaca jendela mobil yang menghadangnya perlahan turun, menampakkan sosok seorang pria di balik kemudi yang tengah menatap ke arahnya.

Alandra Hardinata.

Pria itu masih mengenakan setelan jas yang ia kenakan di kantor tadi. Kancing kemejanya bagian atas terbuka satu dan dasinya sedikit longgar. Namun eskipun begitu, tampilan Alan terlihat begitu sempurna, ditambah kacamata bening yang bertengger di hidungnya.

“A_apa yang kau lakukan di sini?” lanjut gadis gugup. Ia melirik kanan  dan kiri memastikan tak ada orang lain selain mereka. Ia masih trauma dengan kejadian setahun yang lalu saat penggerebekan itu.

Alan tidak segera menjawab. Ia hanya mendengus pelan.

“Masuklah. Kita harus bicara,” ucapnya akhirnya.

Tara menelan ludah. Ia ingin sekali menolak, namun ia tahu bahwa percakapan antara dirinya dan Alan memang harus terjadi. Menghindar hanya akan memperpanjang masalah.

Tara menggigit bibir, mencoba menenangkan diri. “Baiklah,” jawabnya hati-hati.

Tara melangkah mendekat, lalu membuka pintu mobil. Ia bisa menghidu aroma maskulin parfum Alan begitu ia duduk manis di kursi penumpang di samping pria itu.

Tak berapa lama kemudian, mobil itu pun melaju kembali meninggalkan lokasi dengan ditemani suasana hening yang terasa panjang  di dalam kabin namun cukup ramai di luar sana.

Beberapa saat kemudian, mobil itu berhenti di sebuah area kosong yang cukup sunyi di pinggiran kota. Tara menunduk dengan jari saling meremas di pangkuan, sedangkan Alan duduk tegak dengan pandangan lurus ke depan, seperti sedang memilih kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan.

“Tara, aku... aku turut berduka dengan apa yang terjadi pada ayah,” ucap Alan akhirnya.

Tara menoleh padanya, Tapi tak ada sahutan apapun dari mulutnya. Ada rasa perih menjalari hatinya mengingat kembali apa yang terjadi pada sang ayah waktu itu.

“Aku... aku juga mendengar kalau warga desa mengusirmu dari sana,” lanjut Alan. Pria itu kemudian menundukkan kepala.

“Dan setelah ini kau akan mengusirku juga dari kota ini. Benar begitu kan, Tuan Alan?” balas Tara cepat. Senyum getir terlukis di wajahnya.

“Bukan begitu,” sanggah Alan menoleh padanya. Jujur, semalam ia memang begitu menggebu untuk segera bicara dengan Tara dan menyuruh gadis itu pulang. Tapi setelah mendengar laporan Rico tadi pagi... ia jadi berfikir ulang.

Jika ia mengusir Tara dari kota itu, entah kemana gadis itu akan pergi. Setahunya Tara tak memiliki keluarga atau kerabat lain selain Arif.

Tara membalas tatapan itu. “Lalu? Bukankah kau takut jika kehadiranku akan mengganggu keluargamu?”

“Tara dengarkan dulu!”

“Apa yang harus aku dengar?!” Ujar Tara dengan suara sedikit meninggi. “Kau pasti akan bilang kehadiranku berpotensi menimbulkan kegaduhan di keluargamu bukan? Kau takut istrimu yang katamu sangat kau cintai itu akan terluka begitu mendengar bahwa suaminya pernah menikah lagi meskipun terpaksa.”

Tara berusaha mengatur napasnya yang naik turun karena emosi. Sedangkan Alan masih terdiam sambil menatapnya.

“Dengar, Tuan Alan,” lanjut Tara berusaha tenang. “Aku datang ke kota ini bukan untuk menghancurkan apa pun. Aku hanya ingin bertahan hidup karena aku tidak memiliki tempat di manapun.”

Mata gadis itu berkaca. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke jendela.

“Seandainya aku tahu tahu dari awal bahwa kamu tinggal di kota ini...,” ujarnya lagi dengan suara bergetar halus. “Aku juga akan menolak ajakan Fifi waktu itu.”

Alan menelan ludah, ingin bicara tapi tak tahu harus mulai darimana. Saat itulah, Tara membuka resleting tas ranselnya. Dari sana ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua, lalu menyodorkannya kepada Alan.

“Ini barang-barangmu. Aku kembalikan mumpung bisa ketemu,” ucapnya pelan.

Dahi Alan berkerut saat menatap kotak kecil di tangan Tara. “Barang apa maksudmu?”

Tara tak menjawab.

Ragu, Alan menerima kotak itu perlahan. Ia kemudian mulai membukanya, dan seketika tubuhnya menegang.

“Tara, ini...” Alan menatap dua cincin yang ada di dalam kotak itu. Satu cincin pernikahannya dengan Lira, dan satu lagi cincin peninggalan ibunya yang dulu ia jadikan sebagai mas kawin untuk Tara.

Tara mengalihkan pandangannya, menatap ke depan. “Sebaiknya kau ambil kembali. Gara-gara benda itu aku kehilangan ayahku.”

Alan terdiam. Cekalan tangannya pada kotak biru tua di tangan kanannya menguat, sementara matanya belum lepas dari menatap Tara.

Keheningan kembali mengisi kabin mobil sedan mewah itu. Tara kembali teringat ucapan terakhir Arif waktu itu di rumah sakit. Ayahnya itu meminta maaf padanya, meskipun Tara tahu apa yang terjadi sama sekali bukan karena ayahnya.

Alan menunduk. “Maaf... sungguh aku tak bermaksud...” Alan tak melanjutkan ucapannya. Ia sadar akan kesalahannya. Meski niat awalnya hanya membantu, ia sama sekali tak menyangka apa yang ia lakukan justru menjadi awal bencana lain untuk Tara dan Arif, dua orang yang telah menolongnya.

Tara tak menyahut, menciptakan suasana yang terasa berat di dalam kabin.

Gadis itu lalu menghela nafas, menoleh kembali pada Alan. “Dan karena kita kembali bertemu sekarang... sesuai dengan janjimu dulu, sekalian saja kau mentalakku.”

Alan menatapnya, dan mata mereka pun saling bertaut. Untuk sesaat waktu seolah terhenti.

Seolah tersadar, Tara buru-buru mengalihkan pandangan. “C_cepatlah, aku menunggu.”

Alan tersenyum miring. “Buru-buru sekali kamu minta cerai dariku.”

Kali ini Tara memicingkan mata pada Alan. “Kau bilang apa? Buru-buru?” ujarnya ketus. “Bukannya dulu kau yang bilang sendiri akan segera menceraikanku? Tapi kenyataannya seperti apa? Aku bahkan sudah menunggunya setahun dua minggu, Tuan kota. Selama itu kau menggantung statusku.”

Alan menaikkan alis, berpura-pura terkejut. “Wah... kau sampai hafal ya usia pernikahan kita,” sahut Alan sembari terkekeh kecil.

Tara mendengus. Kesedihan yang ia rasakan beberapa saat lalu kini kini justru berubah menjadi perasaan kesal.

“Aku serius, Tuan Alan.”

Alan mengangguk-angguk. “Baiklah... beri aku waktu untuk memikirkannya.”

Mata Tara langsung membulat menatap pria itu. “Memikirkan apa lagi?” tanyanya kesal. Di tatapnya pria di sampingnya itu dengan ekspresi campur aduk antara frustasi dan tak percaya.

Alan tak segera menjawab. Ia malah memalingkan wajahnya menatap area kosong di depan mereka yang gelap.

“Dasar menyebalkan...” gumam Tara pelan. Ia ikut mengalihkan pandangan sembari bersedekap tangan.

Beberapa saat kemudian Alan kembali menoleh padanya. “Dengar, Tara. Begini saja.”

Tara menoleh, dahinya berkerut penasaran menatap Alan.

Alan menelan ludah sejenak sebelum melanjutkan bicara. “Menimbang semua yang terjadi padamu, aku... aku akan mentalakmu saat nanti kau sudah menemukan pria yang cocok.”

Alan menghela nafas. Entah kenapa ia merasa lega bisa mengatakan hal itu.

“Apa?!” seru Tara terkejut. “Apa maksudmu kau berkata begitu, Tuan Alan?” Gadis itu tersenyum masam sembari mengalihkan pandangan sebentar. “Bagaimana aku bisa menjalin hubungan dengan pria lain sementara statusku masih istri orang. Tidak! Aku tidak bisa!”

“Kamu bisa, Tara,” sanggah Alan dengan suara yang tenang. “Kau... kita bisa menjalani hari-hari seperti biasa. Aku pria beristri dan kau... Ya... anggap saja kau masih single. Kau bisa bebas bergaul dengan siapapun dan mencari pria yang kau anggap cocok.”

Senyum Tara kian masam dibuatnya. Menurutnya Alan sangat sewenang-wenang. “Aku tidak mau! Aku mau kau menceraikanku se ka rang!”

“Tidak bisa,” bantah Alan. “Bagaimanapun aku sudah berjanji pada ayahmu waktu itu, untuk menjagamu.”

“Menjagaku?!” Tara tertawa kecil, mengejek ucapan Alan barusan. “Kau menjagaku dari apa, Tuan...? Kau bahkan sudah bohong sejak awal.”

Gadis itu bersungut kesal. “Daripada menikahi pria beristri lebih baik aku mati saja waktu itu.”

“Tapi aku yang belum ingin mati.” Dan Alan menyanggah ucapan itu dengan cepat. “Aku masih punya istri yang menungguku di rumah, juga bisnis dengan ribuan karyawan. Aku tidak bisa mengabaikan mereka begitu saja hanya karena kesalahan yang tidak aku lakukan.”

“Tapi kau menipuku. Kau menipu ayahku, dan kami semua.”

“Tapi setidaknya itu bisa memperpanjang usiamu sampai sekarang, kan.” Alan menyalakan mesin mobilnya kembali. Kotak biru tua pemberian Tara sudah ia simpan di saku jasnya.

“Jadi keputusannya sudah bulat. Status kita masih suami istri hingga kau menemukan pria yang tepat nanti. Selama itu, kau akan tetap dalam pengawasanku,” ujar Alan tegas sembari memutar roda kemudi.

“Itu... itu tidak adil, Alan Hardinata!” seru Tara tidak terima.

Namun Alan tidak perduli dengan mengangkat sedikit bahunya. Mobil yang mereka tumpangi mulai melaju pelan meninggalkan tempat itu.

“Sudahlah, Tara. Kau sebaiknya menurut saja. Anggap saja kau sedang membantuku memenuhi janjiku pada ayah.”

Tara tak menyahut, ia yang merasa begitu frustasi langsung memalingkan wajahnya ke jendela. Sementara Alan yang sempat meliriknya hanya mencebik santai, lalu kembali fokus ke jalanan. Namun di dalam hatinya, diam-diam Alan mempertanyakan keputusan besar yang baru saja ia buat.

“Kenapa aku melakukan ini?”

1
Rahmat
Dirga rebut tara dr pria pengecut seperti alan klau perlu bongkar dirga biar abang mu dlm masalah
Rahmat
Duh penasaran gimana y klau mrk bertemu dgn tdk sengaja apa yg terjadi
ida purwa
nice
tae Yeon
Kurang greget.
Rienss: makasih review nya kak. semoga kedepan bisa lebih greget ya
total 1 replies
minsook123
Ngakak terus!
Rienss: terima kasih dah mampir kak. Salam kenal dan semoga betah baca bukuku ya🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!