"Di Bawah Langit yang Sama" adalah kisah tentang dua jiwa yang berbagi ruang dan waktu, namun terpisah oleh keberanian untuk berbicara. Novel ini merangkai benang-benang takdir antara Elara yang skeptis namun romantis, dengan pengagum rahasianya yang misterius dan puitis. Saat Elara mulai mencari tahu identitas "Seseorang" melalui petunjuk-petunjuk tersembunyi, ia tak hanya menemukan rahasia yang menggetarkan hati, tetapi juga menemukan kembali gairah dan tujuan hidupnya yang sempat hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wisnu ichwan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Puncak Badai
Kereta penarik itu meraung menanjak, memakan sisa-sisa rel yang berkarat menuju Sektor E-5. Setiap sentimeter vertikal adalah kemenangan kecil, dibayar dengan derit mengerikan dari roda rantai yang tegang. Annelise mencengkeram pegangan pintu, matanya terpaku pada peta digital yang berkedip-kedip di dasbor—garis merah yang menandai jalur servis menanjak yang seharusnya telah nonaktif puluhan tahun yang lalu.
“Dua ratus meter lagi ke permukaan, Komandan!” teriak Jael, suaranya tebal karena ketegangan. Ia memacu mesin tua itu tanpa ampun, mengabaikan lampu peringatan merah yang berkedip di mana-mana.
“Cipher, status Unit Pemecah?” perintah Annelise.
Cipher, yang tubuhnya tertekuk di depan konsol, menekan kacamatanya. Wajahnya pucat, diterangi oleh cahaya hijau layar. “Mereka melambat. Struktur terowongan yang menanjak dan melengkung menyulitkan mereka menggunakan Sonic Cutter. Tapi mereka tahu di mana kita akan keluar. Mereka memosisikan diri di atas titik keluar E-5.”
Nyx, yang kini berdiri di samping Annelise, menggerutu. “Kita akan disambut oleh sambutan hangat.” Ia menarik senapan energinya, memeriksa muatannya.
“Nyx, fokus pada suar penanda. Spark, amankan sisi kanan. Kita butuh jalan keluar yang cepat begitu kita berada di Jembatan Gantung,” ujar Annelise, suaranya kembali kaku dan berwibawa, Komandan telah mengambil alih dari Annelise yang penuh keraguan. Keraguan itu harus disimpan, setidaknya sampai mereka selamat dari Unit Pemecah Dharma.
Tiba-tiba, suara Jael terdengar sangat mendesak. “Annelise! Badai itu! Frekuensi ionnya terlalu liar! Aku hampir tidak bisa melihat peta navigasi. Kita akan buta begitu kita sampai di sana!”
Benar. Badai ion di atas Jembatan Gantung bukan lagi sekadar gerimis. Gemuruhnya, yang kini merambat melalui terowongan batu, terdengar seperti suara kota yang runtuh. Udara di sekitar mereka terasa bermuatan, membuat bulu roma Annelise berdiri.
Mereka mencapai puncaknya. Rel berakhir di sebuah dinding baja yang tebal dan berkarat.
“Jael, kunci rem!” perintah Annelise.
Kereta itu membentur penyangga baja dengan bunyi klang yang memekakkan telinga.
“Spark, Nyx! Peledak termal, sekarang!”
Tanpa ragu, Nyx dan Spark menempelkan dua lempengan tipis ke sambungan pengunci pintu baja itu. Nyx menekan tombol. Dalam sepersekian detik, lempengan itu bersinar putih pijar, melunakkan baja seperti mentega. Jael memundurkan kereta, lalu mendorongnya maju dengan kekuatan penuh.
KRRAKK-CHHHH!
Pintu baja itu melengkung ke luar, lalu terlepas dari engselnya dengan suara retakan yang memuakkan.
Mereka keluar.
Perjuangan di Garis Depan
Cahaya menyambar Annelise dengan intensitas yang brutal. Mereka berada di bawah Jembatan Gantung, di jalur layanan yang sempit dan berdebu. Di atas mereka, rangka baja jembatan yang masif itu terlihat seperti tulang rusuk raksasa yang mencoba menahan amarah langit.
Tetapi bukan petir badai yang menarik perhatian Annelise. Itu adalah suara dari atas—suara mekanis yang berat dan berdengung. Unit Pemecah Dharma telah menunggu.
“Mereka di atas! Tiga unit! Posisi menembak!” teriak Spark dari belakang, menembakkan suar ke salah satu Unit yang bergerak.
Tiga siluet Unit Pemecah, dengan kaki-kaki kokoh dan pelindung reaktif, tampak di tepi jembatan di atas mereka. Laras meriam Plasma mereka mulai memancarkan cahaya biru yang berbahaya.
“Jael, sekarang! Penuh!”
Jael menghentakkan pedal gas. Kereta penarik itu meluncur keluar dari terowongan, roda rantainya langsung mencengkeram permukaan beton yang licin dan basah.
“Mereka mengunci sasaran!” teriak Cipher.
BLAARRR!
Tiga sinar plasma tebal menghantam tempat mereka baru saja berdiri. Beton mencair, baja berderak, dan uap mengepul dari lubang-lubang yang menganga. Panasnya terasa di wajah Annelise.
“Nyx! Suar!”
Nyx melemparkan suar penanda ion berfrekuensi tinggi ke udara. Bola kecil itu meledak di antara pilar jembatan, memancarkan gelombang energi yang menyentuh petir badai di atas.
“Badai ion merespons!” Cipher menyela, suaranya sedikit gembira. “Frekuensi pelacakan mereka mulai kacau. Ini hanya sementara!”
Saat mereka melaju dengan kecepatan penuh di bawah jembatan, Annelise melihat kilatan energi yang ditembakkan oleh Unit Pemecah Dharma. Tembakan mereka kini menjadi tidak menentu, sesekali mengenai pilar jembatan dan bukan kereta mereka. Badai ion, diperkuat oleh suar Nyx, benar-benar mengganggu sistem pelacakan Unit.
“Kita menuju jalur kereta rel listrik lama di tengah jembatan!” Jael mengarahkan kereta dengan cekatan.
Saat mereka berbelok ke jalur tengah, pemandangan kota Dharma yang diselimuti badai terlihat di kejauhan. Annelise menarik napas. Kota itu diselimuti asap kebakaran sporadis dan kilat yang hampir konstan. Dan di bawah semua itu, adalah kekacauan.
Harga Kekacauan
“Athena, berikan laporan visual dari koridor A-7 dan C-12, pabrik utama,” bisik Annelise melalui komunikatornya, nadanya datar.
Ada jeda singkat, dipenuhi oleh deru badai. Lalu, suara sintetis Athena terdengar, dingin dan tanpa emosi.
“Komandan, visual menunjukkan korban internal 74% lebih tinggi dari proyeksi awal. Petugas Unit Pemeliharaan menggunakan alat-alat mereka sebagai senjata tumpul. Perkelahian tidak terfokus; mereka menyerang pantulan mereka sendiri di permukaan kaca.”
Annelise menutup matanya sesaat. Gambar petugas yang saling mencabik-cabik, yang dulunya adalah model kepatuhan yang tenang, kini menjadi model kegilaan, terbayang di benaknya. Null-Strain tidak memberikan kebebasan; ia memberikan kebengisan.
“Ayahmu menyebutnya ‘Kebangkitan,’ Komandan,” ujar Cipher, seolah membaca pikiran Annelise. “Mereka tidak tahu bagaimana caranya menjadi manusia lagi. Kami memberi mereka kembali emosi yang ditekan—kemarahan, ketakutan, agresi—dan mereka mengarahkannya ke target terdekat yang mereka kenal: diri mereka sendiri. Mereka adalah cermin dari tirani yang menciptakan mereka.”
“Tapi ini bukan perang, Cipher,” balas Annelise, suaranya tajam. “Ini adalah pemusnahan diri. Kami bertarung untuk membebaskan orang, bukan untuk mengubah mereka menjadi monster yang saling melahap.”
Jael menyela, matanya terpaku pada jalan. “Mereka adalah monster, Komandan. Mereka hanya memakai seragam Dharma. Pilihan kita bukan antara perang dan damai. Pilihan kita adalah antara membiarkan mereka tetap menjadi budak yang tenang, atau membiarkan mereka menjadi orang bebas yang gila. Ayahmu memilih yang terakhir, karena setidaknya orang gila punya potensi untuk berubah.”
Argumen Jael menohok. Annelise tahu dia benar. Dharma telah mencuri kemanusiaan mereka selama beberapa dekade. Tidak mungkin mengembalikannya dengan tombol reset yang lembut. Tapi melihat harga dari “reset” itu, Annelise merasa beban flash-drive di saku Cipher—kunci kotak Pandora—terasa sangat berat.
Menghilang dalam Badai
Kereta itu sekarang berada di tengah Jembatan Gantung. Di atas mereka, petir menyambar, membuat baja berdentum keras. Hujan lebat turun, menyulitkan Unit Pemecah Dharma di belakang mereka untuk menembak secara akurat.
“Pelepasan asap chaff terakhir!” teriak Cipher, menekan tombol. Bola-bola kecil chaff yang dilepaskan segera tercampur dengan air badai dan ion, menciptakan awan pelindung visual dan elektromagnetik yang sempurna.
Unit Pemecah Dharma di belakang mereka, yang baru saja pulih dari gangguan ion, akhirnya kehilangan kunci pelacakan. Mereka mengeluarkan raungan frustrasi yang terdengar seperti logam yang digergaji, lalu Unit-unit itu mulai menembak secara acak ke dalam kabut.
“Kita lolos!” seru Nyx, suaranya diwarnai kelegaan.
“Tidak,” kata Annelise, menunjuk ke depan. “Kita baru saja masuk ke dalam badai.”
Di ujung jembatan, tidak ada jalan raya yang mulus. Jalanan telah dipotong dan diblokir oleh puing-puing berat—bukti dari konflik sporadis yang terjadi bahkan sebelum Null-Strain diaktifkan.
“Kita harus meninggalkan kereta!” perintah Annelise. “Sektor E-5 berakhir di perbukitan. Kita harus bergerak secara terpisah dan memanfaatkan reruntuhan itu sebagai perlindungan. Kita tidak bisa menunggangi ini sampai ke zona aman.”
Jael menghentikan kereta dengan benturan terakhir yang keras di samping tiang beton yang hancur.
“Cipher, flash-drive itu harus disembunyikan. Aku tidak ingin ada yang tahu bahwa Null-Strain berasal dari kami. Kita harus memposisikan diri kita sebagai pemberontak yang memanfaatkan kekacauan, bukan sebagai penyebab kekacauan,” perintah Annelise, melompat keluar dari kereta ke dalam hujan yang menerpa.
Cipher mengangguk, menyembunyikan flash-drive di dalam lapisan ganda pelindung sarung tangannya. “Mengerti, Komandan. Kita adalah kesempatan yang Dharma berikan kepada kita.”
Mereka semua keluar dari kendaraan. Di belakang mereka, Unit Pemecah Dharma masih menembaki badai. Di depan mereka, kegelapan dan perbukitan yang penuh reruntuhan menunggu. Annelise menarik tudung jaketnya.
Tujuh puluh dua jam, pikirnya. Tiga hari sebelum seluruh kota menjadi gila.
“Jael, pimpin jalan ke perbukitan. Kita bergerak dalam formasi bertahan. Kita akan memanfaatkan setiap jam, setiap menit, untuk membentuk kekacauan ini menjadi gerakan yang terorganisir,” perintah Annelise.
Ini bukan lagi tentang pelarian, ini tentang pembentukan. Null-Strain telah memecahkan bendungan. Sekarang, tugasnya adalah menyalurkan banjir. Annelise adalah Komandan Badai.
“Mari kita beri tahu dunia bahwa tiran Dharma telah tumbang,” katanya, melangkah ke dalam kegelapan dan hujan yang membasahi.