NovelToon NovelToon
Blood & Oath

Blood & Oath

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Tentara / Perperangan / Fantasi Timur / Action / Fantasi / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:703
Nilai: 5
Nama Author: Ryan Dee

Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.

Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.

4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.

Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Act 9 - Darius the green

Announcement

Mulai dari act ini, gaya penulisan akan diganti dari orang pertama ke orang kedua. Jadi narasi akan di ceritakan berdasarkan pandangan orang kedua agar lebih bisa menangkap atmosfer cerita yang lebih luas lagi.

Terimakasih.

-

-

-

Langit kelabu menaungi perjalanan Sir Darius dan empat pengawalnya. Debu jalan menempel di jubah emasnya, tapi tatapannya tetap lurus ke depan, dingin dan penuh tekad.

“Kita menuju penjara Greywind,” katanya tanpa menoleh. “Salah satu dari mereka yang membunuh adikku ditahan di sana.”

Kuda-kuda berderap melewati tebing lembab. Di ujung jalan, tampak bangunan batu tua berlumut dengan dua penjaga berdiri tegak di depannya.

“Berhenti!” seru salah satu penjaga. “Ada urusan apa kalian di sini?”

Darius turun dari kudanya. Tatapannya tajam, suaranya datar.

“Aku datang untuk membawa tahanan baru. Atas perintah Heartstone.”

“Perintah siapa?” tanya penjaga.

Darius tersenyum tipis, dingin. “Apakah itu penting?”

“Tanpa izin Komandan Torren, tidak ada yang boleh keluar dari penjara ini.”

Keheningan menggantung. Darius menatap penjaga itu, rahangnya menegang.

“Aku tak punya waktu untuk birokrasi,” katanya perlahan.

Lalu—brakk!

Pedangnya melesat begitu cepat hingga udara seolah ikut terbelah. Dua penjaga roboh sebelum sempat berteriak.

Ia mengambil kunci dari tubuh salah satu penjaga. “Jaga di sini,” ujarnya singkat, lalu melangkah masuk.

Tangga batu yang ia turuni seakan tak berujung. Udara lembab berbau besi memenuhi paru-parunya. Suara tetesan air memantul di dinding.

Di salah satu sel, tubuh kecil Thal’kren muda meringkuk ketakutan.

Darius berhenti.

“Kasihan,” bisiknya. “Tapi aku tak bisa membiarkan kau tetap hidup.”

Cahaya obor berkilat di mata dinginnya—dan pedangnya menebas cepat.

Darah biru memercik ke dinding batu. Hening kembali.

Tak jauh dari situ, Zein membuka mata. Ia bisa merasakan langkah berat yang mendekat. Bayangan besar memantul di genangan air di lantai selnya.

“Akhirnya,” ujar suara berat dari balik jeruji, “aku menemukanmu.”

Darius memutar kunci. Tapi sebelum pintu terbuka penuh, Zein menghantamnya dengan tendangan keras—brak!

Pintu besi menghantam dada Darius dan melemparkannya ke belakang.

Zein berlari, tapi hanya sempat beberapa langkah. Tangan Darius yang sebesar baja menarik kakinya, menghentakkannya ke tanah, lalu membanting tubuhnya ke tembok.

Dalam sekejap, Darius sudah mengikat tangannya.

“Ayahku akan sangat senang melihatmu nanti,” katanya, menyeret Zein menaiki tangga menuju cahaya.

Kereta kuda melaju cepat di jalan tanah, diapit pasukan kecil. Darius duduk di depan, matanya menatap lurus ke hutan yang pekat.

Di antara pepohonan, James dan yang lain sudah menunggu.

“Mereka datang,” bisik Galland.

James mengangguk. “Tunggu tanda dariku.”

Derap kuda makin keras. Saat kepala kuda hampir melewati tanda yang mereka buat—

“Sekarang!”

Celeste memotong tali jebakan. Sebatang pohon besar tumbang ke jalan, menimbulkan gemuruh keras. Kuda-kuda panik, debu naik ke udara.

Galland melepaskan dua anak panah—kedua knight di belakang kereta tumbang seketika.

James, Celeste, dan Sandel menerjang dari balik semak.

Celeste melompat ke atas kereta, menebas kusirnya. Tapi sebelum ia sempat mengendalikan kuda, tangan besar mencengkeram tubuhnya. Darius menariknya turun dan melemparkannya seperti boneka ke tanah.

“Celeste!” teriak James.

Ia bersama Sandel menyerang. Darius mengangkat pedangnya, menangkis, dan mendorong mereka mundur seolah tanpa tenaga.

Serangan demi serangan menghujani, tapi tidak satu pun menembus pertahanannya.

Galland menembak dari kejauhan—anak panahnya terpental.

Darius berbalik, menubruk James. Tubuh James terpental menghantam pohon, darah menetes dari dahinya.

Sandel mencoba menahan langkah Darius tapi terseret oleh sabetan brutal. Galland turun dari pohon, menusuk dengan tombak—namun pedang Darius menghancurkannya dalam sekali tebas. Lalu Darius melancarkan tendangan yang sangat keras sehingga mematahkan tangan Galland dan membuatnya terpental kebelakang dan kehilangan kesadaran.

Darius menatap mereka satu per satu, napasnya stabil, wajahnya dingin.

“Hanya ini?” katanya perlahan. “Adikku benar-benar lemah… kalau bisa mati di tangan kalian.”

---

Pandangan James yang kabur menangkap sosok Celeste yang masih berusaha bertahan dari serangan brutal Sir Darius.

Di sampingnya, Galland dan Sandel terkapar, terengah-engah, darah membasahi tanah.

“Hanya satu serangan darinya bisa membuatku seperti ini…” desis James lemah.

Dunia di sekelilingnya memudar, digantikan oleh bayangan masa lalu.

Suara perang berganti jadi desir angin, dan di hadapannya berdiri seorang pria tua berjubah abu-abu, menggenggam pedang panjang.

“Lihatlah baik-baik, Lord Thariel,” ujar pria itu lembut. “Pedang keluarga kita bukan tentang kekuatan, tapi tentang keseimbangan. Saat hatimu goyah, pedangmu akan mengkhianatimu.”

James kecil menatapnya kagum, mencoba meniru gerakannya—pelan, teratur, tanpa celah.

“Kau terlalu cepat menurunkannya,” lanjut pria itu sambil tersenyum. “Tapi darah Thariel memang keras kepala. Kau akan mengerti, suatu hari nanti.”

Cahaya menelan bayangan itu, dan suara besi kembali terdengar.

James membuka matanya—mata birunya kini menyala lembut. Udara bergetar, pasir dan debu di sekitarnya ikut menari.

“Oh, kau masih bisa bangun rupanya,” ejek Darius sambil mengangkat kapaknya.

Tatapan James dingin. Ia tak menjawab, hanya menunduk sedikit sebelum berlari lurus ke arah Darius.

Sandel menunduk cepat dan mengangkat perisainya ke atas, memberi tumpuan bagi James. Dalam satu gerakan cepat, James melompat, tubuhnya berputar di udara—

Tink!

Suara benturan logam menggema. Tebasan James menghantam bahu kiri Darius, menembus sebagian armornya. Darah merah bercampur biru mengalir di bawah sinar matahari.

“Argh!” Darius meraung.

James menarik pedangnya, memutar, lalu menyerang lagi—kali ini menusuk dada. Benturan keras menyalak di udara, armor Darius bergetar hebat. James berputar lagi, menebas kakinya, membuat komandan besar itu kehilangan keseimbangan.

Sandel berlari dan melompat, menendang dada Darius dengan keras. Tubuh besar itu terhempas ke tanah, tanah bergetar di bawah berat armornya.

James langsung menerjang, mengangkat pedangnya tinggi—tapi sebelum sempat menghantam, tangan Darius mencengkeram bilah itu.

Kraak!

Pedang James patah di genggaman Darius, logamnya berderai ke tanah.

Tanpa menunggu lebih lama, James berlari ke arah kereta kuda tempat Zein ditahan. Celeste sudah naik ke atas, menggenggam tali kekang. Sandel membantu Galland naik.

“Sekarang!” teriak James.

Kuda-kuda meringkik keras, roda berputar, dan kereta melaju cepat menembus pepohonan, meninggalkan Darius sendirian di antara tubuh pasukannya yang tak bernyawa.

Sir Darius berdiri perlahan, menatap ke arah debu yang ditinggalkan kereta. Mata hijaunya berkilat, amarahnya bergetar hingga udara terasa berat.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Sir Darius merasakan getir kekalahan—bukan di medan perang, tapi di dalam harga dirinya sendiri.

---

Kereta kuda melaju kencang menembus heningnya hutan. Roda berdecit di atas tanah lembab yang dipenuhi daun-daun gugur, sementara nafas kuda terdengar berat, bercampur dengan deru angin malam yang semakin dingin.

“James, sepertinya dia tidak mengejar kita!” teriak Celeste dari atas kereta, rambutnya berkibar tertiup angin.

James menoleh ke belakang, matanya menyapu jalan gelap di antara pepohonan. Tak ada tanda-tanda Darius atau pasukannya.

“Baiklah,” ucapnya lega namun tetap waspada. “Kita akan kembali ke rumah Sandel setelah menemukan tempat aman untuk meninggalkan kereta ini.”

Beberapa menit kemudian, mereka melihat celah gelap di antara bebatuan — sebuah goa tua yang tersembunyi di balik semak rimbun. James segera membelokkan kereta dan membawa mereka masuk ke dalamnya.

Sandel turun lebih dulu, memapah Zein yang masih tak sadarkan diri di pundaknya. Galland mengikuti di belakang, busurnya siap terangkat setiap kali terdengar bunyi ranting patah dari luar.

“Kurasa… situasi sudah aman sekarang,” ucap Galland akhirnya sambil menurunkan busurnya.

Sandel mengangguk lalu menurunkan Zein dengan hati-hati di atas tikar kasar di lantai batu. Ia melepaskan ikatan di tangan Zein, dan tak lama kemudian Zein mengerang pelan, matanya perlahan terbuka.

“Zein… akhirnya kau bangun juga,” ucap Sandel dengan nada lega.

“K–kalian… apa yang terjadi? Kalian terlihat babak belur,” kata Zein, mencoba tersenyum meski wajahnya masih lemah.

Galland tertawa kecil. “Ya, ini semua berkatmu yang terus tidur nyenyak saat kami bertarung.”

Zein terkekeh lemah, dan untuk sesaat, keheningan goa dipenuhi oleh tawa kecil mereka yang kelelahan namun hangat.

“Akhirnya grup ini lengkap lagi,” ujar Sandel sambil menepuk pundak Zein.

“Ugh… jangan terlalu berlebihan,” sahut Celeste, menyilangkan tangan dengan nada dingin, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.

James menatap mereka sekilas, lalu berkata pelan, “Kurangi suara kalian. Kita tidak tahu apakah dia benar-benar berhenti mengejar.”

Suasana kembali tenang. Hanya suara api unggun kecil yang mereka buat dari ranting kering yang terdengar, berderak pelan di antara bisikan malam.

“Saat malam tiba, kita akan bergerak ke desa Sandel,” lanjut James.

Mereka semua mengangguk, kemudian beristirahat. Dalam keheningan itu, hanya bunyi angin dan napas lelah mereka yang menemani, seolah hutan pun ikut menahan nafas menunggu fajar.

1
Mr. Wilhelm
kesimpulanku, ini novel hampir 100 persen pake bantuan ai
Ryan R Dee: sebenernya itu begitu tuh tujuannya karena itu tuh cuma sejenis montage gitu kak, kata kompilasi dari serangan disini dan disana jadi gak ada kata pengantar buat transisi ke tempat selanjutnya, tapi nanti aku coba revisi ya kak, soalnya sekarang lagi ngejar chapter 3 dulu buat rilis sebulan kedepan soalnya bakalan sibuk diluar nanti
total 7 replies
Mr. Wilhelm
transisi berat terlalu cepat
Mr. Wilhelm
Transisinya jelek kyak teleport padahal narasi dan pembawaannya bagus, tapi entah knapa author enggak mengerti transisi pake judul kayak gtu itu jelek.
Ryan R Dee: baik kak terimakasih atas kritik nya
total 1 replies
Mr. Wilhelm
lebih bagus pakai narasi jangan diberi judul fb kek gni.
Mr. Wilhelm
sejauh ini bagus, walaupun ada red flag ini pake bantuan ai karena tanda em dashnya.

Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.

Tapi aku coba positif thinking aja
perayababiipolca
Thor, aku hampir kehabisan kesabaran nih, kapan update lagi?
Farah Syaikha
🤔😭😭 Akhirnya tamat juga, sedih tapi puas, terima kasih, author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!